Mohon tunggu...
Pena Kusuma
Pena Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum

Saya adalah content writer yang berfokus pada penulisan seputar Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika (STEM), serta update terkini mengenai dunia militer dan geopolitik. Mohon doanya juga, insyaallah saya bisa lolos sekali tes dalam seleksi PAPK TNI tahun 2027.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tarif Trump Ancam F-35, Aukus, dan Iron Dome: Industri Pertahanan AS di Ujung Tanduk?

6 April 2025   15:27 Diperbarui: 6 April 2025   15:27 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Poets&Quants

Kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada April 2025---dengan besaran tarif berkisar antara 10% hingga 49% dan didasarkan pada prinsip timbal balik (reciprocal tariff)---berpotensi besar mengganggu struktur rantai pasokan global, termasuk dalam sektor industri pertahanan AS. Penerapan tarif ini tidak hanya berdampak langsung pada peningkatan biaya produksi dan keterbatasan akses terhadap material strategis, tetapi juga berisiko memicu perubahan signifikan dalam dinamika hubungan perdagangan serta aliansi pertahanan antara Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, kebijakan ini bisa menjadi titik kritis yang menggeser keseimbangan ekonomi dan geopolitik global.

Industri pertahanan Amerika Serikat sangat bergantung pada rantai pasokan global yang kompleks, dengan komponen kritis diimpor dari berbagai negara sekutu seperti Uni Eropa (mesin jet, elektronik avionik, baja khusus), Jepang dan Korea Selatan (semikonduktor, material komposit), Israel (teknologi drone, sistem pertahanan udara), serta Australia dan Inggris (komponen kapal selam dan sistem sonar). Sekitar 30% komponen jet tempur F-35, misalnya, diproduksi di luar AS, termasuk mesin turbofan dari Inggris dan radar dari Israel. Bahkan, baja dan aluminium untuk kapal perang AS sebagian besar diimpor dari Kanada, Jepang, dan Jerman, sementara sistem pertahanan udara seperti NASAMS bergantung pada komponen elektronik dari Eropa. Penerapan tarif impor sebesar 10--49% berdasarkan prinsip timbal balik oleh Presiden Donald Trump pada April 2025 berisiko menaikkan biaya produksi senjata dan alutsista secara signifikan, mengancam proyek strategis seperti F-35, kemitraan AUKUS, serta kerja sama militer dengan Israel. Kenaikan tarif ini dapat menyebabkan lonjakan biaya produksi---misalnya, biaya per unit F-35 bisa meningkat 8--12%, sementara bahan baku untuk kapal selam AUKUS dari Australia dan Inggris akan menjadi lebih mahal, memperlambat pengiriman. Komponen elektronik dalam sistem pertahanan seperti NASAMS dan Iron Dome yang dikenai tarif 20--34% juga akan meningkatkan biaya perawatan. Lebih jauh, risiko gangguan logistik dan kelangkaan pasokan juga meningkat, terutama jika negara pemasok seperti Vietnam dan China---yang saat ini memasok hingga 80% logam tanah jarang---membalas dengan pembatasan ekspor. Uni Eropa pun bisa merespons dengan membatasi ekspor mesin jet dan komponen pesawat, yang akan memengaruhi produksi F-35 dan Boeing P-8 Poseidon. Di sisi strategis, ketegangan dengan sekutu seperti Uni Eropa, Inggris, Australia, Israel, dan Norwegia diperkirakan meningkat. Uni Eropa dapat mengancam proyek kolaboratif seperti Eurofighter dan F-35, Inggris bisa memprioritaskan proyek Tempest bersama Uni Eropa, dan Australia mungkin mempertimbangkan kembali kemitraan AUKUS, bahkan membuka opsi kembali ke Prancis. Sementara itu, Israel dan Norwegia dapat mengurangi ekspor sistem seperti Iron Dome dan NASAMS ke AS, dan mulai mencari mitra baru di Asia atau Eropa. Dengan kata lain, kebijakan tarif ini tidak hanya berdampak ekonomi, tetapi juga berpotensi merombak ulang peta geopolitik dan aliansi pertahanan global.

Penerapan tarif impor baru oleh Amerika Serikat tidak hanya memicu ketegangan global, tetapi juga membuka peluang bagi sekutu-sekutu AS untuk memperkuat industri pertahanan mereka sendiri dan melakukan diversifikasi pasokan. Uni Eropa, misalnya, semakin terdorong untuk mencapai kemandirian pertahanan melalui inisiatif seperti European Defence Fund (EDF). Australia dan Inggris mulai mempercepat pengembangan kapal selam lokal guna mengurangi ketergantungan pada teknologi dan komponen dari AS, sementara Israel dan Jepang mulai mengalihkan ekspor teknologi militer mereka ke India dan negara-negara ASEAN sebagai strategi diversifikasi pasar. Dalam jangka panjang, kebijakan tarif ini berisiko melemahkan dominasi industri pertahanan AS. Jika negara sekutu memilih beralih ke pemasok lain, Amerika Serikat bisa kehilangan 30--40% pangsa pasar alutsista global dalam kurun waktu sepuluh tahun. Selain itu, aliansi strategis seperti NATO dan AUKUS dapat mengalami fragmentasi jika anggotanya lebih memilih menjalin kemitraan di luar AS. Kenaikan biaya R&D akibat kelangkaan komponen kritis juga berpotensi menghambat inovasi dan memperlambat pengembangan senjata generasi baru. Reaksi keras pun datang dari sektor bisnis dalam negeri. Perusahaan besar seperti Lockheed Martin dan Boeing telah memperingatkan bahwa kebijakan ini akan menaikkan biaya produksi pesawat tempur seperti F-35 secara signifikan. Asosiasi Industri Pertahanan AS bahkan secara resmi mendesak agar komponen strategis dikecualikan dari tarif. Sementara itu, respons politik di Kongres AS pun terbelah: Partai Republik mendukung tarif sebagai langkah untuk melindungi industri dalam negeri, sedangkan Partai Demokrat menentangnya karena dianggap berisiko merusak kerja sama internasional yang sudah terjalin lama. Dengan begitu banyak konsekuensi dan dinamika yang saling bertautan, kebijakan ini dapat menjadi titik balik yang menentukan arah masa depan industri pertahanan global.

Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Presiden Trump berpotensi menimbulkan dampak serius bagi industri pertahanan Amerika Serikat. Peningkatan biaya produksi alutsista, gangguan terhadap rantai pasokan proyek strategis seperti F-35, AUKUS, dan Iron Dome, serta potensi memanasnya hubungan dengan sekutu utama seperti Uni Eropa, Inggris, Australia, dan Israel menjadi konsekuensi yang tidak bisa diabaikan. Lebih jauh, kebijakan ini mendorong negara-negara sekutu untuk secara aktif mengurangi ketergantungan mereka terhadap industri pertahanan AS, membuka jalan bagi munculnya blok-blok baru dalam ekosistem pertahanan global. Untuk memitigasi dampak negatif ini, sejumlah rekomendasi kebijakan perlu segera dipertimbangkan, antara lain: memberikan pengecualian tarif bagi komponen pertahanan yang bersifat kritis, membuka jalur negosiasi bilateral dengan sekutu guna mencegah eskalasi perang dagang, serta meningkatkan investasi dalam produksi domestik untuk material strategis. Tanpa langkah-langkah korektif yang tepat, kebijakan ini justru dapat melemahkan posisi Amerika Serikat sebagai pemimpin industri pertahanan global sekaligus mengubah peta aliansi dan keamanan internasional secara fundamental.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun