Di sinilah murid belajar menghubungkan. IPS bukan lagi sekadar hafalan konsep, IPA bukan lagi rumus kosong, TIK bukan lagi hanya mengetik di HP. Semua terjalin dengan pengalaman nyata mereka.
Teknologi sebagai Jembatan Masa Depan
Tahap berikutnya adalah eksperimen aktif. Murid diminta membuat solusi nyata. Proyek lingkungan: kampanye “Pantai Tanpa Sampah” dengan membuat poster digital menggunakan AI. Proyek ekonomi: membuat video pendek di TikTok yang mengajak warga membuang sampah pada tempatnya. Proyek edukasi: coding sederhana di Scratch untuk membuat game tentang menjaga laut. Awalnya tidak mudah. Ada siswa yang bahkan belum pernah membuka aplikasi coding. Ada yang kesulitan mengedit video. Tapi dengan gotong royong, semua bisa. “Dulu saya malu kalau diminta presentasi. Sekarang saya bisa bikin poster digital dan posting di internet,” kata seorang siswa dengan senyum bangga. Momen itu membuktikan: anak pesisir bukan hanya bisa menjadi pengguna teknologi, tetapi juga kreator solusi digital.
Dampak Nyata untuk Masyarakat
Karya siswa tidak hanya berhenti di kelas. Poster mereka dipasang di sekitar sekolah. Video mereka dipublikasikan di YouTube sekolah dan disebarkan lewat WhatsApp warga. Game edukasi mereka dimainkan adik-adik kelas. Masyarakat mulai ikut terlibat. Ada warga yang tergerak untuk mengurangi penggunaan plastik. Nelayan ikut kampanye menjaga kebersihan pantai. Seorang ibu pedagang ikan berkata, “Anak-anak ini bikin saya malu. Mereka kecil, tapi berani ingatkan kami soal sampah. Saya jadi ikut jaga pantai.” Dampaknya jelas. Lingkungan lebih bersih. Kesadaran meningkat. Dan yang paling penting, murid merasa mereka bisa memberi kontribusi nyata.
Membangun Generasi Pelajar Berkarakter dari Pesisir
Program ini bukan hanya soal IPS, IPA, atau TIK. Lebih dari itu, ia membentuk karakter.
- Penalaran kritis saat menganalisis masalah lingkungan.
- Kreativitas saat mencipta solusi digital.
- Kolaborasi saat bekerja kelompok di lapangan.
- Kemandirian saat memanfaatkan teknologi.
- Peduli lingkungan dan tanggung jawab sosial saat menjadi agen perubahan di desanya.
Semua ini adalah dimensi yang membentuk karakter murid. Guru hanya memfasilitasi. Yang bekerja keras adalah murid. Yang berkolaborasi adalah masyarakat. Hasilnya: pendidikan yang benar-benar hidup.
Dari Ndao untuk Indonesia