Mohon tunggu...
Pepih Nugraha
Pepih Nugraha Mohon Tunggu... Jurnalis - Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016.

Gemar catur dan mengoleksi papan/bidak catur. Bergabung selama 26 tahun dengan Harian Kompas sejak 1990 hingga 2016. Setelah menyatakan pensiun dini, hari-hari diisi dengan membaca, menulis, mengajar, dan bersosialisasi. Menulis adalah nafas kehidupan, sehingga baru akan berhenti menulis saat tidak ada lagi kehidupan. Bermimpi melahirkan para jurnalis/penulis kreatif yang andal. Saat ini mengelola portal UGC politik https://PepNews.com dan portal UGC bahasa Sunda http://Nyunda.id Mengajar ilmu menulis baik offline di dalam dan luar negeri maupun mengajar online di Arkademi.com.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Menulis Biografi: Mainkan Interpretasimu!

26 Juli 2020   13:35 Diperbarui: 26 Juli 2020   15:15 1527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena ketidakmungkinan itulah terbuka peluang bagi para penafsir (interpreter) untuk menerjemahkan teks menjadi gambar atau film.

Ia tahu persis mana adegan yang harus dibuang atau bahkan "satu peristiwa" yang perlu ditambahkan, khususnya saat novel diunggah menjadi film, yang tidak ada dalam novel aslinya.

Apakah "penghilangan" atau "penambahan" adegan suatu peristiwa dibolehkan dalam penulisan sebuah biografi? Pada kasus tertentu, seperti penghilangan sejumlah tokoh yang tidak relevan dalam mendukung cerita, boleh saja dihilangkan, meski narasumber menceritakannya sebagai fakta.

Apakah sebuah karakter bisa ditambahkan untuk menulis biografi padahal narasumber tidak pernah menyebutkannya? Di sinilah perbedaannya dengan tafsir novel atau cerita fiksi menjadi sebuah film.

Dalam penulisan biografi, penambahan seorang karakter (sosok) sebaiknya dihindari. Ini penting agar terhindar dari tudingan manipulasi fakta, framing atau fiktif. Sebab bagaimanapun, penulisan biografi tetaplah penulisan faktual. "Fakta adalah suci" (fact is sacred) sebagaimana kredo jurnalistik berlaku di sini.

Berbeda saat menafsirkan sebuah cerita kuno, kisah klasik, cerpen dan novel untuk dijadikan sebuah film, terbuka peluang untuk menambahkan "sosok baru" yang tidak ada di cerita aslinya semata-mata untuk menghidupkan cerita itu sendiri, yang penting tidak merusak "ruh" dari ceritanya.

Kemarin saya mencontohkan cerita klasik "Dalem Boncel" yang demikian hidup di Tanah Parahyangan. Apa yang saya tulis itu Semata-mata hasil interpretasi cerita almarhum ayah saya saat ia bercerita tentang "biografi" anak dari Kandangwesi itu.

Nama "Asep Onon" dan "Clara" si Noni Belanda adalah hasil interpretasi saya ketika ayah saya hanya bercerita bahwa Boncel menikah dengan perempuan yang dicintainya.

Almarhum ayah tidak pernah mengatakan istri Boncel itu seorang Noni Belanda. Kenapa saya "berbohong" dan menambahkan "fakta" bahwa ia seorang Noni Belanda? Ya, sebab itu adalah interpretasi saya!

Pun dalam karakter, saya bisa "membalikkan kenyataan" bahwa almarhum ayah yang dulu menceritakan kalau istri Boncel itu seorang yang kejam, yang bahkan mendesak Boncel segera mengusir orangtua yang renta itu secepatnya, tetapi di cerita kemarin saya menggambarkan sosok Clara yang ternyata penuh welas asih.

Clara bahkan protes atas tindakan suaminya yang mengusir orangtuanya sendiri secara kejam. Sementara Boncel justru berbuat kejam kepada orangtuanya karena takut Clara menceraikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun