Mohon tunggu...
permatakhalishia
permatakhalishia Mohon Tunggu... mahasiswa

saya sangat menyukai dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

"Kesunyian di Ketinggian" Tragedi Juliana Marins Pendaki Asal Brasil dan Keselamatan Gunung Rinjani

26 Juni 2025   16:06 Diperbarui: 26 Juni 2025   16:24 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://tangerang.tribunnews.com/2025/06/25/daftar-selebriti-dan-tokoh-publik-brazil-yang-bersuara-soal-tragedi-juliana-marins-di-gunung-rinjani

Ketika keindahan gunung berubah menjadi duka, dunia pun mulai bertanya: apa yang salah?

Seorang pendaki penuh semangat seperti JulianaMarins --- seorang publicist dan solo traveler asal Niteri, Brasil --- memilih untuk menaklukkan Gunung Rinjani, kita pasti membayangkan keindahan alam dan kebebasan di puncak. Namun pada 20 Juni 2025, perjalanan yang seharusnya membawa kebahagiaan justru berubah menjadi kisah duka: Juliana tergelincir beberapa ratus meter saat menuruni jalur crater rim dan terperosok ke jurang sedalam 600m.

Juliana memulai pendakiannya bersama seorang pemandu lokal. Namun, pada titik tertentu, ia diduga tertinggal dan melanjutkan pendakian seorang diri. Ia kemudian terjatuh ke jurang di daerah Cemoro Tunggal, sebuah lokasi yang menurut warga sekitar memang berbahaya dan tidak dilengkapi pagar pengaman. Ironisnya, keberadaannya sempat terdeteksi lewat drone pada hari kedua pencarian---ia masih hidup dan terlihat melambaikan tangan serta berteriak minta tolong. Namun, ia tetap tidak terselamatkan hingga ditemukan tak bernyawa oleh relawan.

Selama empat hari, upaya penyelamatan berjalan penuh liku: drone termal mendeteksi keberadaannya, ramalan cuaca buruk dan kabut tebal menghalangi akses, tali tidak cukup panjang, serta medan terjal membatasi tim SAR . Pada akhirnya, jenazahnya ditemukan pada 24 Juni, dan dievakuasi ke pos Sembalun pada 25 Juni.

Menurut laporan media internasional seperti India Times dan AP News, keluarga Juliana mengecam keras tim SAR Indonesia dan kedutaan Brasil atas keterlambatan dan kebingungan informasi selama proses penyelamatan. Bahkan mereka menuding bahwa beberapa dokumentasi video hanya "dibuat untuk kamera", bukan betul-betul usaha penyelamatan yang efektif.

"Kami tak bisa menerima kenyataan bahwa dia terlihat hidup, tapi tak satu pun bantuan benar-benar menjangkau dia tepat waktu," -- pernyataan keluarga Marins kepada media Brasil.

Keluarga Juliana melancarkan kritik keras. Mereka menuduh tim SAR Indonesia dan kedutaan Brasil lambat, tidak transparan, bahkan menyebarkan informasi keliru terkait kondisi sang pendaki---bahkan Rescue menurut mereka cuma "staged footage" detik.com+1indiatimes.com+1. Sementara di lapangan, justru relawan lokal, seperti Agam Rinjani, yang akhirnya mengevakuasi jenazahnya dengan tekad dan physik yang berat.

Antara Komersialisasi Alam dan Keamanan yang Terlupakan

Gunung Rinjani, yang menjulang megah di Pulau Lombok, setiap tahunnya dikunjungi oleh puluhan ribu pendaki baik dari dalam negeri maupun mancanegara. Keindahan alamnya yang menakjubkan---dari padang sabana, danau kawah Segara Anak, hingga puncaknya yang ikonik---telah menjadikannya salah satu destinasi wisata petualangan paling populer di Indonesia. Namun di balik ketenarannya yang mendunia, tersimpan persoalan serius yang masih luput dari perhatian: keselamatan pendaki belum menjadi prioritas utama. Popularitas dan pemasukan ekonomi yang besar belum diimbangi oleh sistem keamanan dan manajemen risiko yang memadai. Tragedi yang menimpa Juliana Marins, pendaki asal Brasil yang tewas setelah terjatuh ke jurang di kawasan rawan tanpa pengaman, menjadi bukti nyata bahwa infrastruktur dasar di jalur pendakian masih jauh dari kata ideal. Area berbahaya seperti Cemoro Tunggal seharusnya sudah ditandai sebagai zona merah, namun tidak ada pagar pengaman, tidak ada rambu peringatan, bahkan minim pengawasan.

Lebih jauh lagi, sistem pencarian dan penyelamatan (SAR) yang seharusnya sigap dan terkoordinasi justru menunjukkan kelemahan fatal. Respons tim SAR dianggap lamban, tidak terintegrasi, dan kurang memanfaatkan teknologi secara maksimal. Padahal, waktu adalah faktor krusial dalam proses penyelamatan korban yang masih hidup. Ironisnya, dalam kasus Juliana, justru relawan lokal yang bergerak cepat dan berhasil menemukan jasadnya, sementara aparat resmi masih berkutat dengan birokrasi dan keterbatasan. Komunikasi antar lembaga pun tampak tidak sinkron, menyebabkan penyebaran informasi yang simpang siur kepada publik dan keluarga korban. Sempat beredar kabar bahwa Juliana telah selamat dan sedang dievakuasi, padahal kenyataannya ia masih terjebak di jurang dan belum tersentuh bantuan apa pun. Ketidakjelasan ini bukan hanya menyakitkan bagi keluarga, tetapi juga mencoreng reputasi tata kelola pariwisata petualangan kita di mata dunia internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun