Kalau tidak jadi tukang sulap,
mungkin Alisa sudah putus sekolah."
Aku kaget sekali mendengarnya. Enak saja, berani-beraninya dia menghina ayahku! Air mata kejengkelan berlinang di pelupuk mataku dan akhirnya jatuh ke gaun merah usangku. Tanganku yang masih memegang piring plastik berisi kue ulang tahun gemetaran. Aku menggigit bibir, ragu-ragu sejenak, sebelum mulai berjalan ke arah temanku yang kurang ajar itu. Seiring langkahku semakin mendekat, tanganku semakin gemetaran. Aku sudah tahu apa yang akan kulakukan. Aku akan mengangkat piring plastik ini dan membiarkannya melayang ke muka porselen Josephina. Aku sudah bisa membayangkan rambutnya yang dijalin pita kuning berkilau dihiasi krim kue tar.
Seseorang menepuk pundakku.
"Ini nak Alisa, ya," suara tinggi merdu menyapaku.
Aku berbalik. Seorang wanita bergaun kuning panjang dan melambai tersenyum padaku. Warna bibirnya agak terlalu menyala, tapi siapa peduli? Dia cantik. Dia punya cukup uang untuk merias diri. Mungkin kalau dia menderita kanker paru-paru, dia punya cukup uang untuk membiayai operasi. Dengan begitu, anaknya tidak perlu takut kehilangan dia.
"Minggu depan Tante mau mengadakan pesta ulang tahun buat Josephina. Kamu kenal Josephina kan? Nah, tante mau undang ayahmu datang mengisi acara, bisa kan?" Wajah sang tante tersenyum cerah.
Ayahku tukang sulap biasa.
Ibuku istri tukang sulap biasa.
Dan aku,
sebagai anak tukang sulap biasa yang takut kehilangan seorang ibu,
tugasku adalah tersenyum, mengiyakan tawaran sang tante yang punya cukup uang untuk merias diri
dan mengucapkan terima kasih.
(PT)