Negeri Religius Tanpa Rasa Takut pada Tuhan
Kita bangga menyebut negeri ini religius. Sila pertama kita, Ketuhanan Yang Maha Esa. Hampir semua warga mencantumkan agama di KTP. Tapi, apakah itu cukup?
Jika kita benar-benar beragama, mengapa korupsi merajalela? Mengapa pembunuhan terjadi setiap hari? Mengapa narkoba dan seks bebas seperti tak bisa dikendalikan? Bukankah semua agama melarang itu?
Agama di negeri ini tampaknya telah menjadi identitas administratif. Simbol yang dipakai saat kampanye. Slogan yang dilantunkan saat krisis. Tapi tak benar-benar hidup dalam keseharian kita.
Kita seolah menjalankan ritual, tapi kehilangan spiritual. Kita taat secara formal, tapi lalai secara moral.
Aku Pun Ternyata Bagian dari Masalah Itu
Tulisan ini bukan penghakiman. Setelah mendalami jalan-jalan kesunyian dalam kesendirian, ternyata saya pun bisa jadi menjadi bagian dari itu semua. Mungkin saya juga sedang mengalami "skizofrenia jiwa", tahu apa yang seharusnya kulakukan, tapi tak sanggup melakukannya. Ingin berubah, tapi tertahan oleh kebiasaan. Ingin hidup lebih benar, tapi dikalahkan oleh kemalasan dan rasa takut.
Kesadaran itu muncul, tapi tak pernah menjelma jadi tindakan.
Zaman saat ini ini membuat semuanya bising dan gaduh, sampai kita tidak bisa mendengarkan suara-suara jernih yang mengingatkan kita akan sikap, perilaku, maupun perkataan kita. Kita sibuk berbicara, tapi malas mendengarkan. Kita sibuk menunjukkan diri, tapi lupa mengenali diri. Kita tahu segalanya, tetapi ternyata kita tidak paham siapa diri kita sebenarnya.
Maka, pertanyaan itu pun muncul kembali, "Apa sebenarnya makna kehidupan ini?" Pertanyaan yang terdengar sederhana, tetapi selalu membuatku terdiam, karena tidak tahu jawabannya apa sampai saat ini.
Jalan Sunyi yang Belum Selesai