Aktivitas tambang nikel di Raja Ampat---terutama di pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, Manuran, dan Manyaifun---menimbulkan kontroversi serius karena melanggar UU No.1/2014 yang melarang eksploitasi di pulau kecil, dan bahkan menimbulkan sedimentasi berlebihan yang merusak terumbu karang---dengan wilayah tambang meningkat hampir tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir---mengancam 75% spesies karang dunia serta ribuan ikan dan satwa laut endemik. Selain itu, dampak deforestasi hutan mangrove, tumpahan logam berat, dan emisi dari proses peleburan nikel mengakibatkan kerusakan ekosistem, pencemaran air melebihi ambang baku KLHK, dan gangguan kesehatan pernapasan pada masyarakat sekitar . Masyarakat adat Kawei, Betew, dan Maya meningkat aksi penolakan---melibatkan tuntutan royalti hingga Rp700miliar dan penolakan keberlanjutan tambang karena tidak ada FPIC sebagaimana diatur UU No.11/2013. Greenpeace dan organisasi lokal serta beberapa anggota DPR mendesak penghentian permanen izin tambang dan reparasi lingkungan, sementara pemerintah pusat telah menghentikan operasional PT Gag Nikel secara sementara dan menugaskan Tim Inspektur Tambang untuk evaluasi menyeluruh. Konflik ini mencerminkan dilema antara kebutuhan bahan baku baterai kendaraan listrik dan pelestarian wilayah yang diakui UNESCO Global Geopark, dengan potensi kerusakan jangka panjang yang bisa menghancurkan ekowisata dan sumber mata pencaharian masyarakat lokal.
Kegiatan tambang nikel di pulaupulau kecil Raja Ampat---seperti Gag, Kawe, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun---telah menyebabkan kerusakan lingkungan serius, termasuk tutupan sedimen menutupi sekitar 40% terumbu karang di perairan strategis seperti Selat Dampier, deforestasi mangrove seluas sekitar 1.200 hektar dan lebih dari 500 hektar hutan tropis, serta pencemaran logam berat (nikel dan kobalt) melebihi ambang baku mutu KLHK, yang membahayakan spesies endemik dan terancam punah seperti pari manta dan hiu karpet. Studi akademik terbaru (Ulat dkk., 2024) mencatat meskipun tambang meningkatkan pendapatan lokal melalui lapangan kerja, kerusakan lingkungan tetap signifikan tanpa mitigasi efektif . Dampak ekologis diperparah oleh sedimentasi yang mengganggu cakupan koral, dan bahaya terhadap mata pencaharian berbasis wisata dan perikanan---sektor yang menyumbang lebih dari Rp1,2 triliun per tahun dan menjadi tulang punggung ekonomi lokal---mengancam ribuan pekerjaan homestay dan pemandu selam . Laporan Auriga Nusantara (2025) memperlihatkan pertambahan area tambang naik hampir tiga kali lipat sejak 2020, total izin tambang sebesar 22.420ha, dan praktik yang melanggar putusan Mahkamah Konstitusi terkait perlindungan pulau kecil. Respon publik dan akademisi mendorong penghentian izin tambang permanen, audit lingkungan menyeluruh, perlunya FPIC (Free, Prior, Informed Consent) kepada masyarakat adat seperti Kawei, Betew, dan Maya, serta penerapan dana konservasi berdasarkan kesepakatan utang ekologis untuk mendukung ekowisata dan rehabilitasi ekosistem, daripada merusak kekayaan hayati yang menjadi aset UNESCO Global Geopark dan basis kehidupan generasi mendatang.
KementerianESDM, dipimpin Menteri Bahlil Lahadalia, telah menghentikan sementara operasional PT Gag Nikel di Pulau Gag (7 Juni 2025), melakukan inspeksi lapangan dan menurunkan Tim Inspektur Tambang untuk mengevaluasi izin dan reklamasi tambang secara menyeluruh, meskipun klaim awal menyatakan tidak ada permasalahan signifikan terkait sedimentasi maupun pencemaran lingkungan. Sementara itu, Kementerian LH/KLHK, di bawah Menteri Hanif Faisol Nurofiq, telah menyegel empat tambang (PT Gag Nikel, PT ASP, PT Kawei Sejahtera Mining, dan PT Mulia Raymond Perkasa), memasang plang peringatan, menangguhkan kegiatan di lokasi-lokasi tanpa izin lingkungan atau yang beroperasi di pulau kecil, serta membuka potensi sanksi administratif, perdata, dan pidana apabila terbukti merusak kawasan pesisir yang dilindungi. DPR melalui Komisi VII, dipimpin Evita Nursanty, mendesak evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin konsesi tambang, agar tak hanya menindak PTGag tetapi juga sisanya, serta mengingatkan bahwa pulau kecil---terutama dalam kawasan UNESCO Global Geopark---tidak boleh mengalami kerusakan ekosistem untuk tujuan jangka pendek. Hingga saat ini, belum ada pernyataan langsung dari Presiden RI, namun ada tekanan kuat dari parlemen, masyarakat adat, dan kementerian untuk menerapkan prinsip kehati-hatian, menegakkan hukum, dan menjaga keberlanjutan lingkungan dan hak masyarakat lokal.
Aktivitas tambang nikel di pulau-pulau kecil Raja Ampat---seperti Gag, Kawe, Manuran, dan Manyaifun---telah terbukti mencemari lingkungan dan melanggar hukum, khususnya UU No.1/2014 yang melarang eksploitasi di pulau kecil: sedimen tambang menutupi hingga 40% terumbu karang di Selat Dampier, deforestasi mangrove seluas ribuan hektar, dan logam berat (nikel dan kobalt) mencapai lima kali ambang baku mutu KLHK yang mengancam hiu karpet serta pari manta. Data Auriga Nusantara (2024) memperlihatkan izin tambang naik hampir tiga kali lipat sejak 2020, mencakup lebih dari 22.420ha, dan meskipun pemerintah menghentikan sementara operasi di Pulau Gag dan konsesi lainnya, kondisi lingkungan tetap mengkhawatirkan. Audit akademik oleh Ulat dkk. (Formosa Journal, 2024) mencatat bahwa meski pertambangan memperbaiki pendapatan lokal, ekosistem terumbu karang mengalami erosi, sedimentasi, dan pencemaran, menuntut pengelolaan lingkungan lebih baik dan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan. Konsentrasi logam yang tinggi, emisi karbon dari deforestasi, serta gangguan pariwisata dan perikanan---dengan penurunan kualitas air dan potensi kehilangan ribuan pekerjaan lokal---memicu tuntutan penghentian izin, audit menyeluruh, dan penerapan prinsip FPIC dari masyarakat adat, demi menjaga status UNESCO Global Geopark dan sumber daya generasi mendatang.
Tambang nikel di Raja Ampat telah memicu kontroversi nasional karena terbukti menimbulkan kerusakan ekologis yang serius, seperti hancurnya 40% terumbu karang di Selat Dampier, hilangnya ribuan hektar hutan mangrove, pencemaran logam berat lima kali di atas ambang aman, serta emisi karbon besar akibat deforestasi dan PLTU pendukung tambang; semua ini mengancam habitat spesies langka dan merusak kapasitas alam menyerap karbon. Selain itu, aktivitas ini melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 karena dilakukan di pulau-pulau kecil yang secara hukum seharusnya dilindungi dari eksploitasi ekstraktif. Dampak ekonominya pun merugikan, terutama terhadap sektor pariwisata berbasis komunitas yang sebelumnya menyumbang Rp1,2 triliun per tahun dan menjadi tumpuan hidup ribuan warga lokal---dengan potensi PHK massal dan gulung tikarnya homestay di desa wisata. Meskipun Kementerian ESDM dan KLHK telah mengambil langkah seperti menghentikan sementara operasi tambang, memasang plang penghentian aktivitas, serta mengevaluasi izin lingkungan, upaya ini belum cukup menjawab kerusakan yang telah terjadi maupun kekhawatiran masyarakat adat yang haknya diabaikan. Karena itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih tegas, transparan, dan berlandaskan prinsip keberlanjutan serta keadilan ekologis, dengan memastikan masyarakat lokal dilibatkan penuh dalam pengambilan keputusan demi menjaga identitas, ekosistem, dan masa depan Raja Ampat sebagai warisan dunia yang tak tergantikan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI