Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Dalam Diskusi Virtual, Intelektual Saja Tak Cukup, tetapi Sopan-santun Juga

8 Januari 2015   17:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:33 1020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_389455" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi: Buku Kompasiana, Etalase Warga Biasa karya Pepih Nugraha/Rul"][/caption] Beberapa waktu lalu saya terlibat diskusi hangat di Facebook terkait status rekan Sastra Wijaya, mantan kolega saya di Harian Kompas yang kemudian hijrah ke Inggris menjadi wartawan BBC, terkait sebuah statusnya menyangkut sebuah laporan/tulisan seorang Kompasianer di Kompasiana. Saya sambut status itu bukan karena gagah-gagahan dan sok menguasai persoalan, lebih karena keyakinan bahwa hal ini untuk kebaikan juga, baik untuk didiskusikan, kebaikan buat penulis di Kompasiana, juga kebaikan buat para pembacanya. Namun sebagaimana "nature" atau sifat dari media sosial yang digerakkan oleh teknologi kasat-mata bernama internet, masih banyak orang menganggap bahwa media sosial seperti halnya Facebook, Twitter atau Kompasiana sebagai "terra incognita" (istilah ini terpaksa berulang-ulang saya pakai kembali) alias "tanah tidak bertuan", seakan-akan orang boleh menancapkan tonggak lalu berteriak seenaknya karena mengangap internet sebuah tempat yang sepi, sunyi dan melompong. Padahal sebagaimana hukum netiket, sekali Anda pijit tombol publish di gawai (gadget), dalam sekejap mata apa yang Anda publish sudah dibaca banyak orang. Harap diingat, internet sendiri merupakan kumpulan besar (crowd) dari miliaran orang! Mulutmu harimaumu atau "you are what you say" adalah kata yang tepat untuk selalu Anda ingat jika hendak mem-posting satu konten di internet. Meski kasat mata, sebaiknya tidak menganggap dunia maya (internet) tidak punya hukum dan moralitas di dalamnya. Sebagaimana dunia nyata, internet adalah ranah virtual yang paralel dengan dunia nyata itu sendiri sehingga sikap atau aktivitas saya, Anda, dan kita semua terikat hukum dan moral. Ada yang mengatakan di dunia maya atau internet orang bisa berteriak sesuka dengkulnya! Memang bisa, siapa pula yang larang. Anda ingin menjadi orang soleh bisa, menjadi orang kasar bisa, menjadi penasihat super bisa, menjadi orang sok tahu juga bisa, apapun bisa. Internet adalah kedok yang bisa Anda pakai sesuka hati. Tetapi, internet juga bisa sebagai "benda" seperti udara di mana Anda bisa tampil sebagaimana sikap asli Anda. Terserah, ini pilihan. Terkait dengan "diskusi virtual" yang ingin saya sampaikan, sebaiknya Anda tidak memakai topeng sebab kemampuan Anda berpikir, bernalar, dan berargumen akan kelihatan, meski Anda memakai topeng sekalipun, meski Anda berlabel cendekiawan, profesor, wartawan, dosen atau guru besar sekalipun. Satu penghargaan saya selaku penggiat media sosial, adalah keberanian Anda semua tampil beradu argumen di dunia maya, di media sosial, atau di internet. Anda sudah berani keluar dari kepompong dan menyenyahkan "gengsi intelektual" yang menganggap diskusi hanya punya ruang terhormat di bangku-bangku kuliah atau panggung diskusi eklusif. Semoga masih ingat kata Thomas L Friedman bahwa "The World Is Flat", dunia itu datar, di mana semua orang punya kesempatan yang sama jika bermain-main atau berani masuk ke internet. Bagi saya orang yang sudah berada di internet adalah orang-orang yang berani, orang-orang yang bukan masuk ke peribahasa "katak dalam tempurung", melainkan orang yang menurut Joel Mich adalah orang-orang yang siap meraih "personal branding"-nya atau orang-orang yang siap tersambungkan satu dengan yang lainnya. Kalau istilah lama sebagaimana pernah diungkapkan John Naisbitt, adalah manusia berjejaring. Namun demikian, perasaan bahwa "kita hanya sendirian" di internet, masih saja merasuki para penggunanya di manapun. Apalagi saat dia berselancar sendirian di ruangan tertutup, seakan-akan tidak ada kerumunan orang di depannya. Itulah yang sering kita lupakan; tiba-tiba kita menjadi lupa akan sopan-santun yang kita miliki, kita menganggap dunia internet itu kosong-melompong tak berpenghuni, sehingga bisa meludah, buang angin, atau bahkan maaf... buang air besar di sembarang tempat di depan kerumunan orang di sana. Menjijikkan, bukan? Bagi saya, berdiskusi di dunia virtual, paralel dengan di dunia nyata, sebagaimana terjadi di ruang kuliah atau forum-forum ilmiah. Bedanya, di internet jauh lebih cair dan mereka yang berdiskusi adalah orang-orang yang berada dalam jaringan, atau sudah bersepakat menjalin pertemanan, sebagaimana terjadi di Facebook dan Kompasiana. Maka, kemampuan bernalar menjadi sangat penting. Anda harus punya amunisi "critical thinking", tidak asal njeplak dan asal teriak yang jauh keluar dari topik yang sedang dibahas (out of topic), apalagi Anda seorang dosen atau ilmuwan, yang harus selalu menunjukan sikap ilmiah Anda, kendati kesannya cuma diskusi main-main saja di internet. Ketika memasuki dunia "critical thinking" sebagai amunisi diskusi, Anda harus sudah paham apa makna argumen dan penggunaannya, memahami definisi atau istilah, cakap dengan asumsi-asumsi, penalaran, deduksi-induksi, maupun kesesatan berpikir (fallacia). Sebagai contoh kecil dalam sesat-pikir yang sangat penting dihindari dalam diskusi atau berargumen adalah kesesatan diksi, yakni kesesatan dalam penggunaan bahasa yang kita gunakan saat menyampaikan gagasan. Ada yang disebut kesesatan penempatan kata depan (preposisi), kesesatan karena mengacaukan posisi subjek atau predikat (frase partisipial), kesasatan amfiboli (ambigu), kesesatan akibat ungkapan keliru dan bahkan kesesatan aksen (prosodi). Ini baru soal kesesatan diksi. Belum lagi ada kesesatan presumsi seperti kesesatan karena pernyataan mengandung pertanyaan (petitio pricipii) di mana dalamnya terdapat assumtio non-probata (asumsi yang perlu dibuktikan), circulus in probando (kesesatan akibat argumen yang berputar-putar seperti lingkaran setan). Juga ada kesesatan karena mengabaikan pertanyaan (ignorantia elinchi), kesesatan akbat argumen dialihkan dari pokok persoalan ke orang atau pribadi (ini yang paling banyak dilakukan Facebooker dimana kalau sudah tidak punya argumen lantas menyerang pribadi, bukan menyerang pikiran atau argumennya). Dan banyak lagi kesalahan-kesalahan berpikir lainnya, yang kalau saya jelaskan penjelasannya bisa menjadi satu buku! Bukan bermaksud menakut-nakuti atau menganggap saya pintar dengan mengetahui "bekal diskusi" itu. Tidak juga. Saya selalu menganggap diri saya bodoh dan tidak tahu apa-apa sehingga saya selalu berusaha mencari tahu setiap ada kesempatan. Maka dari paparan ringkas saya ini, kembali ke status rekan Sastra Wijaya yang mempersoalkan sebuah artikel/laporan yang dibuat oleh Kompasianer Mawalu, lahirlah diskusi yang sehat dengan argumen-argumen yang menurut saya cukup baik. Meski memang selalu ada saja perkecualian. Selalu saja ada orang yang tiba-tiba berteriak di kekhidmatan diskusi, orang yang tiba-tiba, maaf... buang angin dengan suara keras, tanpa tahu menahu (atau tidak mau tahu) apa yang sedang didiskusikan orang sekitarnya. Terhadap orang seperti ini, kita harus selalu memberi pemahaman, meski dia itu wartawan atau dosen sekalipun, sebab bisa jadi ia belum paham sopan-santun berinternet atau netiket. Kalau soal metode "critical thinking", saya yakin ia sudah khatam. Bukankah modal wartawan, dosen, pengacara, atau hakim adalah "critical thinking" itu? Nah, untuk menggambarkan bagimana hangatnya suasana diskusi itu, saya copy paste saja aliran percakapannya secara utuh sehingga kita semua, khususnya pembaca Kompasiana ini, memahami cara orang berpikir dan berargumen. Saya mulai dari status Sastra Wijaya sebagai berikut: Kang Pepih Nugraha: saya tahu Kompasiana itu terbuka bagi siapa saja. Tapi dari sisi orang media, saya melihat tidak ada gunanya hal=hal seperti ini dimuat? Apakah ini tidak bagiand dari SARA juga yang katanya "dihindari" oleh Kompas. Walau tulisan ini bernada "positif" tetapi menurut saya maaf tidak banyak manfaatnya bagi khalayak ramai.

Kesaksian Korban yang Lolos dari Maut AirAsia QZ8501 | Kompasiana.com Sumber: Kesaksian bapak Chandra Susanto dan ibu Inge di Gereja Tiberias Indonesia, Balai Sarbini, Plaza Semanggi pada hari ini, 4 Januari 2014, yang lolos... M.KOMPASIANA.COM Like ·  · Share
  • Dedi Kusdinar, Erri Subakti, Iman Nur Rosyadi and 100 others like this.
  • 13 shares
  • Theodora MagdalenaI second to that. Like · Reply · 3 · January 6 at 12:35pm
  • Erri SubaktiKompasiana orientasinya bukan untuk jurnalisme murni, atau citizen jurnalism. makin bersifat kontroversial sebuah tulisan, yg mengundang perdebatan kusir, semakin 'bagus' buat Kompasiana menaikkan rating alexa. tingginya rating alexa berpengaruh pada banyaknya minat pengiklan. masuknya para pengiklan merupakan kontribusi finansial buat kompasiana. jadi kita tau orientasi kompasiana sekarang ini ke mana... Like · Reply · 16 · January 6 at 12:45pm
  • Ratna WidiastutiMelukai hati yg keluarganya jadi korban, imho... Like · Reply · 10 · January 6 at 12:54pm
  • Agnes Sulistiyaningrum TjokroadisumartoNama Susanto Chandra mmg ada Di list yg nga ikut terbang tp Inge Chandra nga ada (list 26 daftar nama penumpang yg tidak ikut terbang) Tuhan mencintai semua umatnya, bkn berarti yg lolos lebih dicintai Tuhan, mmg semua misteriNYA, cara memanggil 'pula...See More Like · Reply · 28 · January 6 at 1:37pm · Edited
  • Agnes Sulistiyaningrum Tjokroadisumartohttp://m.detik.com/.../ini-nama-26-calon-penumpang-yang...
    detikNews : Ini Nama 26 Calon Penumpang yang Tidak Jadi Ikut... NEWS.DETIK.COM Like · Reply · January 6 at 1:27pm
  • Arief Kresno WibowoIMHO, buat saya soal kesaksian ini tidak salah sesuai dogma Tiberias . Yang salah adalah pemilihan waktu dan pemberitaan yang tidak empan papan, yang menurut istilah jawa adalah bener tapi ora pener. Kalaupun saya sebagai mantan calon penumpang yang m...See More Like · Reply · 26 · January 6 at 1:43pm
  • Neila RamdhaniKebutuhan untuk mengingatkan kembali pada jurnalis kita akan komitmen profesi sebagai jurnalis itu memang sudah betul-betul mendesak.. Bisnis jangan samapi mengalahkan komitmen awal bagi awak media… Like · Reply · 9 · January 6 at 1:52pm
  • Namaku Bik AjaSudah bukan rahasia lagi kok, di balik Kompas ada apa dan siapa Like · Reply · 2 · January 6 at 1:57pm
  • Arief Kresno WibowoSaya belajar beberapa aliran sewaktu jaman kuliah, sehingga meskipun sampe sekarang saya masih di presbiterian saya bisa mengerti jalan pikiran teman-teman Bethany, Pantekosta, Bethel dll Like · Reply · January 6 at 1:58pm
  • Sastra WijayaArief Kresno Wibowo and Tante Agnes Sulistiyaningrum Tjokroadisumarto: ya saya tidak mempermasalahkan apa yang dilakukan oleh umat gereja tersebut, namun hal itu dimuat di Kompasiana, untuk konsumsi umum, menurut saya seperti saya bilang walau bernada ...See More Like · Reply · 16 · January 6 at 2:35pm
  • Sastra WijayaNamaku Bik Aja: diskusi yang beredar setiap kali mengenai kompas, selalu orang mengatakan hal seperti itu: bukan rahasia siapa di balik Kompas. Menurut saya itu pemikiran yang malas. Saya pernah di sana dan tahu persis dapurnya. Dan kalau dilihat khu...See More Like · Reply · 29 · January 6 at 2:39pm
  • Namaku Bik Ajajempol Sas..... Like · Reply · January 6 at 2:46pm
  • Onsi Bahadisayang sekali ya bang, kok bisa2nya masuk tulisan spt ini. kenyataannya mereka yg disebutkan dlm tulisan ini pun sama sekali bukan korban karena mereka tdk sempat sama sekali naik pesawat naas itu. bikin bingung karena nyatanya semua korban dlm pesawat...See More Like · Reply · 5 · January 6 at 2:49pm
  • Adi WiyonoYa paling tidak tulisan itu jadi perenungan bagi semua orang tanpa melihat sisi agamanya bahwa tuhan YME benar2 ada .... Like · Reply · 2 · January 6 at 4:06pm
  • Neng MikaRaras Puspa Dewi Pokromo iya kesannya agak kurang enak,kl yg tdk jd ikut naik pesawat ktu korban yg diselamatkan & yg mninggal adalah korban yg tdk diselamatkan Like · Reply · 5 · January 6 at 6:22pm
  • Dina Whymenurut saya, mereka bukan termasuk korban. Kan nggak jadi naik pesawat. Korban adalah mereka yg berada di pesawat pada saat insiden. Sy setuju dengan Neng Mika. Namun, setiap orang punya persepsi sendiri2... Like · Reply · 5 · January 6 at 6:37pm
  • Harry SurjadiSastra, itulah risiko sub-site seperti Kompasiana. Sayangnya, banyak pembaca menyamakan tulisan di Kompasiana itu sebagai produk jurnalistik dan kemudian disebutkan sebagai citizen journalism. Seakan-akan tulisan di Kompasiana itu sama dengan Kompas (cetak maupun kompas.com).
    Kompas.com - Rayakan Perbedaan Kompas.comis Indonesia leading & most credible news and multimedia portal. Previously known as Kompas... KOMPAS.COM|BY KOMPAS CYBER MEDIA Like · Reply · 8 · January 6 at 8:54pm
  • Anton SanjoyoMenunggu klarifikasi kang Pepih Nugraha.... Like · Reply · 1 · January 6 at 9:47pm
  • Tulus Hutabaratgerejanya pariaji? yang tuhannya hanya minyak urapan? kompas....kompas....come on, berita nggak berkualitas jgn disebarlah Like · Reply · 2 · January 6 at 11:28pm
    • Inne NathaliaMeski ga setuju jg dgn beredarnya tulisan ini, tapi ini memang citizen journalism, bang Tulus  bukan produk kompas seperti berita. Ini kan kompasiana, blog personal Like · 4 · Yesterday at 7:50am
    • Write a reply...
  • Tulus Hutabaratjadi kalo selamat Tuhan mengasihi mereka? lalu kalo menjadi korban, Tuhan mengkutuki mereka? teori sukses yg menyesatkan. Kalo dibalik gini ::: keluarga ini selamat karena berlumur dosa, sehingga Tuhan menanti pertobatannya, sementara penumpang yg meninggal sudah selesai tugasnya di dunia. hayo gimana Like · Reply · 15 · January 6 at 11:36pm
  • Virgina NaiolaTerus maksud nya apa jg berita kaya gini???...mensyukuri krn tdk tertimpa musibah atas pertolongan Tuhan???...kok bukannya empati thd korban???...contoh kekristenan egois... Like · Reply · January 6 at 11:43pm
    • Tulus HutabaratBiasalah banyak nabi palsu. Udah tertera di kitab suci.. Nabi yg satu ini jualan minyak urapan dan perjalanan ke sorga, qiqiqi Like · 15 hrs
    • Write a reply...
  • Agoes Widhartonosaya sangat setuju dengan Bung SW. Ini tulisan gak ada gunanya buat khalayak. Like · Reply · 1 · January 6 at 11:56pm
  • Julius PourSaya rasa selera yang memilih berita semacAm ini dimuat perlu diragukan....... Like · Reply · 1 · Yesterday at 7:44am
  • Pepih NugrahaMungkin ada baiknya Sastra Wijaya mengemukakan pendapat dan ketidaksetujuannya atas postingan tersebut di media setara, yakniKompasiana, sehingga terbuka peluang si warga reporter (Mawalu) untuk memberikan pembelaan/sanggahan, bantahan. Kalau soal SARA, Kompasiana punya Tata Tertib, sepanjang dia tidak menghujat agama/keyakinan lain, tidak memprovokasi untuk masuk agamanya atau ke luar dari agamanya, suara warga (apalagi sifatnya laporan), masih bisa dimungkinkan. Kadang orang langsung menghantam Kompasiana sebagai salah urus dan kesannya mata duitan sebagaimana yang dituduhkan Erri Subakti, belum lagi kritikan pedas dari saudara tua sendiri di lingkungan KG yang masih belum paham akan "nature" dari media sosial, yang seakan-akan kalau Kompasiana salah, otomatis saudara tuanya atau saudara-saudaranya di lingkungan payung besar usaha salah juga. Meski demikian, sementara orang tetap menganggap Kompasiana sebagai alternatif media untuk mengemukakan pendapat (apa bisa media mainstream menampung seluruh unek-unek warga yang di Kompasiana seharinya bisa 800-1000 artikel?). Saya lihat di Facebook sebagai media sosial soal SARA dan konten vulgar bertebaran dan aman-aman saja (tidak ada yang melaporkan Facebook ke Twiter atau Kompasiana  ). Memang berbeda kalau itu adanya di Kompasiana, meski cuma kesan. Mari, kita belajar gunakan media yang sama dalam bergaul di media sosial. Kalau Anda tidak setuju dengan konten di Harian Kompas, sampaikan ke Redaksi Yth di koran yang sama, jangan di Republika atau koran lain. Salam. Pak Julius Pour, saya paham Bapak sudah sangat senior yang mungkin tidak mengikuti/memahami sifat dari UGC, di mana di UGC seperti Facebook, Twitter, Kompasiana, tidak ada berita yang difilter dulu atau dibaca editor baru diloloskan/ditayangkan, yeach.... tidak seperti di Harian Kompas tentunya yang saya tahu persis setiap berita yang dimuat sudah masuk beberapa saringan, dan itu baik karena nature atau sifat berita mainstream memang demikian. Like · Reply · 25 · Yesterday at 8:54am · Edited
  • Mohammad Farhanloh saya baru tahu kompasiana itu situs berita?.. bukankah itu situs Media Warga alias Blog Like · Reply · 1 · Yesterday at 8:47am
  • Pepih NugrahaMohammad Farhan bahkan masih ada orang yang tidak bisa membedakan mana media massa mana media sosial, apalagi paham akan sifat-sifatnya (nature) masing-masing media itu. Memang harus tetap sabar untuk menjelaskannya. Like · Reply · 8 · Yesterday at 8:48am
  • Mohammad Farhanya kang Pepih Nugraha ... mungkin ada kompas-nya jadi agak rancu dan butuh pembelajaran bagi yang "nyablak" ... atau namanya ganti jadi www.pepihiana.com ?...he2 Like · Reply · Yesterday at 8:51am
  • Agus HermawanMaju terus, pep! Like · Reply · Yesterday at 8:55am
  • Tjahjo SasongkoKasihan juga Kang Pepih Nugraha, bila ada hujatan tentang Kompasiana selalu dia yang harus menjawab dan membela. Kan ada pengelola yang lain yang bsia menjelaskan secara institusional. Jangan sampai ada julukan Pepih Kompasiana seperti Yos Sonora jaman dulu he he. Anyway, kita semua kan cuma karyawan... Piiss... Like · Reply · 4 · Yesterday at 8:56am
  • Pepih NugrahaSiyaaaaappppp..... kang Agus Hermawan. Saya tidak usah dikasihani Pak Tjahjo Sasongko cukup diberi dukungan saja kalau kita sama-sama "cuma karyawan", bukan? Tantangan, kegagalan dan hujatan yang mendewasakan seseorang, bukan belaian, manjaan atau kasih-sayang Like · Reply · 11 · Yesterday at 8:59am
  • Dharma SetyawanIndonesia harus berterimakasih dengan kompasiana, warga bisa menyalurkan beritanya sendiri. Like · Reply · 2 · 23 hrs
  • Agus HermawanTidak gampang memang menjadi dewasa, lebih sulit lagi banyak org yg merasa dialah penjaga kebenaran... Unlike · Reply · 4 · 23 hrs
  • Tjahjo SasongkoTak apa Kang Pepih Nugraha, toh kasihan itu kan kata dasarnya, kasih, sesuatu yang positif dan dimiliki individu. Saya setuju dengan kematangan yang ditempa bukan dikarbit,. Hanya karena Kompasiana itu entitas, ada baiknya juga dirasakan oleh kamrat yang lain. Biar sama-sama dewasa. Like · Reply · 1 · 23 hrs
  • Abdi M TumanggorMaju terus. Kompasiana milik semua warga sama seperti medsos lainnya. Yang membedakan dari medsos lain adalah, duluan dibuat medsosnya baru mengikuti bgn pemberitaannya yg di kelola divisi ke redaksiannya. Kalau Kompasianna, justru kebalikannya; duluan bagian News portalnya baru ke bagian Medsosnya. Jadi jangan salahkan Medsos Kompasiana atau saudara Tua atau jadi berpikiran negatif di balik payung itu....Semoga kompasiana bisa sejajar kelak dgn Medsos FB dan Twitter Kelak. Like · Reply · 2 · 23 hrs · Edited
  • Erri Subaktikang Pepih, ini yang saya (dan kami dari beberapa kompasianer yg sudah aktif sejak awal2 dulu di kompasiana) melihat perkembangan konten di Kompasiana. Saya masih ingat betul bagaimana tulisan2 yg diragukan fakta dan keabsahannya itu segera mendapat tanggapan dari para pembaca apakah hal2 yg dituliskan benar2 ada atau hoax dan karangan si penulis. sudah tidak terhitung saya menggunakan fitur LAPORKAN kepada admin kompasiana ketika ada tulisan2 yg hanya isapan jempol belaka atau hanya karangan si penulis dengan memuat fakta sebenarnya. tapi tindakan admin tetap membiarkan tulisan2 hasil karangan imajiner itu terpublish. dulu tidak begitu. ketika bantahan tulisan atau fakta asli telah dikemukakan oleh penulis lainnya dengan bukti2 yg kuat, otomatis tulisan karangan tsb. didelete admin. karena hanya menyebarkan kebohongan yg memancing pertikaian SARA atau mendiskreditkan bahkan memfitnah seseorang. Like · Reply · 2 · 22 hrs · Edited
  • Anwar Saksonobagaimana kalau judul pengakuannya diganti :"malas bangun membuat selamat dari kecelakaan ? Like · Reply · 2 · 23 hrs
  • Erri Subaktimudah sekali kok menuliskan reportase palsu, atau opini yg dibumbui fakta palsu dengan seakan2 itu tulisan 'berbau' jurnalistik. Ini yg membuat kompasianer2 lama merasa konten di Kompasiana sudah gak lagi menjadi 'media alternatif' untuk dibaca selain media mainstream. Terakhir yg saya kritik keras adalah saat admin menpatkan sebuah artikel dengan judul memfitnah presiden Indonesia yang sah, di kolom Trending Article, judul tulisan tsb. menyebutkan bahwa Bank Dunia adalah MAJIKAN Jokowi. di mana etikanya admin menempatkan artikel buruk tsb di Trending article? meski admin beralasan penempatan trending artikel berdasarkan banyaknya keterbacaan tulisan tsb. tapi admin tetap punya andil untuk menempatkan atau tidak menempatkan sebuah artikel di kolom Trending Article.... Like · Reply · 4 · 22 hrs · Edited
  • Om TonoMenyimak#belajar dari para senior.. Like · Reply · 1 · 23 hrs
  • Abie BesmanMenurut saya, agak rancu memang kalau kita menyamakan sosial media dengan citizen journalism, social media adalah alatnya, citizen journalism adalah fungsinya, fakta itu yang masih "mengganggu" media mainstream untuk menaikkan berita citizen journalism ke layar media mainstream, untuk kasus ini menurut saya kompasiana digunakan sebagai blog, saya sepakat dengan Inne Nathalia, tulisan ini bukan sebuah citizen journalism, in my humble opinion Like · Reply · 2 · 23 hrs
  • Sastra WijayaKang Pepih Nugraha: saya tidak menulis komentar kepada penulisnya di Kompasiana, karena yang lebih esensi bagi saya adalah media yang memuat tulisan tersebt dalam hal ini Kompasiana. Isi tulisan itu mungkin sah-sah saja untuk kalangan terbatas. tetapi seperti yang saya tulis sebelumnya, walau bernada positif, dia kemudian memberi argumentasi bahwa mereka yang di pihak lain jadi "tidak terselamatkan." Di sini menurut saya peran editor di Kompasiana menjadi penting. Saya memahami Kompasiana sudah banyak juga menampilkan hal yang positif, dalam perkembangan jurnalistik di indonesia, namun yang diperlukan adalah pengawasan lebih ketat, menurut saya. Kalau tidak, - walaupun tulisan diatas di atas tidak masuk dalam kategori tersebut - isi kompasiana yang "kontroversial" tidak ada bedanya dengan situs agregate yang lain atau misalnya situs jo.r.u. Dia munkgin bekerja sendirian, tetapi apa bedanya dengan situs sepeerti kompasiana yang ditulis oleh banyak orang. Like · Reply · 3 · 21 hrs
  • Sastra WijayaJuga karena semua penerbitan Kompas. cetak, kompas online dan kompasiana membawa nama kompas, dan sedikit banyak "diuntungkan" atas nama yang sama, itu juga membawa "tanggung jawab" lebih besar. Kompasiana mendapat keuntungan bisnis darinya, namun kemudian menyerahkan "isinya" kepada siapa saja untuk menulis menurut saya, tidak sepenuhnya bisa dilakukan. Like · Reply · 10 · 21 hrs
  • Wiwin UmbaraKompas, Kompas On Line, Kompasiana. Kompas Kompas juga. Terserah Kompas aja deh. Sama- sama keluaran Kompas juga kan ya? Like · Reply · 1 · 20 hrs
  • Ardi PradanaMenarik sekali mengikuti status ini... terutama tentang pembahasan UGC... dan bagaimana keterputusan asosiasi antara kompasiana dan kompas... Saya malah pingin tahu bagaimana cara melepas tanggung jawab atas produk yang dihasilkan perusahaan induk yang berkecimpung di dunia yang sama (dalam hal ini media)  Memang kalo berkaca dari kasus Lapindo, perusahaan induk tidak dapat disalahkan atas kesalahan perusahaan anak... Tapi, kalau secara moral (beberapa elemen) masyarakat tetap memberikan citra negatif terhadap perusahaan induk, bukankah lebih baik dilakukan perbaikan? Terus terang saya sendiri sudah lama tidak membaca kompasiana karena isinya yang semakin 'fantastis'.. meskipun tidak bisa dipungkiri lagi bahwa dulu banyak juga isi yang menarik didalamnya... tetapi mana yang benar dan mana yang tidak, saya sudah tidak dapat membedakannya lagi, jadi mending tidak dibaca Kalau facebook dan Twitter setahu saya kalo , saya bisa melaporkannya dan lumayan sering tulisan/spam itu hilang dari feed saya.. meskipun itu UGC... bahkan bisa unfollow teman sendiri (jadi ada fitur untuk hanya membaca berita yang saya anggap terpercaya) Like · Reply · 3 · 20 hrs
  • Pepih NugrahaSastra Wijaya, saya kira yang menjadi perdebatan/diskusi di ruangan ini "sebuah konten (tulisan warga) yang ditayangkan di Kompasiana", tetap pagari saja tema diskusi ini. Kalau mau membicarakan Kompasiana, kan tidak harus memuat tautan tulisan Sdr Mawalu ini, sehingga diskusi tidak bergeser ke keberadaan Kompasiana. Saran yang sama juga buat Erri Subakti, mengapa perbincangan jadi ngelantur ke masalah konten Jokowi segala, kita juga tidak sedang mempersoalkan/membahas salah/benarnya atau absah/tidaknya sebuah tulisan warga, fokuslah kepada laporan Mawalu yang ditulis di Kompasiana itu. Namanya juga pendapat, ya boleh saja dibalas dengan pendapat. 'Kan tinggal bilang Kalau "Jokowi Bukan Majikannya World Bank", lagi pula judul tulisan itu flat saja, yakni "Presiden Jokowi Dikritik Majikannya (World Bank)". Apa yang keliru atas judul itu? Beda kalau judul tulisannya "Jokowi Majikannya Worl Bank". Kembali ke soal tulisan yang dipersoalkan Sastra Wijaya, jika KEBERATAN dengan tulisan Mawalu itu, kalau CUKUP PUNYA NYALI, beri tanggapan di fitur komentarnya, atau menulis tanggapan/tulisan tandingan, toh sudah pasti muncul di Kompasiana. Keberatan dengan satu tulisan lalu teriak di media lain, itu sama saja dengan demo di depan kedubes Rusia akibat tidak setuju atas tindakan AS yang memberi peringatan warganya agar tidak berkunjung ke Surabaya, misalnya. Sebaiknya Anda tidak berpikir kalau si penulis itu juga Facebooker sehingga namanya bisa di mention di Facebook. Kalau tidak setuju dengan konten tulisannya, Anda bisa mention Mawalu di Kompasiana, juga menautkan tulisan yang dipersoalkan itu di sana. Ini yang menurut saya jauh lebih elegan dan "macho" di mana Anda berhadapan langsung dengan penulisnya. Beranikah kalian menghadapi Mawalu melalui tulisan di media setara (Kompasiana) dan tidak sekadar menyalahkan Kompasiana (di Facebook) sebagai media penampung tulisan warga? Dengan demikian, ketidaksetujuan atas satu konten tulisan tidak disebar di media sosial lainnya sehingga memungkinkan si penulisnya bisa mempertanggungjawabkan apa yang ditulisnya. 'Kan kalau saya masuk ke apa yang Mawalu tulis, kesannya membela (padahal bisa saja dia keliru). Bagus kalau kita semua mendengar pembelaan/tanggapan dari sisi si penulisnya. Sekarang apa yang mau kita diskusikan lagi selain status ini dipakai sebagai cara masuk untuk menghujat Kompasiana dengan kompas-nya itu, bukan? Admin Kompasiana tidak lepas sepenuhnya atas konten yang masuk, kami menerapkan "post moderation". Selagi tidak ada yang mempersoalkan satu tulisan di Kompasiana melalui fitur "laporkan", artinya tulisan itu okay-okay saja. Jika ada keberatan karena tulisan itu menghina seseorang, menistakan agama/keyakinan dan meminta tulisan itu dicabut, kami harus meresponsnya paling lambat 2x24 jam sebagaimana panduan Dewan Pers, setelah itu kami menghubungi penulisnya bahwa tulisannya sedang dipermasalahkan orang lain dan minta dicabut. Kalau dia bertahan dan mau mempertanggungjawabkan apa yang dia tulis, ya harus saya hormati keputusannya karena dia mempertahankan apa yang diyakininya benar. Menjadi seorang demokrat yang demokratis itu memang susah, kendati kita mukim di negara mbahnya demokrasi sekalipun. Maunya main berangus saja karena menganggap tulisan/pendapat orang lain keliru dan pendapat kita yang paling benar. Terlebih lagi kalau Anda teriak-teriak meminta satu tulisan Kompasiana dihapus tetapi disampaikan ke admin Facebook, ya mohon maaf.... nggak nyambung namanya. Like · Reply · 16 · 17 hrs · Edited
  • Dedi KusdinarHalaaaaaaah........kompas....? Like · Reply · 1 · 18 hrs
  • Pepih NugrahaSeperti pernah sakit hati sama Kompas yi Dedi Kusdinar? Pernah ditolak Kompas? Di sini kita sedang diskusi satu konten, Yi Dedi katanya dosen, jadi bersikaplah terhormat.... jangan sampai dilecehkan sama mahasiswanya nanti, beri contoh mahasiswanya kalau dosennya punya marwah argumen yang baik. Memang susah bagi dosen menjadi bijak di media sosial, tetapi bukan berarti tidak mungkin tidak bisa. Nuhun.... Like · Reply · 7 · 17 hrs · Edited
  • Dedi KusdinarBhua....hwa...hwa....hwa....saya bilang ke mahasiswa saya: Halaaaaaaah.........kompas.....? Like · Reply · 18 hrs
  • Pepih NugrahaHawatos teunig Yi Like · Reply · 18 hrs
  • Yanto MusthofaKang @Pepih Nugraha mesti punya stok kesabaran yang tebal. Meskipun anak-anak usia dini Indonesia berhasil digenjot menjadi anak-anak yang tercepat di dunia dalam urusan bisa baca-tulis-hitung, tapi minat baca buku, koran atau majalah bisa dibilang tetap berada di level dasar jurang. Di negeri berpenduduk 250 juta jiwa ini, sebuah penerbit buku sudah berani berkoar-koar tentang "best seller" untuk buku yang hanya laku 10 ribu eksemplar saja. Padahal, di sono bandingannya satu juta copy. Saya tidak tahu apakah di Indonesia ada koran yang bertiras riil satu juta. Padahal di Jepang yang penduduknya hanya 127-an juta, satu koran, Yomiuri Shimbun dibeli (bukan hanya dibaca berjamaah) oleh 14 juta orang. Di bawahnya masih ada Asahi dan Mainichi yang bertiras 11 dan 10 jutaan per hari, Jadi, sebelum koran-koran Indonesia berhasil mencapai tiras satu juta, masyarakat keburu kenal dengan "pokoknya" media yang murah-cepat-dan-selalu-menarik. Tapi, nanti juga orang akan tahu bedanya media massa dan media sosial. Yang sabar saja. Like · Reply · 2 · 17 hrs
  • Pepih NugrahaSiyaapppp mas Yanto Musthofa, terima kasih atas atensinya, insya Allah saya tetap sabar. Saya masih percaya mantra "you are what you read", jadi bukan soal murah-mahalnya media. Like · Reply · 2 · 17 hrs
  • Patra Rina DewiKalau buat saya cerita kesaksian dari sebuah keyakinan sih sah-sah saja ... selama tidak menghujat keyakinan lainnya. Tulisan tersebut sama sekali tidak ada unsur SARA nya .... Like · Reply · 3 · 16 hrs
  • J Heru Margiantoijin nimbrung diskusi para senior. hingga hari ini memang banyak orang yang sulit memisahkan asosiasi harian kompas dengan kompasiana (termasuk kompas.com). entitas apapun yang membawa nama kompas menanggung tanggungjawab moral dituntut mengidentikkan dirinya dengan apa yang dilakukan harian kompas sebagai media cetak. masalahnya, dengan segala hormat saya pada harian kompas, meski membawa asosiasi nama kompas, kompasiana hadir dalam medium yang berbeda: internet dan media sosial, bukan koran dalam bentuk cetak dengan segala tradisinya. bisa saja diputuskan, kompasiana hadir identik dengan membawa seluruh nilai kompas cetak. tapi, tampaknya tidak begitu yang terjadi. ini soal pilihan. pengelola kompasiana, yang saya pahami, memutuskan hadir sebagai anak zaman: sebagai platform media sosial seperti halnya twitter, facebook, blog, youtube, soundslide, dll. oleh karena itu, konten-konten kompasiana mengalir dari user seperti halnya konten-konten media sosial lainnya. admin kompasiana tidak dalam posisi meng-approve konten. sehinga, kalimat "kompasiana menayangkan, kompasiana menyebarkan" saya kira tidak pas. sama tidak pasnya kita katakan "facebook menayangkan status ini". bahwa kemudian ada konten-konten yang dipandang tidak tepat, tidak segaris dengan semangat harian kompas, itu memang konsekuensinya kompasiana hadir sebagai platform media sosial. sekali lagi, meski diasosiasikan dengan harian kompas dan membawa nama kompas, pun kemudian mendapat keuntungan karena nama itu, kompasiana tidak sama dengan harian kompas. diputuskan berbeda agar bisa tumbuh dalam natur kekinian sebagai media sosial. ini seperti membongkar tradisi. di manapun, sesuatu yang bergerak berbeda dari tradisi yang ada pasti menimbulkan pro dan kontra. dalam kultur media sosial, menurut hemat saya, audienslah hakimnya. kalau anda tidak setuju dengan kontennya, silakan berdiskusi dalam platform kompasiana dengan penulisnya. sama halnya dengan diskusi yang terjadi di wall ini. kalau anda menganggap bahwa kompasiana tidak layak dibaca ya jangan dibaca. kalau anda menganggap kompasiana tidak bermutu, ya tinggalkan saja. mau mencaci, yan monggo saja. sama halnya, kalau anda sependapat dengan j**ru, silakan berteman. kalau tidak sepakat silakan blok atau unfriend. kalau anda suka dengan sebuah blog di wordpress atau blogspot, mungkin anda akan menjadi penggemarnya dan mengikuti setiap postingan pemilik blog. kalau anda gak suka, pasti anda tidak akan pernah mengunjunginya lagi. take it or leave it. begitu yang saya pahami tentang kompasiana. bahwa ada yang menyayangkan kompasiana tidak satu roh dengan kompas cetak ya gak papa juga, karena memang diputuskan untuk menjadi tidak sama. di era media sosial, apalagi di facebook atau twitter, setiap orang bebas berpendapat. so, jelas tidak mungkin menyatukan pandangan. saya kira kompasiana bersama Kang Pepih Nugraha dengan segala perjalanan jatuh bangunnya dan segala caci maki yang ditujukan padanya telah menunjukkan jalan yang ditempuhnya sampai saat ini telah on the track. kalau tidak on the track, kompasiana tentu tidak akan berada pada posisinya kini. salam.
    Kompas.com - Rayakan Perbedaan Kompas.comis Indonesia leading & most credible news and multimedia portal. Previously known as Kompas... KOMPAS.COM|BY KOMPAS CYBER MEDIA Unlike · Reply · 1 · 16 hrs
  • Saropi HasanBiasa saja....terserah yg menafsirkan.... Like · Reply · 1 · 16 hrs
  • Erky NurdhiawanUrusan masing-masing... Like · Reply · 1 · 13 hrs
  • English StewYang memiliki misi sama dengan saya dan lembaga tempat saya kerja yaitu mengedukasi kalangan remaja kita tentang citizen journalism, silakan e-mail ke saya: wswawanstw@gmail.com..Saya sedang mengembangkan sebuah kegiatan untuk mewujudkan misi tsbt..terimakasih Like · Reply · 1 · 10 hrs
  • Mustafa KamalSemoga keluarga korban tidak membaca artikel mawalu ini karena akan membuat pedih seakan2 Tuhan tdk berpihak kpd mereka yg menjadi korban. Terlepas dari itu kompasiana sah2 saja memuat artikel tsb, hanya saja kalo sampai jd HL atau TA saya berpndapat keterlaluan memang disaat duka msh melaraaa...
  • Demikian paparan saya kali ini, semoga memberi pencerahan. Salam....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun