Mohon tunggu...
Petra Teofani
Petra Teofani Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Senja tak pernah menguasai hari, namun ia mengguratkan rindu pada sanubari

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen| Ketika Aku Mencintai Api (1)

3 Agustus 2019   19:43 Diperbarui: 19 November 2020   22:38 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bali. Kedai kopi depan hotel. Pukul 00.00.

Penat melanda setiap senti tubuhku. Duduk di bus yang membawa rombongan sekolahku selama 20 jam membuat kakiku bak boneka kayu. Kaku bukan buatan. Selepas turun dari bus, langsung dilanjutkan acara bermain air di waterboom bali yang ternama itu. Kabarnya pernah menjadi  waterpark terbaik nomor dua di dunia. Aku pulang dari sana dalam keadaan layu. Tidak kusangka, bermain perosotan bisa begitu menguras tenaga.

Ketika teman yang lain memilih melepas penat dengan bergosip ditemani burger dan bir beralkohol rendah, aku menemukan diriku tengah malam menyeret langkah menuju kedai kopi depan hotel. Sendirian. Bukannya aku tak kuat minum bir, hanya saja kupikir minuman itu tak berguna buatku.

Espresso. Aku membutuhkan kafein yang kuat malam ini. Entah kenapa. Biasanya aku tergila-gila secangkir capuccino hangat. Mungkin aku mendapat firasat akan terjadi sesuatu malam ini.

Lampu kuning remang menyinari barisan rapi kursi dan meja persegi panjang di sekitarku. Kosong. Hanya aku pelanggan kedai ini. Sembari menyeruput kopi hitam, aku merenungi jalanan. Sepi. Aneh, kupikir kehidupan malam di Bali ramai. Hanya lampu-lampu gemerlap hotelku yang masih menyala, toko di kiri kanannya gelap. Semua seolah terlelap.

Mendadak kesyahduan malam itu terpecahkan oleh gonggongan anjing. Disusul suara seseorang menghardik pelan. Detik berikutnya di pintu masuk berdiri seorang gadis memegang erat" tali pengikat anjing. Sementara peliharaannya ribut ingin mengejar sesuatu. 

Kedai kopi itu lebih mirip warung. Bukan kafe dengan pintu kaca yang elegan dan lantai licin berkilau (sampai kau bisa berkaca di permukaanya). Jadi gadis itu dengan bebas masuk bersama peliharaan berbulunya. Seorang wanita paruh baya keluar dari belakang mesin kasir. Mereka bercakap-cakap hangat beberapa menit. Ibu dan anak barangkali? Aku menatap tanpa berkedip. Mataku pedas.

Gadis itu langsung menyadari kehadiranku. Tapi ia diam saja. Pastilah aku hanyalah seperti pelanggan lain baginya. Ibunya kembali sibuk, mungkin membuatkan kopi. Ia sibuk dengan anjingnya.

Agaknya malam ini aku merindukan teman bicara. Mungkin aku hanya lelah diabaikan. Atau mungkin ada sesuatu di wajah ramahnya yang menarikku mendekat. Mungkin itulah sebabnya aku berjalan menghampirinya. Mungkin tidak.

"Boleh kupegang anjingmu?" Aku nyaris tak memercayai suara itu keluar dari tenggorokanku.

Gadis itu tersentak. Mungkin baru kali ini ia bertemu pelanggan yang begitu lancang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun