Mohon tunggu...
Dodi Mawardi
Dodi Mawardi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Writerpreneur, Pendidik, Pembicara

Penulis kreatif sudah menghasilkan puluhan buku, antara lain Belajar Goblok dari Bob Sadino dan Belajar Uji Nyali dari Benny Moerdani. Selain aktif menulis, juga sebagai dosen, pendidik, dan pembicara bidang penulisan, serta komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Bahaya Laten Politik Industri Pers Indonesia

10 Februari 2014   07:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

9 Februari, insan pers Indonesia memeringati hari jadinya. Seluruh komponen pers merayakan hari jadi itu dengan berbagai cara, mulai dari upacara khusus dan resmi di Bengkulu, sampai acara parodi dan sendratari yang dilakukan wartawan di Jawa Tengah. Semuanya berujung pada kebanggaan insan pers akan hari jadinya. Meski, di sana sini banyak tudingan miring terhadap wartawan dan media massa. Hal tersebut direspon industri pers dengan sejumlah aktivitas. Di Bengkulu misalnya dalam peringatan Hari Pers Nasional, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengagendakan banyak rencana perbaikan kualitas wartawan, yang sering menjadi sorotan. Sebenarnya, disorot atau tidak, kualitas wartawan memang harus terus ditingkatkan, karena tidak ada batas tertinggi sebuah kualitas.

Buat saya, sorotan paling tajam untuk industri pers adalah terlibatnya sejumlah pemilik media massa dalam kegiatan politik praktis. Kalau kita berkaca kepada sejarah, maka kita akan melihat bahwa dunia pers dan politik tidak bisa dipisahkan. Zaman perjuangan kemerdekaan, banyak sekali wartawan Indonesia yang turut berjuang meraih kemerdekaan melalui tulisan-tulisannya. Sebut saja yang paling terkenal adalah H. Agus Salim, seorang yang kemudian diabadikan sebagai pahlawan nasional. Agus Salim adalah penulis dan wartawan, yang sangat aktif memperjuangkan kemerdekaan. Di satu sisi dia adalah jurnalis/penulis, namun di sisi lain Agus Salim aktif dalam kegiatan politik praktis menentang pemerintahan kolonial Belanda.

Media massa dan politik memang tak terpisahkan. Seiring perjalanan waktu, sejarah juga mencatat bahwa media massa menjadi salah satu pilar kekuatan politik tertentu. Bahkan penguasa yang paham betul akan kekuatan media massa, berusaha keras mengontrol media massa. Bukan hanya satu atau dua media massa, namun seluruh media massa. Hal itulah yang sukses dijalankan Soeharto pada masa orde baru. Seluruh stasiun radio di Indonesia yang jumlahnya hampir 1000 stasiun dilarang bikin berita. Produksi berita yang boleh dilakukan oleh RRI. Lainnya tidak. Demikian pula televisi, yang kontrolnya lebih gila lagi, karena hanya boleh ada satu televisi milik pemerintah yaitu TVRI. Tidak ada televisi swasta selama puluhan tahun. (TV swasta baru lahir pada 1989).

Kini, zaman berubah. Peta politik berubah. Industri pers pun berubah. Masyarakat juga berubah. Semua mengalami perubahan. Tapi satu hal yang tidak bisa berubah, bahwa media massa tetap menjadi makhluk yang sangat menarik untuk dikuasai, dengan berbagai tujuan, termasuk politik. Sayang seribu sayang, kondisi industri pers kita sekarang secara umum menyedihkan. Kepentingan bisnis dan kepentingan kekuasaan, sungguh dominan. Fungsi pres sebagai media pendidikan, media informasi, media sosialisasi nilai-nilai kebaikan, fungsi pengawasan plus sebagai salah satu pilar demokrasi, terkalahkan oleh kepentingan bisnis dan kepentingan kekuasaan.

Dulu, Agus Salim berjuang lewat pena untuk menentang kezaliman kolonial Belanda. Lalu, Soeharto menggunakan media massa untuk melanggengkan kekuasaannya. Kini... tak ada lagi kedua hal tersebut. Pemilik dan praktisi media massa, sebagian besar berjuang untuk bisnis dan berjuang untuk meraih kekuasaan. Para pemilik media-media besar, kini justru berlomba dalam politik praktis untuk menjadi penguasa, menjadi presiden atau wakil presiden. Media massanya menjadi corong dan ajang kampanye mereka. Bagaimana mungkin pemberitaan mereka akan netral jika pemilik medianya berpolitik praktis? Sia-sia aturan yang menyebutkan bahwa wartawan tidak boleh berpolitik praktis, jika bosnya wartawan justru berpoitik praktis.

Untunglah, penguasa saat ini tidak memiliki media massa. Untunglah, penguasa saat ini tidak juga berusaha menguasai media massa, dengan kekuasaannya. Bayangkan jika penguasa sekarang memiliki media, besar, dan berpengaruh. Wah, iklim jurnalistik dan media massa di Indonesia bakal jauh lebih gawat dibanding sekarang. Perang opini akan tersaji dengan hebatnya. Sedangkan kita publik... hanya akan jadi penontonnya. Untunglah.

Kondisi sekarang pada tataran tertentu sudah amat berbahaya. Konsep dan teori jurnalistik, sudah tidak bisa lagi digunakan dengan semestinya. Menjelang pemilu 2014, kondisinya akan menjadi-jadi.  Beranikah wartawan koran Media Indonesia (serta grupnya) dan Metro TV tidak mendukung Nasdem dan Surya Paloh? Beranikah wartawan Vivanews, TVOne dan Anteve tidak mendukung Golkar dan Aburizal Bakrie? Beranikah wartawan harian Sindo (serta grupnya), RCTI, MNC dan Global TV tidak mendukung Hanura dan Harry Tanoe?

Saya 100% meragukannya!

Bahaya laten politik (praktis) sungguh nyata di industri pers kita.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun