Pasar Sentul
Cerpen Yudha Adi Putra
        Kemacetan menghiasi jalan menuju pasar. Ramai pedagang dan pembeli. Tak jarang, klakson berbunyi. Bau tak sedap menant. Entah dari knalpot. Bisa juga dari sayuran membusuk di pojok pasar. Itu semua tak menghalangi keramaian pasar. Mentari sudah kian meninggi. Tetap saja banyak orang berdatangan. Bukan tanpa sebab, hari ini adalah pasar terakhir dibuka. Esok, mungkin sudah tidak ada lagi. Rencana penggusuran pasar sudah ramai diperbincangkan. Harapan dan realita berseberangan. Kalau pasar pindah, bagaimana kehidupan selanjutnya, kira-kira begitu. Karena tak banyak orang punya modal. Ibarat kata, datang saja ke pasar pulang bisa bawa sayuran. Kalau dipindah, apalagi ke tempat penuh aturan yang dihias dalam bentuk retribusi, tentu mengelisahkan. Bagi siapa saja, bisa pedagang, bahkan tukang parkir yang untung berlipat karena ada pasar.
        "Paling tidak, kita bisa merayakan sebentar keramaian pasar ini. Esok, mungkin hanya tinggal cerita. Pasar baru belum tentu suasananya sesuai," kata Jarwo pada temannya. Mereka menyusuri pasar. Bukan untuk belanja. Hanya melepas penat kala bimbingan skripsi. Tugas kuliah sudah menanti, tapi tak ada salahnya untuk menikmati pasar.
        "Semua ini mau digusur ya ? Ramai sekali. Aku penasaran sama tukang pijet yang biasa mangkal di pojok sana," sambil menunjuk pojok pasar. Handoko bercerita bahwa dulu dia pernah pijet di pasar. Itu dilakukan atas saran temannya yang ibunya berjualan di pasar ini.
        "Selepas bermain futsal, dulu kakiku terkilir. Jadi, aku ke sana. Bahkan, aku juga sudah menyarankan pada beberapa teman. Tempat ini punya daya majis untuk rekomendasi," ujar Handoko.
        Mereka terus berjalan menyusuri pasar. Jarwo menatap seorang penjual bunga. Bunga berbagai macam ada di sana. Membuat Jarwo ingin mendekat.
        "Rasanya aku mau membeli bunga dulu. Nanti, lumayan untuk ditanam di kamar kos. Bagaimana menurut kalian ?" tanya Jarwo pada ketiga temannya. Tak ada jawaban. Jarwo melanjutkan langkah sendirian.
        Ketiga temannya Jarwo hanya saling berpandangan. Sejak kapan Jarwo jadi menyukai bunga, begitu gumam mereka. Atau, mungkin Jarwo sedang kasihan dengan penjual bunga. Tempatnya lusuh, tapi bunganya bagus-bagus. Paling tidak, itu cukup menghibur dan murah bagi mahasiswa semester akhir.
***
        Sebulan berlalu, Jarwo kini menjadi perawat bunga. Ia membel lima bunga dari pedagang di pasar sentul. Tetap saja, setelah pasar digusur. Jarwo tetap berusaha ke pasar. Ia mencari bunga dan penjual bunga, lebih tepatnya mencari penjual bunga yang menjadi langganannya itu.