Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Mengenang Frankenstein di Danau Bang Abak

11 Agustus 2020   08:22 Diperbarui: 12 Agustus 2020   05:05 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendayung perahu di Danau Bang Abak , Malinau, Kaltara (Foto: Dodi Mawardi)

Unsur-unsur yang tadi saya sebutkan, adalah objek wisata itu sendiri di luar beberapa pondok dan aula permanen yang berdiri terpisah. Ada juga tempat menginap tiga lantai yang konstruksinya mengikuti tebing, langsung berhadapan dengan kolam ikan di depannya.

Saat mobil memasuki "YTP Ranch" di Bang Abak itu, terlihat alat berat yang sedang beristirahat. Alat berat itu digunakan untuk memangkas tebing, meratakan jalan, bahkan menggali permukaan tanah. Yansen menyicil pengerjaan lokasi yang lebih cocok sebagai tempat wisata itu sejak lama.

"Barangkal ini baru seperempat pengerjaan sampai tempat ini selesai seluruhnya. Kapan selesainya, saya tidak tahu. Saya berdo'a saja," katanya saat berbincang dengan YTP -demikian nama panggilan Yansen Tipa Padan- di "tower" dua tingkat yang berdiri di atas salah satu bukit.

Perlu kiranya saya gambarkan, "tower" yang sejatinya aula terbuka tanpa dinding itu berpemandangan "three-sixty" alias 360 derajat. Mata bisa berputar ke 8 penjuru angin. Mentari terbit dan tenggelam bisa terlihat dari tempat itu dengan hanya memutar posisi badan 160 derajat. "Tower" itu dikelilingi teras selebar satu meter dengan pembatas. Kursi bisa diletakkan di sekeliling "tower" menghadap keluar, membelakangi aula.

Di bawah aula "tower" terdapat ruangan yang digunakan untuk menyimpan delapan toren berkapasitas besar dengan instalasi yang sudah jadi. Delapan toren itu sekaligus sebagai penampugn dan reservoir air bersih untuk berbagai kebutuhan. 

Di Aula dan pondok yang berbilang jarak dari "tower", juga dilengkapi instalasi air terpisah. Tenaga listrik sebagai penerang menggunakan energi surya yang ditanam di beberapa tempat.    

Dari seluruh "objek wisata" yang ada di "YTP Ranch" selain kolam ikan berisi ratusan ikan patin "jumbo", tentu saja danau yang melingkupi bukit, sehingga bentuknya tidak seperti cekungan kawah hasil erupsi gunung berapi, melainkan seperti setengah cincin denan beberapa "anak danau". Bak Abak itu sendiri dalam bahasa setempat bermakna "cekungan yang berada di kaki bukit".

Danau tanpa perahu ibarat pacaran tanpa rasa cinta, hampa. Maka di sana tersedia tiga perahu kecil, dua di antaranya berkapasitas satu orang. Saya tentu saja memilih perahu kecil dengan kapasitas satu orang itu, sebab Frankenstein mengayuh perahunya sampai ke tengah Danau Jenewa juga hanya bertemankan angin malam dan bulan yang tertutup awan. Saya tidak mau ditemani siapapun!

Jangan bayangkan menaiki perahu kecil semudah mengayuh sepada, perlu keberanian sempurna. Ini permainan kombinasi nyali, keseimbangan dan sekaligus percaya diri. Ketika pantat sudah menempel di salah satu ujung perahu dengan pengayuh di tangan, belum tentu keseimbangan muncul begitu saja.

Kesimbangan ternyata harus diciptakan sendiri, tidak lahir atas bantuan tangan-tangan tak terlihat. Angin yang berembus dan ombak air danau yang beriak seolah-olah menguji nyali dan kesimbangan itu. Jika tidak percaya diri dan tidak mengikuti berat badan sendiri, dijamin perahu langsung tenggelam oleh berat badan yang gemetar dan kaku tanpa gaya kesimbangan.

Saya anggap berdayung dengan perahu di danau ini sekadar "urusan kecil" (tanpa harus menjentikkan jari), sebab saat bertugas di Makassar, bersama rekan Kiblat Said, saya biasa berdayung dengan bantuan layar untuk memancing ikan di laut. Meski harus berdayung berdua, tentu saja tantangannya lebih berat karena ombak lautan yang bergolak berbeda dengan ombak danau yang hanya beriak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun