Dugaan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam perumusan kebijakan tarif impor oleh pemerintahan Trump bermula dari temuan pakar ekonomi James Surowiecki, yang mencurigai metode perhitungan tarif tersebut. Ia mengungkap bahwa tarif, seperti yang dikenakan pada Indonesia sebesar 32%, kemungkinan besar dihitung dengan membagi defisit perdagangan AS dengan suatu negara (misalnya, defisit AS-Indonesia sebesar $17,9 miliar) dengan total ekspor negara tersebut ke AS ($28 miliar), menghasilkan rasio sekitar 64%, lalu dibagi dua untuk mendapatkan angka akhir. Meskipun Gedung Putih membantah klaim tersebut dan merilis rumus resmi yang diklaim berbeda, analisis dari Politico menunjukkan bahwa pendekatannya sangat mirip. Menariknya, sejumlah pengguna media sosial, termasuk komentator politik seperti Steven Bonnell (Destiny), mencoba meminta berbagai chatbot AI---seperti ChatGPT, Gemini, Claude, dan Grok---untuk menyusun kebijakan tarif yang sederhana. Hasilnya cukup mencengangkan: seluruh chatbot memberikan pendekatan serupa, yakni menggunakan rumus defisit perdagangan dibagi total impor, dengan saran minimal tarif 10%, dan beberapa seperti Claude dan Grok bahkan menyarankan membaginya dua demi alasan kewajaran---tepat seperti yang diterapkan Trump. ChatGPT sendiri memperingatkan bahwa metode ini terlalu sederhana dan berpotensi berbahaya karena mengabaikan kompleksitas perdagangan internasional, termasuk risiko retaliasi dan gangguan rantai pasokan. Dalam analisis komparatif, rumus resmi Gedung Putih dan jawaban chatbot AI memiliki banyak kemiripan, baik dari segi struktur dasar maupun hasil akhir. Selain itu, terdapat kritik keras terhadap metode ini karena dinilai terlalu simplistis, mengabaikan faktor penting seperti elastisitas permintaan, perjanjian dagang yang sudah ada (seperti USMCA), dan ketergantungan terhadap rantai pasokan global. Ketidakakuratan data pun menjadi sorotan, seperti klaim Trump bahwa Indonesia mengenakan tarif 64% terhadap produk AS---yang tidak didukung oleh data resmi. Ditambah lagi, reaksi internasional mulai bermunculan, di mana Uni Eropa, Kanada, dan China telah mengancam tindakan balasan, berpotensi memicu gelombang baru perang dagang global.
Indikasi bahwa pemerintah AS, khususnya di bawah Presiden Donald Trump, menggunakan kecerdasan buatan (AI) dalam merumuskan kebijakan tarif impor semakin menguat, meskipun belum ada konfirmasi resmi. Salah satu faktor utama yang memicu spekulasi adalah ketiadaan penjelasan rinci dari Gedung Putih mengenai rumus perhitungan tarif tersebut, di mana para pejabat cenderung menghindari pertanyaan teknis dari media dan publik. Riwayat penggunaan AI oleh pemerintahan Trump juga memperkuat dugaan ini---Trump diketahui meningkatkan pendanaan untuk pengembangan AI hingga $500 miliar dan mendorong pemanfaatannya di berbagai sektor pemerintahan. Beberapa laporan bahkan menyebutkan bahwa staf Gedung Putih telah menggunakan AI untuk membantu penyusunan kebijakan. Tambahan lagi, adanya sejumlah kejanggalan dalam kebijakan tarif memperkuat kecurigaan, seperti dikenakannya tarif 10% terhadap Pulau Heard & Kepulauan McDonald---wilayah tak berpenghuni di Antartika---serta tarif pada Svalbard, Diego Garcia, dan Lesotho, yang tidak memiliki aktivitas perdagangan signifikan dengan AS. Kesalahan seperti ini dianggap mirip dengan fenomena "AI hallucination," yaitu saat AI menghasilkan informasi keliru karena keterbatasan data atau konteks. Meski demikian, beberapa pihak berpendapat bahwa kemiripan pola antara rumus AI dan kebijakan tarif Trump bisa jadi hanyalah kebetulan, mengingat chatbot AI memang dilatih dengan data ekonomi umum yang bisa mencerminkan pemikiran proteksionis, dan Trump sendiri dikenal menyukai angka-angka bulat dan sederhana. Namun, ketiadaan transparansi resmi tetap membuat dugaan penggunaan AI ini sulit untuk ditepis. Kebijakan tarif ini juga menuai kritik luas, mulai dari dampak ekonominya yang signifikan---seperti anjloknya indeks Dow Jones sebesar 1.679 poin sehari setelah pengumuman, hingga prediksi resesi global dari ekonom UBS yang menyebut kebijakan ini seperti "AS memotong lengannya sendiri." Gangguan rantai pasokan pun mulai terasa, ditandai dengan dihentikannya produksi oleh Infiniti di Meksiko akibat tarif 25% pada mobil impor. Dari sisi hukum, kebijakan ini dianggap melanggar prinsip Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena dilakukan secara sepihak tanpa konsultasi, dan penerapannya pun dinilai tidak konsisten---misalnya, beberapa negara mendapat tarif tinggi tanpa alasan jelas, sementara negara seperti Iran tidak dikenai tarif sama sekali. Kritik moral dan logistik juga bermunculan, terutama karena tarif dijatuhkan pada wilayah tak berpenghuni dan negara-negara miskin seperti Lesotho, yang berisiko mengalami krisis ekonomi akibat kebijakan yang tampak asal-asalan tersebut.
Meskipun belum ditemukan bukti langsung bahwa Presiden Donald Trump secara eksplisit menggunakan ChatGPT atau chatbot AI lainnya untuk menghitung tarif impor, sejumlah indikator kuat mendukung dugaan tersebut. Terdapat kesamaan mencolok antara rumus perhitungan tarif versi Gedung Putih dan jawaban yang diberikan oleh berbagai chatbot AI, di samping munculnya ketidakkonsistenan serta kesalahan aneh dalam kebijakan---seperti pemberlakuan tarif pada pulau-pulau tak berpenghuni---yang menyerupai fenomena "AI hallucination." Selain itu, riwayat pemerintahan Trump yang pro-AI, termasuk pendanaan besar-besaran dan dorongan penggunaan teknologi ini dalam pengambilan kebijakan, semakin memperkuat dugaan bahwa AI mungkin terlibat, meskipun secara tidak langsung. Namun, kemungkinan lain tetap terbuka: bisa jadi kemiripan ini hanya kebetulan akibat pendekatan Trump yang memang terkenal sederhana dan intuitif. Yang pasti, kebijakan tarif ini telah mengabaikan kompleksitas perdagangan global dan justru menimbulkan potensi krisis ekonomi yang lebih besar. Jika AI benar digunakan tanpa supervisi memadai, ini menjadi contoh berbahaya tentang bagaimana keputusan strategis dapat diserahkan pada algoritma tanpa pemahaman menyeluruh terhadap konteksnya. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lanjutan, termasuk audit independen atas proses perumusan kebijakan tarif, analisis mendalam terhadap data pelatihan AI yang mungkin memengaruhi hasil rekomendasi, serta evaluasi dampak jangka panjang terhadap stabilitas ekonomi global. Tanpa adanya "smoking gun," kecurigaan ini tetap valid dan layak untuk diselidiki lebih lanjut demi menjaga akuntabilitas dalam pengambilan kebijakan publik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI