Mohon tunggu...
Yudha Adi Putra
Yudha Adi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Tidak Pernah Mati

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yudha dan Mbah Tani

28 November 2022   18:30 Diperbarui: 28 November 2022   18:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yudha dan Mbah Tani

Cerpen Yudha Adi Putra

"Bagaimana kuliahmu, Ngger?" tanya seorang petani tua yang duduk di atas kursi roda. Ia berpaling menatap kertas yang dibawa oleh Yudha. Pemuda mahasiswa semester tujuh itu hanya melambaikan tangan setelah mendengar sapaan petani tua. Setelah itu ia berjalan meraih sangkar burung prenjak dan melepaskan pandangan ke arah kebun. Sinar matahari pagi yang menembus dedaunan jatuh mengenai lutuh petani tua.

                Yudha membawa sangkar burung prenjak itu menuju dahan pohon yang terkena sorot matahari, ia putuskan untuk mendorong juga kursi roda petani tua. Sambil menatap burung prenjak yang melompat-lompat di sangkar, Yudha mulai menyalakan rokok dan berbicara.

                "Kuliahku lancar, Mbah. Rencana nanti siang bimbingan proposal skripsi. Aku membahas gagal panen, Mbah. Melihat Mbah Tani berjuang ketika gagal panen memberi inspirasi sekaligus motivasi untuk menulis, Mbah. Ingin rasanya bisa merokok dan bertani di sawah lagi bersama Mbah Tani, tertawa bersama menjaga sawah dari serangan burung, itu sudah lebih dari cukup."

                Petani tua itu memperhatikan gerak-gerik pemuda tadi. Ia berusaha menggerakan kursi roda sendirian, tapi tangannya sudah tidak sekuat dulu lagi. Matanya mulai berbinar dan berkaca-kaca. Nafasnya menjadi cepat dan hatinya penuh harapan. Yudha ingin mengalami waktu bersama Mbah Tani lebih lama lagi. Ia mau mengabadikan momen dalam sebuah tulisan. Memelihara burung dan memberi makan ayam bersama Mbah Tani. Tapi Yudha sadar bahwa tidak ada yang tetap dalam hidup. Hidup harus terus berjalan. Termasuk perihal kehilangan dan kebersamaan dengan Mbah Tani.

                "Dulu, Mbah Tani ingin aku melanjutkan sekolah tinggi, bukan? Mbah tidak ingin kalau aku mengikuti Mbah Tani di sawah untuk menjadi petani. Apakah Mbah Tani masih ingat keinginan itu ?"

                Petani tua itu meraih tangan pemuda tadi dan pandangannya dialihkan pada sangkar burung prenjak. Raut wajahnya memang sudah tua, tapi sorot matanya sangat tajam.

                "Kau harus bermimpi tinggi, Ngger. Tidak mudah menjadi petani. Aku hanya ingin kau belajar, Ngger."

                Petani tua itu mulai tertawa. Pertanyaan dan sapaan pemuda tadi seolah mengatakan kalau petani itu sudah tua. Petani tua memang semakin lemah tubuhnya, mau berjalan juga memakai kursi roda. Meski kesehatannya semakin lemah dan tidak pergi ke sawah lagi, namun kebiasaan barunya semakin keras dilakukan. Menulis. Kebiasaan baru petani tua yang memudakan ingatannya. Ia tidak pernah gagal menebak dan mengingat sesuatu yang terjadi, apalagi ia juga mengalami dan terlibat dalam peristiwa itu.

                "Ngger, lihatlah burung prenjak dalam sangkar itu. Meski dalam sangkar, dalam kurungan, ada keterbatasan, tapi dia tetap berkicau. Ia tidak iri dengan temannya yang bebas," ujar petani tua. "Aku ingin kau menjadi orang yang berguna meski dalam keterbatasan. Bisa menolong banyak orang dalam kesusahan," lanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun