Jarum jam paling pendek itu menunjuk ke angka enam, pagi hari. Tidak seperti biasanya pagi ini saya sudah mandi. Setelah menyiapkan materi, tanpa sarapan terlebih dahulu seperti yang biasa dilakukan, dengan membonceng seorang teman kami mulai meluncur meninggalkan Kampus Boarding. Perjalanan nampak lancar dalam beberapa hitungan menit perjalanan, lalu semakin lama medan yang dilalui mulai nampak kurang terasa nyaman. Kerusakan jalan yang terbagi di beberapa badan jalan benar-benar membuat tangan dan kaki terasa pegal karena jika sedang turun, otomatis harus menahan tubuh supaya tidak mendorong pengemudi yang ada di depan. Jalan sebelum mencapai jalur masuk memang tidak terlalu buruk, namun juga tidak begitu baik.
Setelah melewati beberapa desa dengan jalan yang berlubang-lubang dan sebagian besar sudah rusak, kami mulai naik level. Ini dia jalur maut (untuk mesin) yang sudah membuka tangannya lebar-lebar dan mempersilakan kami untuk naik. Dengan adrenalin yang tersisa, Fa’i, teman saya yang ada didepan langsung tancap gas dan meluncur naik asal naik, asal bisa maju. Beberapa puluhan meter berjibaku dengan batuan yang menanjak, motor tua itu masih meraung-raung dengan liar hingga kami yang berada di punggungnya sampai terlonjak-lonjak. Katanya perjalanan dengan saya masih lebih baik daripada saat dengan teman yang lain, karena kami berdua ditakdirkan memiliki postur yang kurus. Jadi resiko kemogokan bisa dihindari. Tapi ternyata tidak, singa tua itu benar-benar menyerah setelah kami paksa untuk terus naik diluar batas kemampuannya. Bagaimana lagi, kini dengan jalan kaki, kami juga harus mendorong motor itu sambil terengah-engah namun tetap mengasikkan. Apalagi waktu itu saya teringat berbagai macam berita tentang akses yang buruk bahkan mengancam nyawa, sehingga yang seperti ini belumlah apa-apa.
Akhirnya kami tiba juga ditujuan meski terhitung terlambat beberapa menit, karena angka telah menunjuk jam setengah delapan lebih disebabkan sebagian waktu yang ada sudah kami habiskan ditanjakan. Di sebelah kanan kami terhampar tanah yang luas dan cekung yang dipenuhi tumbuhan berwarna hijau. Kata temanku, inilah yang disebut dengan telaga Kumpe itu.
Rasa lega memenuhi dada dan kami istirahat beberapa detik dulu setelah memarkirkan motor dibawah sebuah pohon lalu dilanjutkan jalan kaki menuju TKP. Dibawah iniadalah kondisi Kumpe saat peratama kali kulihat. Selamat menyaksikan..
Masih ada airnya kan? Tapi karena dijebol, akhirnya air yang sedang lumayan itu mubadzir. Tapi bukan seperti itu, ini karena Kumpe sedang berada pada tahap pra pembangunan. Nah, kalau warna orange yang ada di tengah foto agak ke kiri sedikit, itu namanya MTs PAKIS.
Tujuan atau TKP yang saya maksud, apa lagi kalau bukan gazebo yang sederhana tapi kukuh berdiri. Sesampai disana, kami disambut tigabelas siswa yang memakai “seragam seadanya” (tidak se-ragam) ternyata sudah menunggu. Yang membuat saya agak terkejut yaitu manakala mereka semua menyalamiku dengan bergilliran hingga membuat saya sempat merasa seperti kiyai yang sedang disalami oleh santri-santrinya. “Lho? Lho? Lho?” pikirku.
Kedatangan saya yang mengagetkan mereka (karena pada saat itu rambut saya merah) waktu itu dalam rangka mengajar Bahasa Indonesia. Karena teman yang biasa mengajar sedang Long March Purwokerto-Jakarta, yang didukung penuh oleh BRI dan tak lupa Perhutani. Sambil memperhatikan Fa’I yang mengajar lebih dulu, saya sempatkan untuk mempelajari materi yang akan di sampaikan nanti supaya tidak memalukan. Ketika tiba saya untuk mengajar, tiba-tiba suasana berubah karena aku merasa ada yang aneh di antara murid-murid ini. Tapi ternyata terbalik, justru murid-muridlah yang memandang saya aneh dan asing. Selain dari penampilan yang kurang terhormat, bahasa yang aku gunakan ternyata menjadi masalah. Sepertinya anak-anak MTs ini jarang mendengar bahasa diluar bahasa sehari-hari mereka.
“Ono opo to? Tanyaku, tapi disambut tawa cekikikan, terutama murid-murid putri.
“Pie? Pelajarane tekondi? Aku berusaha tidak peduli, tapi mereka sebagian justru mengikuti logat yang aku sampaikan dengan, “pie? Pie? Iyo to? Iyo to?”. Rasa gengsi yang mulai terancam membuat saya harus pada posisi menyerang dengan mengatakan, “yo pie? Yo pie?” Akhirnya mereka tertawa dan saya juga tertawa. Itulah mekanisme penyerangan fersi saya. Buat lawan senang, kita juga senang (jangan pedulikan kalimat barusan).
Meski diawalnya nampak kacau, beruntunglah saya bisa berlagak professional, karena hanya Bahasa Indonesialah Mata Pelajaran yang dirasa paling aku kuasai. Akhirnya pelajaran berjalan lancar, bahkan untuk pemula seperti saya rasanya sudah patut diberi nilai B.
Pada saat sesi pengerjaan soal menurut modul yang saya bawa, ada satu anak yang mendekat secara diam-diam sambil berbisik.”Maaf mas, anak-anak disini memang begini. Jadi mohon maklum, ya…”. Sepertinya dia sadar betul dengan perasaan tertekan yang saya rasakan. Ohhh… gracias.. Saya makluuum sekali. Kalian kan masih anak-anak.
Itulah mereka, sekompi pasukan lugu yang tengah berjuang menghadapi kebodohan yang menimpa kampungnya.
Mad Tofik. Peserta didik Boarding School Mbangun Desa Baturaden
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI