Mohon tunggu...
Wiyamara Man
Wiyamara Man Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Pecinta dan penikmat hidup sederhana

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Spiritualitas, Agama, dan Sains

18 September 2012   04:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:18 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pertengkaran. Inilah jalan yang harus ditempuh label-label. Sebab apa yang diberi nama, akan menjadi pemicu perbandingan nama. Apa yang dipakaikan keberadaan sebagai baju,  akan disandingkan dengan baju lainnya. Demikianlah hukum keberadaan. Dualitas menjadi satu-satunya hal yang tak pernah dimengerti oleh jaman sekarang. Bagaimana mungkin dua hal berbeda adalah satu kesatuan yang tak saling membandingkan? Padahal, dualitas itu sendiri asalinya adalah saudara dalam kandungan yang sama. Kalau pun dimengerti, itu sebatas teori. Mengapa? Karena sampai saat ini, dualitas adalah raja dari segala pertikaian dan pertengkaran atas nama label atau baju dari berbagai kehidupan yang dijalani seseorang.

Spiritualitas harusnya menjadi ibu yang bijaksana dari setiap keluarga jaman. Sosok Ibu adalah sosok yang bisa menerima setiap anaknya dengan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing anaknya. Seorang ibu menggunakan hati nurani, sebuah sumur kebijaksanaan yang sudah digali oleh tangan Tuhan sendiri sejak manusia diciptakan menjadi ada. Ia adalah simbol dari segala kejernihan dari segala kekeruhan yang ada di pikiran anak-anaknya sepanjang kehidupan. Mengapa? Sebab hanya seorang ibu yang tahu, darimana seorang anak dilahirkan, mengapa karakternya demikian dan pertumbuhan seperti apa yang dilaluinya sejak balita hingga menjadi penguasa atas kaki dan tangannya sendiri.

Agama adalah seorang ayah yang memiliki integritas untuk mengajarkan anaknya tentang adat istiadat dari leluhurnya yang memiliki kebijaksanaan tentang alam dan dinamika hukum kehidupan yang terkandung di dalamnya. Ia adalah sosok yang harus mengajarkan nilai-nilai harga diri serta watak yang berpegang pada pedoman yang baik, sesuai alam, sesuai hukum kehidupan, agar bisa melewati masa-masa evolusi dunia ini dengan cara yang maksimal dan tak menyesal ketika jalan harus berhenti saat lampu merah takdir menyala, saat melewati persimpangan yang tak diduga. Inilah yang perlu ditekankan agama, suatu nilai harga diri, nilai-nilai yang sesuai keberadaan alam, nilai-nilai yang menjadi makna bagi hukum kehidupan, dimana setiap kejadian akan menjadi pedoman mawas diri terhadap pandangan mata yang tertuju ke depan.

Sains adalah anak-anak kehidupan. Ia lahir dari ibu spiritual dan ayah agama. Ia selalu penuh keraguan dan pertanyaan tentang asal muasal ibu dan ayahnya. Ia adalah anak-anak yang ingin bertumbuh agar bisa mencapai tingkat yang melampaui orangtuanya sendiri. Sebab ia pernah mendengar pesan dari orangtuanya di kala kecil, "Belajarlah nak, belajarlah sampai mengerti tentang kebijaksanaan dan kebajikan. Agar tidak menyesal seperti ayah dan ibumu yang bodoh ini, yang hanya bisa memberi sesuap nasi kebijaksanaan dari upah harian dengan melakukan kebajikan kecil-kecil." Demikianlah semangat anak bertumbuh untuk menjadi lebih besar dari orangtuanya. Namun sang anak tak pernah menyadari, ayah dan ibunya adalah cermin dari sifat rendah hati dari ketinggian yang tak pernah dicapai bumi.

Spiritualitas, Agama dan Sains adalah sebuah keluarga yang sedang menjalani proses evolusi mereka di antara kelahiran dan kematian yang selalu datang dan pergi. Mereka adalah keluarga satu tubuh, yang tak pernah terpisah, namun selalu memiliki cara pandang yang berbeda. Mereka adalah pribadi-pribadi yang selalu ingin memisahkan diri, namun secara hakiki hubungan keluarga yang tak kentara akan menjerat mereka dalam jalinan yang tak pernah putus dari jaman ke jaman. Mereka adalah suatu bahtera yang sedang mengarungi keabadian, dengan perilaku dan cara mereka, dengan pikiran dan sudut pandang mereka, dengan kebijaksanaan dan budi pekerti dari masing-masing posisi mereka.

Tetap saja, keluarga adalah keluarga. Ia lahir dari rahim ikatan bernama cinta kasih. Ia tak bisa membohongi satu entitas murni yang selalu terbawa di setiap permainan abadi ini, satu ikatan jerat yang selalu membuat mereka bersama, walau seringkali kebersamaan itu terisi dengan perdebatan, pertengkaran dan perseteruan. Tetap saja, keluarga adalah keluarga, sebuah materai abadi yang tak akan pernah bisa menceraiberaikan mereka terpisah dalam permainan ruang dan waktu disini. Hanya seorang jiwa berhati ibu, ayah dan anak-anak-lah yang akan mengerti semua ini, mengerti pertentangan dan pertikaian ini, lalu melampauinya dalam diam, dalam keheningan, dalam kebijaksanaan yang tak teraba, dalam keharmonisannya yang penuh dengan warna kontras perbedaan, demikianlah hati itu bertumbuh dalam nada-nada harmoni yang menjejakkan kakinya di bumi sebagai pelayan kehidupan abadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun