Berjalan di sore hari, menatap pertokoan, Jarwo membayangkan dirinya jadi bos muda. Mungkin, itu bisa terjadi. Tapi, Jarwo tetap bertekun belajar dan menulis.
"Memangnya apa yang mereka jual sampai ramai begitu ?" Jarwo mulai penasaran. Ada gerobak kecil, tapi dikerumuni banyak orang. Kebingungan, tak mau melewatkan kesempatan. Jarwo mendekat.
"Penjual pisang coklat dengan banyak perlengkapan. Jadi, ini semacam olahan pisang. Tapi, pisang sudah sulit sekarang. Makanya, pakai aroma pisang saja. Lainnya ya hanya tepung !"
Mendengar penjelasan itu, Jarwo keheranan. Bukannya pisang masing banyak. Ada di belakang rumahnya puluhan pohon pisang. Pada jalan yang biasa dilewatinya, pisang juga bergelimang.
"Mungkin hanya malas saja penjual ini. Takut rugi, jadinya pakai pisang-pisangan."
"Apa tidak kasihan sama pisang ? Pasti pisang merasa tergantikan !" lanjut Jarwo meneruskan perjalanannya. Keramaian semakin berkembang. Namun, keramaian itu justru membuat Jarwo merasa kesepian.
Sambil terus melangkah, Jarwo teringat pada peristiwa puluhan tahun silam. Ketika dia punya masalah dengan tetangganya. Tidak bisa diam dan terus berisik. Makanya, Jarwo menjadi jarang di rumah. Sengaja terus berkelana. Mencari tempat untuk menenangkan diri.
"Aku mau pisang goreng !" ujar Jarwo pada Ibunya. Sebelum pergi, Jarwo memastikan kalau di rumah tidak punya pisang. Jadi, mau tidak mau harus membeli. Mungkin, harga pisang akan naik karena bulan puasa.
"Pisang jadi primadona ketika bulan puasa. Jadi laku, dibuat berbagai macam olahan pisang. Ada kolak dan pisang goreng saja sudah nikmat. Semua dari pisang dan bisa kenyang kapan saja !"
***
Setelah pulang dari pergi mencari keheningan, Jarwo menulis catatan. Ia enggan kehilangan kesempatan. Paling tidak, satu kata menjelma harapan. Tulis saja, entah nanti seperti apa pasti berguna. Dalam hening menulis, terdengar suara memanggilnya.
"Jar, ke mana saja dirimu. Uang untuk membeli pisang kurang. Apa dirimu ada uang ?"