Mohon tunggu...
Pena Kusuma
Pena Kusuma Mohon Tunggu... Mahasiswa Fakultas Hukum

Saya adalah content writer yang berfokus pada penulisan seputar Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika (STEM), serta update terkini mengenai dunia militer dan geopolitik. Mohon doanya juga, insyaallah saya bisa lolos sekali tes dalam seleksi PAPK TNI tahun 2027.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

China Kerahkan 13 Kapal Perang dan 2 Kapal Induk di Laut China Selatan: Apa Dampaknya bagi Kawasan?

6 November 2024   08:21 Diperbarui: 6 November 2024   08:25 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
People's Liberation Army Navy

Pada akhir Oktober 2024, China mengadakan latihan militer besar di Laut China Selatan dengan melibatkan 13 kapal perang, termasuk dua kapal induk, yaitu CNS Liaoning dan CNS Shandong. Latihan ini merupakan langkah China untuk menampilkan kemampuan militernya sekaligus memperkuat keterampilan operasional Angkatan Laut di tengah meningkatnya ketegangan strategis di Asia-Pasifik. Tujuan utamanya adalah menguji keterampilan tempur yang terkoordinasi antara kapal induk, khususnya melalui pengoperasian kelompok penyerang ganda yang dipimpin masing-masing oleh Liaoning dan Shandong. Latihan ini, menurut pernyataan Kementerian Pertahanan China, dirancang untuk meningkatkan kompetensi taktis dan sistematis dalam menjalankan operasi militer di laut terbuka. Melihat latihan ini secara menyeluruh memerlukan pendekatan dari sisi militer, geopolitik, dan hukum internasional yang berkaitan dengan dinamika regional.

Angkatan Laut China mengoperasikan armada yang terdiri lebih dari 370 kapal permukaan dan kapal selam, termasuk kapal induk konvensional seperti CNS Liaoning dan CNS Shandong. Armada ini didukung oleh jet tempur Shenyang J-15A dan J-15B yang dapat diluncurkan dari kapal induk. Saat ini, China memiliki tiga kapal induk, dengan CNS Fujian sebagai kapal terbaru dan paling canggih, meskipun masih belum sepenuhnya aktif. Kehadiran kapal-kapal induk ini memperkuat posisi China, meskipun berbeda dengan Amerika Serikat yang memiliki 11 kapal induk bertenaga nuklir. Dari sudut pandang geopolitik, Laut China Selatan merupakan jalur perairan strategis yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Hindia, serta menjadi pusat ketegangan karena klaim wilayah dari berbagai negara, termasuk China yang mengklaim hampir seluruh area berdasarkan Nine-Dash Line. Namun, klaim ini ditolak oleh keputusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) pada tahun 2016, yang menyatakan bahwa dasar klaim tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982.

Latihan militer China di Laut China Selatan berlangsung di tengah ketegangan dengan Amerika Serikat, yang semakin sering mengadakan operasi di kawasan ini untuk menanggapi langkah ekspansif China. Misalnya, latihan USS George Washington bersama Jepang di Laut Filipina pada akhir Oktober hingga awal November 2024 memperlihatkan dukungan AS kepada sekutunya dalam menghadapi China. Sementara itu, China memperkuat posisinya dengan menunjukkan kesiapan militernya dan memperkuat pangkalan di pulau-pulau yang diperebutkan. Dari sisi hukum, perselisihan di wilayah ini terkait erat dengan ketentuan UNCLOS (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), yang mengatur hak maritim negara atas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen hingga 200 mil laut dari pantai mereka. Putusan Arbitrase pada 2016 menolak klaim China yang menggunakan Nine-Dash Line sebagai dasar klaimnya, dengan menyatakan bahwa klaim ini melanggar hak maritim negara lain seperti Filipina dan Vietnam. Namun, China mengabaikan putusan tersebut dan terus membangun infrastruktur militer di wilayah yang disengketakan, menegaskan kontrolnya meski mendapat protes dari negara tetangga dan komunitas internasional.

Langkah China dalam memperluas kekuatan militernya di Laut China Selatan membawa dampak tidak hanya pada negara-negara yang memiliki sengketa langsung, tetapi juga berpengaruh pada stabilitas dan keamanan di kawasan Asia-Pasifik serta dunia. Penguatan militer yang semakin agresif, ditambah dengan sikap diplomasi China yang semakin berani, telah memicu ketegangan dengan kekuatan besar lain seperti Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara anggota ASEAN. Dari sisi hukum internasional, tantangan terbesar bagi China adalah perlawanan terhadap klaim teritorialnya yang dianggap melanggar UNCLOS. Walaupun beberapa pendekatan diplomatik telah dicoba, ketegangan militer dan politik di Laut China Selatan masih terus berlanjut tanpa solusi yang jelas. China, dengan pengerahan 13 kapal perang termasuk dua kapal induk dalam latihan militer, menunjukkan peningkatan kemampuan militer dan upaya memperkuat klaimnya di kawasan yang penuh konflik, walau banyak negara menolak klaim tersebut berdasarkan ketentuan hukum internasional. Persaingan ini, terutama dengan Amerika Serikat dan aliansi regional, meningkatkan risiko eskalasi konflik yang bisa mengancam stabilitas global. Dalam situasi ini, UNCLOS tetap menjadi elemen penting yang bisa meredakan atau malah memperparah ketegangan di wilayah ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun