Mohon tunggu...
Catur Indrawan
Catur Indrawan Mohon Tunggu... Freelancer -

Kekasihnya Senja.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ada Mereka di Hatiku (part 1)

12 September 2011   02:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:02 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di pagi, ribuan jejak-jejak kaki menjejak di pelataran shelter busway grogol. Berdandan necis, berserubung wangi parfum, rautraut wajah yang agak kesal menunggu armada busway yang datang menyendat. Akh, rupa-rupanya ada pak menteri yang 'menyelak' jalur kereta biru itu. Kegelisahan tampak terpancar dari wajahwajah mereka. Ada yang mengernyitkan dahi, ada yang menekuk bibir, ada yang gusar dengan blackberry-nya, dan aku menikmat pemandangan yang riuh itu.


Sekeliling shelter tak lepas dari rekam retina mataku, dan terhenti di ujung luar shelter. Sepasang anak kecil yang familiar di mataku, diam membisu, meneropong jalanan yang padat dan berbumbu asap timbal yang tebal. Akh, pagi di jakarta udara bersih begitu langka. Kembali ku pandangi dengan seksama, sepasang kakak beradik itu. Kakak beradik? Ya, di dalam benak ku. Si kakak berusia kira-kira 10 tahun dan si adik kira-kira 7 tahun, berpakaian agak lusuh. Dari berjejalnya calon penumpang busway, mungkin hanya aku yang mengamatinya. Dan sudah 2 armada yang telah kulewatkan. Kulirik jam di tanganku, sudah pukul 07.40 aku telat! Jadi, percuma saja naik busway toh jalurnya sudah seperti jalur umum. Macet!


Kaki ber-converse ku pun meninggalkan kerumunan orang di shelter yang seperti semut mengerubungi gula. Di luar shelter, kudatangi sepasang anak kecil itu,


"Hei, dek. Bengong saja. Sudah sarapan?". Tanyaku, mungkin mengagetkannya.


"Eeeh,... Belum kak.", jawab si kakak dengan bibir bergetar sambil memeluk adiknya yang tertidur.


"Ini buat kamu dan adikmu, buat beli sarapan". aku mengambil uang berwarna merah muda dan coklat.


"tapi, maaf kak. Kami bukan pengemis." si kakak menolak uang pemberianku.


"Iya, kakak tahu, kamu kan yang sering ngamen di lampu merah dekat kantor kakak. Tapi terima saja, kasihan tuh adik kamu lapar." ku julurkan lagi uangku padanya.


"Saya tidak bisa menerima uang kakak dengan cumacuma kak, inget pesan almarhum ibu." ia tetap menolak.


"Baiklah, bagaimana kalau kamu panggilkan ojek buat kakak." sambil kulihat jarum jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 07.50.


"Baik kak, sebentar ya." lalu si kakak membangunkan adiknya dan bergegas pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun