Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membaca dan Mengumpulkan

5 Desember 2022   13:10 Diperbarui: 5 Desember 2022   13:27 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Membaca dan Mengumpulkan

Cerpen Yudha Adi Putra

Petani itu menatap hamparan sawah di depannya. Katanya, musim hujan sudah tiba tapi sepertinya hujan belum turun merata. Langitnya memang mendung, agak gelap, dan terdengar suara halilintar. Jika diamati, kondisi padi di sawah itu sudah mulai mengering. Pada waktu malam yang diterangi bulan purnama, petani bergantian mengairi sawahnya, seolah menjadi doa supaya hujan segera tiba.

 Aku teringat, petani itu pernah menceritakan sawah yang subur tanpa kesulitan air. Tetapi sore ini, bulan Desember 2022, tidak ada hujan yang turun dan membasahi lahan pertanian. Setidaknya, tidak ada tanda-tanda hujan akan segera turun. Petani mulai resah dan meratapi langit, setelah berbicara tentang padi yang tidak kunjung mendapatkan giliran pengairan. 

Mereka terdiam, kebingungan mengusahakan air, mulai dari pompa air sampai memperbanyak waktu pengairan air bendungan. Aku mulai terbiasa dengan keluhan petani dan tingkah mereka mencari air untuk tanaman padi, sejak aku pindah di desa aku belajar. Sejak dulu, petani memang mengairi sawahnya dari dua sumber, lalu menanti datangnya hujan ketika bendungan menjadi kering.

Petani bisa tiba-tiba kehabisan jatah air di tengah musim tanam, atau ketika merawat tanaman padi. Tetapi musim ini, meski sudah mendekati musim panen, aku tahu petani sedang gelisah karena kesulitan air.

"Kau tahu, kawan, bertani menjadi jalan hidup yang kami hidupi setengah mati. Sudah banyak pengorbanan kami untuk padi yang kami tanam. Aku yakin, kita bisa melalui musim panen ini dengan hasil yang banyak." katanya.

Aku tidak mengira, setelah kondisi kesulitan air yang terjadi, ternyata petani itu masih memiliki semangat untuk bertani. Mungkin tidak aneh, karena apa yang mereka peroleh sebagai sumber kehidupan adalah dari bertani. Waktu itu, musim tanam dimulai dengan upacara adat. Ada harapan supaya panen bisa melimpah dan tanaman terbebas dari hama tikus. Ritual itu menarik perhatian mereka yang hidup di kota. 

Dalam pertanyaan, apa hubungannya ritual dengan keseimbangan ekosistem, tidak ada yang berani berbicara. Mereka datang dan memotret saja.

Ketika itu, petani membacakan sebuah kertas dan menyebutkan, "masalah kita saat ini adalah keseimbangan ekosistem, sawah tidak hanya menjadi tempat hidup padi saja. Ada ular, ada burung, ada juga hewan lain sebagai bagian dari ekosistem yang saling mempengaruhi. Itulah yang penting untuk kita jaga!"dengan puas berkata demikian.

Lalu, waktu terus berjalan, kelompok tani mulai menanam dan mereka juga bersamaan dengan upaya menangkap tikus. Petani itu menemukan cara supaya tikus tidak makan padi yang sudah siap di tanam. Ia membuatkan rumah untuk burung hantu. Jadi, burung hantu bisa tinggal di sawah dengan memiliki rumah. Tikus-tikus ketakutan ketika malam. Mereke berpindah ke sawah yang tidak ditanami padi karena takut dimangsa burung hantu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun