Mohon tunggu...
Petra Wahyu Utama
Petra Wahyu Utama Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sejarah

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” -Pramoedya Ananta Toer-

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Rock di Semarang, Gegap Gempita Distorsi hingga Akhir 90-an

18 Juni 2020   23:57 Diperbarui: 21 Juni 2020   14:52 1265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi Arsip Pribadi

"Rock n Roll-an" 
Sebelum memasuki dasawarsa 1970, Semarang sebenarnya sudah dikenal sebagai kota yang sangat sering mengadakan berbagai pementasan musik rock. Bahkan konser musik bertajuk Swing Hot Rockers sudah dimulai sejak 1959. Berbagai macam konser musik yang terselenggara memunculkan julukan bagi kota Semarang yakni "Semarang Juara Pesta Musik".  

Namun demikian, ketika memasuki 1963, penerbitan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 11 oleh Sukarno mengakibatkan kondisi permusikan di Indonesia secara umum menjadi lesu. 

Peraturan ini memang tidak sepenuhnya mematikan kegiatan bermusik di Kota Semarang, namun pola bermusik seolah-olah menjadi diseragamkan dan harus sesuai dengan isi Penpres Nomor 11 Tahun 1963.

Piringan-piringan hitam yang berisi lagu-lagu Barat kemudian dibakar di depan umum dan dinyatakan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai jenis musik yang dapat membawa pengaruh buruk bagi pertumbuhan kepribadian bangsa. 

Adapun acara musik rutin yang sebelumnya telah diadakan oleh RRI yakni "Bintang Radio" tetap dijalankan dengan syarat pemilihan lagu yang dipentaskan tidak diperkenankan mengandung unsur lagu-lagu Barat. Semua lagu yang dinyanyikan harus memiliki nuansa dan ciri khas Indonesia.

Bidang musik rock kembali bangkit setelah Orde Baru berkuasa, bahkan mampu memberi pengaruh besar bagi kalangan muda di Indonesia. Dasawarsa 1970 adalah tanda ketika musik rock ala Deep Purple, Led Zeppelin, dan sejenisnya mulai menjangkiti para kawula muda termasuk di Kota Semarang. 

Rock n Roll pun membawa pengaruh pada cara berpakaian layaknya seperti musisi idola mereka. Hal ini tampak dari penggunaan baju dan celana gombroh alias lebar (Bell Bottom), penggunaan Skinny Jeans, atau pun celana panjang berbahan kulit ketat yang dipadukan dengan kemeja panjang. 

Sebagian anak-anak muda lainnya memilih berpakaian dengan menggunakan jaket kulit, jaket jeans tangan buntung, serta ikat pinggang penuh paku, ditambah ikat kepala dan kacamata Ray-Ban. Pakaian dan gaya berbusana ini menjadi sebuah bentuk identifikasi dari kelompok mereka yang biasa disebut dengan dandanan ala Rocker.

Hingar Bingar Panggung, Musik Keras nan Cadas
Pada dasawarsa 1970-an, Taman Hiburan Diponegoro (THD) yang terletak di Jalan H. Agus Salim atau yang dikenal dengan Jurnatan, biasa menjadi tempat yang digunakan untuk mengadakan berbagai pertunjukan, termasuk musik rock.  

Selain THD, lapangan basket di daerah Wot Gandul terkadang juga digunakan sebagai tempat untuk menggelar pertunjukan musik. 

Band rock Indonesia terkenal sekelas A.K.A yang digawangi oleh Ucok Harahap dan The Peels Band yang telah menembus pasar luar negeri yakni Malaysia dan Singapura, pernah bersama-sama mengadakan konser musik di area lapangan basket Wot Gandul pada 1971.

Sumber: Arsip Koleksi Pribadi
Sumber: Arsip Koleksi Pribadi
Penampilan musik yang antusiasmenya pada masa itu mampu mengimbangi rock hanyalah dangdut. Penggemar musik rock dan dangdut dikenal sebagai fans yang fanatik, bahkan tidak jarang mereka terlibat perkelahian fisik. Ihwal terjadinya konflik antara penggemar musik rock dengan dangdut bermula pada pernyataan gitaris grup Giant Step, Benny Soebardja. 

Benny mengatakan bahwa dangdut sebagai "musik tai anjing". Pernyataan Benny ini memicu konflik antara penggemar musik dangdut dan rock. Bahkan melebar hingga pelosok-pelosok negeri tidak terkecuali di Semarang. Perdamaian kemudian terjadi pada 1987, ketika Yapto Soerjosoemarno mempertemukan Rhoma Irama sebagai wakil dari golongan musisi dangdut dan God Bless dari golongan musik rock.

Intensitas konser musik rock yang sering dipertunjukkan kemudian menginspirasi para pemuda Semarang untuk membentuk grup-grup musik rock. Pada awal 1970-an, ada tiga nama grup musik rock Semarang yang muncul dan menjadi band yang cukup disegani pada masa itu yakni, Mama Clan's, Dragon, dan Fanny's. Band.

Seiring berjalannya waktu, grup band rock terkenal lainnya juga muncul yaitu Voodoo Child. Grup band ini sering membawakan lagu-lagu dari Jimmy Hendrik dan menjadi band pertama di Semarang yang dikelola oleh promotor secara profesional. Promotor ini memberikan fasilitas studio musik untuk berlatih dan bertanggung jawab pada saat mereka melakukan pementasan.

Kebanyakan dari para musisi rock di Semarang memperoleh "repertoar" (komposisi musik/lagu) dan referensi musik dari pelat-pelat atau piringan hitam yang didapatkan dari kolega mereka setelah kepulangannya dari luar negeri atau membeli di kompleks pertokoan Pasar Baru, Jakarta Pusat yang lebih lengkap koleksi musiknya.

Memasuki dasawarsa 1980, musik rock semakin digilai dan merambah hingga ke kalangan pelajar di Kota Semarang. Dari berbagai festival musik dan lomba band yang diadakan, hampir semua lagu wajib yang ditentukan oleh panitia diaransemen dengan irama rock yang kental dengan kencangnya efek distorsi gitar. 

Para pendukung dari grup yang berlomba pun juga tampak membawa spanduk bertuliskan "Rock Never Die". Kegiatan festival dan lomba ini dipercaya menciptakan bibit-bibit baru sehingga tidak heran bila musisi rock dari Semarang seperti Icarus, Power Slaves, Blue Savana, dan grup-grup lainnya turut serta mewarnai belantika musik Indonesia.

Hingga pada dekade 1990-an, kegiatan dan intensitas festival musik rock di Semarang tampak semakin besar. Hal ini dibuktikan dengan penyelenggaraan festival musik rock di Pusat Rekreasi dan Promosi Pembangunan (PRPP) dengan tajuk "Festival Rock Se-Jawa". 

Tidak main-main, band-band yang berlomba pada festival ini pun dinilai oleh dewan juri ternama seperti Bambang Iss, Haryono Chandra (Harpha Record), Denny Sabri, dan Pungky personil band rock Andromeda.

Pergeseran Selera Musik
Sebagai bagian dari budaya populer yang berkembang di Indonesia, musik telah melebur menjadi industri komersil yang berkembang ditengah-tengah masyarakat. Ariel Heryanto berpendapat bahwa budaya populer adalah produk budaya yang berasal dari masyarakat industrial. 

Kegiatan pemaknaan dan hasilnya yakni kebudayaan, dihasilkan dan ditampilkan dalam jumlah besar dengan bantuan teknologi produksi, distribusi, dan penggandaan massal, sehingga mudah dijangkau oleh masyarakat luas yang bersifat pluralistik.

Hal ini berlaku pula pada musik rock sebagai bagian dari industri, yang kemudian sedikit demi sedikit tergeser dengan kemunculan aliran pop alternatif, melayu, dan boyband di industri musik.

Musik Rock memang tidak pernah benar-benar mati, namun memasuki awal dekade 2000-an antusiasme masyarakat kemudian mulai beralih. Pop Alternatif seperti yang dibawakan oleh Ungu, Sheila on 7, dan Peterpan meledak dan begitu digandrungi oleh para kawula muda. 

Pada pertengahan dekade, aliran melayu seperti yang dibawakan oleh ST 12 dan Kangen Band turut berkompetisi dan memberi warna pada industri musik. Secara serempak anak-anak muda di Semarang pun ikut terpengaruh, bahkan pada fase ini banyak band yang memfokuskan penciptaan notasi, aransemen, dan lirik lagunya dengan style yang hampir mirip dengan mereka. 

Kangen Band (Tangkapan Layar YouTube Warner Music Indonesia) via kompas.com
Kangen Band (Tangkapan Layar YouTube Warner Music Indonesia) via kompas.com
Musik Rock semakin tergeser dari siaran Radio dan Televisi ketika boyband-boyband berisikan pria-pria tampan bergaya seperti Westlife, Boys II Men, dan Backstreet Boys kembali meledak pada kurun waktu 2010. Belum lagi kumpulan wanita-wanita cantik turut membentuk kelompok yang disebut dengan girlband juga muncul pada fase ini. 

Mulai dari SM*SH, Coboy Junior, Cherrybelle, JKT 48, bahkan ala Boyband/Girlband Korea (K-Pop) mampu merebut pangsa pasarnya yakni para kawula muda. 

Acara-acara musik yang menampilkan boyband pun turut dihelat di Semarang. Sebagai contoh penampilan boyband legendaris Westlife yang terselenggara pada 1 September 2019 lalu. 

Tentunya, pilihan seseorang atas suatu fenomena yang terjadi dari perubahan produk budaya ini, sedikit banyak akan termanifestasi dalam gaya hidupnya. Musik rock memang belum benar-benar tumbang sepenuhnya, bahkan aliran musik yang mampu memberi pengaruh besar di kalangan muda-mudi di Indonesia ini, pasti suatu saat akan kembali bangkit.

Tren musik bagaikan sebuah metamorfosis, kadang muncul dipermukaan kadang tenggelam. Semuanya pun kembali pada selera masing-masing dan tidak ada satu pun yang dapat memaksakannya. Tinggal bagaimana cara membangkitkannya, biarlah para Rocker yang berbicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun