Jathilan Pasar Malam
Cerpen Yudha Adi Putra
Hujan baru saja reda. Rumput lapangan masih basah. Teriakan penjual mulai terdengar. Semua tidak mau melewatkan malam. Ada pasar malam di lapangan. Malam Minggu, tentu akan ramai. Suara musik saling bersautan. Tidak mau kalah dengan berisiknya kepala Erni.Â
"Bagaimana nanti kalau dilihat teman-temanku !" gumam Erni.
Pertunjukkan akan dimulai jam sembilan. Masih ada waktu untuk melihat tong setan. Keinginan itu disimpan tiap malam. Ketika mau diwujudkan, Erni takut.
"Dulu, bapakmu juga main tong setan !"Â
"Aku tidak mau melihat tong setan lagi. Hiburan itu telah membuat bapakmu tidak ada !" lanjut Bu Heni. Ibunya Erni sangat benci permainan motor itu. Hanya melihat motor berkeliling. Memang lintasannya mengerikan. Ada tong raksasa. Setiap menoton bisa memberi uang. Pengendara sepeda motor akan menyambar. Lepas tangan. Tepuk tangan bisa terdengar kapan saja.
"Sebenarnya. Bukan karena tong setan bapakmu meninggal. Itu karena tuntutan Ibumu !" ujar Paman Haryo. Kawan Pak Dibyo, seorang pengendara motor handal.Â
"Tuntutan apa ? Ibuku tidak pernah menuntut !" jawab Erni kesal.
"Tuntutan uang bulanan. Bayar sebagai pengendara sepeda trail berapa ? Tidak banyak. Belum kalau pasar malam sepi. Makanya, bapakmu berusaha membuat atraksi keren. Malah terjatuh. Dulu, tujuannya supaya diminati penonton !" jelas Paman Haryo.
Bayangan akan asyiknya melihat tong setan. Erni mulai berjalan di antara keramaian. Kesepian tidak bisa kalah. Musik yang keras seperti tak terdengar. Lamunan Erni masih pada sebuah tong raksasa. Tong yang diceritakan membunuh Bapaknya.