Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Requiem Prenjak Tamu

23 Januari 2023   21:00 Diperbarui: 23 Januari 2023   20:57 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Requiem Prenjak Tamu

Cerpen Yudha Adi Putra

                Kicauan burung yang memanggil namanya sendiri sering menjadi penanda. Orang desa bilang, kalau burung prenjak berkicau akan ada tamu. Makanya, burung itu bernama prenjak tamu. Prenjak tamu kini berhati cemas. Bagaimana tidak, pohon untuk membuat sarang sudah tak ada. Berganti perumahan angkuh tanpa pohon.

                Akulah prenjak tamu terakhir. Begitu aku berusaha memperkenalkan diri. Sulitnya mencari pasangan di perumahan membuatku yakin. Mungkin saja, prenjak tamu sudah hampir punah. Aku sendirian. Kalau kalian melihatku, dulu pasti nampak lincah dengan kicauan keras. Itu dulu, kini aku tak berani menampakkan diri.

                Akan selalu ada lelaki dengan kurungan jebakan. Bukan kurungan burung biasa. Apalagi, kurungan untuk menangkarkan burung. Kalau penduduk desa mendengar nama prenjak tamu. Pikiran mereka sudah tertuju pada toko pakan burung. Berharap, masih ada prejak tamu tersisa. Kalau tidak, nanti menangkap. Pakai apa pun. Entah getah dicampur lem. Bisa juga dengan benang untuk menjerat kakiku.

                "Burung prenjak tamu tidak boleh diburu !"

                "Tidak boleh ditangkap. Biarkan hidup bersama kita !"

                "Bila ada yang melihatnya. Anggap saja itu sebagai penanda ! Jangan dijebak atau dipancing supaya hidup dalam sangkar !"

                Begitulah. Aku sering mendengar ucapan tetua desa. Tapi hanya dalam ucapan saja. Tiap siang, hampir selalu ada ranting dengan jebakan. Kata temanku dulu, jika kakiku menginjak ranting itu. Rasa lengket akan terasa. Belum lagi, bisa merusak bulu. Jadi tidak bisa terbang.

                Lantas, apa yang membuat penduduk desa menjadi memburu kami ? Memburu prenjak tamu ?

                Kalau tidak salah, ada gantangan burung di samping desa. Banyak perlombaan burung muncul. Ada uang di sana. Manusia butuh uang ? Jelas ! Kalau bisa dengan cara termudah. Menangkap burung prenjak misalnya. Tapi, tidak sepenuhnya benar demikian.

                Dua bulan yang lalu, ada burung prenjak masuk rumah. Berjalan di depan rumah. Membuat sarang di dekat lampu. Hingga beberapa waktu, listrik di desa padam. Konon, itu gara-gara sarang prenjak tamu. Mula-mula, banyak yang mengira karena hujan lebat. Ada angin yang membuat pohon tumbang hingga kabel listrik putus. Seminggu kemudian, nampak sarang prenjak tamu menganggu saklar. Itu membuat konslet, begitu katanya.

                Lalu, bukan hanya itu. Ada anak kecil bermain di tepi sungai. Awalnya, ia bersama orangtuanya. Maklum hidup di desa. Gadget masih langka. Ada satu yang punya. Semua langsung terkesima. Ibu-ibu sampai tak sadar kalau membawa bayi mereka, termasuk anak kecil. Mereka sedang asyik berfoto. Ajakan membuat video juga tak kalah menarik. Tak diperhatikan, ada bayi merangkak mendekati sungai. Ia seolah mengejar burung kecil yang berlarian. Prenjak tamu. Seolah menarik perhatian.

                Tak butuh waktu lama. Bayi itu tercebur ke sungai. Ia kesulitan nafas. Hanyut, tak tertolong. Ibu-ibu baru sadar ketika ada kicauan prenjak tamu juga.

                "Dasar burung penanda sial !"

                Bentak ibu yang kehilangan anaknya. Bukannya memperhatikan perilaku anaknya. Ibu itu sibuk menyalahkan prenjak tamu. Tentu, itu bukan aku.

                Gemparlah seluruh desa. Akibat mengikuti prenjak tamu, seorang anak hanyut di sungai. Mungkin, itu alasan terkejam hingga banyak penduduk memburu prenjak tamu. Baru kali ini, burung kecil yang awalnya tidak laku. Dicari banyak orang karena dendam. Tidak sepenuhnya, karena laku dijual juga. Kicauannya keras dan merdu. Bagi yang suka.

                "Besok. Aku akan menangkap prenjak tamu juga !" kata kakek tua.

                "Kau sudah tua. Hati-hati. Ingatkan, dulu waktu kita kecil. Burung kecil itu berkeliaran bebas di depan rumah !"

                Sepasang lansia saling bertatapan. Aku menjadi ketakutan. Kalau orang tua yang mau menangkap. Kepada siapa aku berlindung ? Manusia yang merusak. Manusia juga ingin merawat. Mereka aneh !

                "Tidak usah ! Itu karena kecerobohan saja. Makanya, kalau punya anak diawasi. Bukanya malah mainan HP !"

                "Lebih dari itu, kurunganku ada yang kosong satu. Mungkin pas untuk prenjak tamu !"

                Sialan. Kakek tua itu juga mau memburuku. Sebuah kurungan usang dipersiapkan. Aku melihat dia asyik membuat jebakan.

                "Aku ingat. Dulu prenjak tamu berkicau. Sejam setelahnya, kau datang dengan membawa banyak barang !" kenang seseorang.

                "Apa itu ?"

                "Lamaran. Kau melamarku. Dulu, burung prenjak tamu juga menjadi penanda !"

                Orang-orang mulai mengatakan. Kalau prenjak tamu berkicau di sebelah selatan rumah. Itu juga menjadi penanda. Ada kabar kematian.

                "Kita berpisah di sini saja !"

                "Ada apa?"

                Kicauan prenjak tamu juga terdengar. Tampak sepasang kekasih menyudahi hubungan. Tak hanya itu, yang perempuan memilih lompat dari jembatan bersama bayi dalam kandungan.

                "Kenapa dia bunuh diri?"

                "Kau tak dengar prenjak tamu?"

                "Ia jadi istri simpanan pejabat. Sudah hamil ditinggal begitu saja !"

                Sudah banyak kisah bersama prenjak tamu. Tapi, kesedihan tetap terasa.

                "Kalau tidak ditangkap. Prenjak tamu akan berkicau lagi. Ada kabar sial lagi nanti !" ujar seorang suami. Ia pamit dini hari. Pergi dengan peralatan berburu burung. Kala pagi tiba, aku menjumpainya. Ia berada di rumah istri muda.

                "Sudah banyak kesalahan manusia. Tapi, semua disalahkan pada binatang !" ujar burung trucukan.

                "Bukankah kau juga menjadi penunggu teras ? Kalau memelihara dirimu, orang akan mengira menjadi sosok misterius !" kataku, burung prenjak tamu terakhir di perumahan ini.

                "Berdoalah. Menjelang kematianmu !" sentak burung trucukan sambil mulai terbang.

                Tak terasa. Kakiku menginjak getah lengket. Inikah akhir pembawa kabar ?

                                                                                                Perumahan Griya Mutiara Godean, 23 Januari 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun