Upaya panjang Amerika Serikat membatasi kebangkitan teknologi China akhirnya berbalik arah. Sebuah laporan resmi dari House Select Committee on the Strategic Competition DPR AS mengungkap bahwa meskipun didera larangan ekspor, perusahaan-perusahaan China justru semakin agresif membeli peralatan manufaktur chip bernilai tinggi dari sekutu-sekutu AS.
Laporan bertajuk "Selling the Forges of the Future" itu menemukan bahwa pada tahun 2024 saja, pembelian peralatan semikonduktor oleh pabrikan China mencapai US$38 miliar---sekitar 39% dari total penjualan lima raksasa pembuat alat global: Applied Materials, Lam Research, KLA, ASML, dan Tokyo Electron. Angka tersebut melonjak 66% dibandingkan dua tahun sebelumnya, saat pembatasan ekspor mulai diperketat.
Menariknya, Komite DPR AS menegaskan tidak ada indikasi pelanggaran hukum oleh perusahaan-perusahaan tersebut. Semua transaksi dilakukan secara legal, memanfaatkan celah dalam kebijakan ekspor yang berbeda-beda antara AS, Belanda, dan Jepang. Perbedaan teknis dan prosedural inilah yang memungkinkan China memperoleh alat-alat canggih tanpa melanggar aturan internasional.
China memang dilarang membeli mesin litografi Extreme Ultraviolet (EUV) yang digunakan untuk chip generasi paling maju. Namun, mesin Deep Ultraviolet (DUV)---yang masih sangat mumpuni untuk banyak aplikasi seperti kecerdasan buatan (AI), kendaraan pintar, hingga sistem militer---tidak sepenuhnya dilarang.
Perbedaan aturan antarnegara membuat celah semakin lebar. Belanda dan Jepang, dua sekutu utama AS dalam rantai pasok semikonduktor, punya interpretasi berbeda tentang batas teknologi yang boleh dijual. Beberapa peralatan bahkan dijual melalui anak perusahaan atau perantara yang tidak termasuk dalam daftar hitam Departemen Perdagangan AS (Entity List).
Selain itu, kebijakan ekspor AS berbasis "entitas tertentu" masih memberi ruang bagi perusahaan China yang belum tercantum untuk melakukan transaksi. Beberapa perusahaan bahkan memperoleh lisensi ekspor khusus dari Bureau of Industry and Security (BIS). Dengan kata lain, China bermain di area abu-abu yang masih sah secara hukum.
Peneliti senior dari Foundation for Defense of Democracies, Craig Singleton, menyebut situasi ini sebagai tanda bahwa China "sedang menulis ulang rantai pasoknya sendiri."
Pemerintah Beijing memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat self-reliance teknologi. Investasi besar-besaran dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan dana pemerintah membuat industri semikonduktor nasional tetap hidup meski terisolasi dari akses langsung ke teknologi AS.
Data dari Komite DPR menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan perusahaan alat tersebut kini berasal dari pesanan perusahaan milik negara China. Dengan strategi itu, China tidak hanya bertahan dari tekanan, tapi juga mempercepat kemandirian teknologinya.
Pakar di Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai kebijakan ekspor yang dirancang untuk menekan China justru menimbulkan efek ganda.
Di satu sisi, pembatasan memang memperlambat kemampuan China memproduksi chip paling canggih. Namun di sisi lain, perusahaan alat dari AS dan sekutunya kehilangan pasar terbesar dunia, memukul pendapatan dan menghambat riset jangka panjang.
"Kontrol ekspor bekerja seperti pedang bermata dua," tulis laporan CSIS. "Ia menahan lawan, tapi bisa melukai tangan sendiri jika tidak dikoordinasikan dengan tepat."
Sejumlah analis menambahkan, strategi isolasi total dapat mendorong China mempercepat inovasi domestik dan membangun ekosistem teknologi yang mandiri, mirip dengan kebangkitan industri kedirgantaraan Soviet di masa lalu.
Tak bisa dimungkiri, laporan DPR AS ini sarat dimensi politik. Komite tersebut didominasi Partai Republik, dan banyak anggotanya menggunakan temuan ini untuk menyerang kebijakan Presiden Donald Trump yang dinilai gagal menutup celah hukum secara konsisten.
Namun, analis kebijakan internasional di Brookings Institution menilai, pengetatan lebih lanjut tanpa koordinasi global justru bisa memperburuk ketegangan geopolitik. "Tanpa kesepakatan multilateral yang solid, kebijakan sepihak AS hanya akan mendorong fragmentasi industri global," tulis laporan Brookings, Juli 2024.
Kini, AS dihadapkan pada dilema besar: memperketat kontrol demi keamanan nasional, atau mempertahankan kerja sama dagang demi stabilitas ekonomi global.
Jika Washington memaksakan pembatasan total, China kemungkinan besar akan mempercepat kemandirian penuh dalam teknologi semikonduktor. Namun jika AS longgar, Beijing tetap punya jalan untuk memperluas dominasinya di pasar chip menengah hingga canggih.
Seperti diungkap dalam laporan Komite DPR, "Apa yang dulunya menjadi segmen alat khusus, kini menjadi medan tempur."
Pertempuran itu bukan lagi sekadar soal mesin litografi, tetapi tentang siapa yang akan menguasai masa depan kecerdasan buatan dan kekuatan militer global.
Referensi utama:
House Select Committee on the Strategic Competition, Selling the Forges of the Future (2025); Reuters; CSIS; Brookings Institution; Congressional Research Service; ASML Official Statement.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI