Mohon tunggu...
Vicky Saa
Vicky Saa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Ilmu Sejarah

Hanya hobi dan minat saja. Bakat? Saya tidak tahu.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sosial Media: Masalah Gen Z

1 April 2023   13:34 Diperbarui: 2 April 2023   08:32 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa, sih, yang nggak tahu sosial media seperti tiktok, instagram, twitter, facebook, whatsapp dan lainnya yang pada zaman sekarang seperti budidaya jamur? Tentunya anak generasi Z nggak asing sama mereka karena rata-rata pengguna sosial media adalah remaja. So, pastinya nggak usah dijelasin lagi tentang what is a social media.

Eh, jelasin aja, ding. Hehe...

Menurut McGraw Hill Dictionary, media sosial adalah sarana yang digunakan oleh orang-orang untuk berinteraksi satu sama lain dengan cara menciptakan, berbagi, serta bertukar informasi dan gagasan dalam sebuah jaringan dan komunitas virtual. Kalau menurut wikipedia, sosial media adalah platform digital yang memfasilitasi penggunanya untuk saling berkomunikasi atau membagikan konten berupa tulisan, foto, video dan merupakan platform digital yang menyediakan fasilitas untuk melakukan aktivitas sosial bagi setiap penggunanya. Secara garis besar sama, ya, guys. Jadi intinya, sosial media adalah sebuah fasilitas pemenuhan untuk berinteraksi dan beraktivitas secara virtual.

Sama kayak mata uang yang punya dua sisi. Media sosial ini juga memiliki dua sisi yang bertolak belakang. Sudah menjadi hukum alam kalau segala sesuatu memiliki dua sisi dimana biasanya lebih suka disebut dengan sisi gelap dan sisi terang. Sosial media dapat memberi manfaat sekaligus mampu mendorong kita menuju jurang yang merugikan diri sendiri. Ngeri, kan?

Dampak positif dari adanya media sosial memang cukup banyak. Hanya saja, kecenderungan manusia lebih mudah tergoda untuk beralih menuju sisi yang satunya. Kenapa kayak gitu? Karena hawa nafsu, sih, sebenarnya. Media sosial memang mendekatkan orang yang jauh secara cepat, namun hal itu menyebabkan orang yang disekitar kita menjadi jauh. Apalagi kalau kecenderungan sosial kita lebih berat dalam dunia virtual. Jangankan menyapa, disapa dalam dunia nyata mana sempat dijawab kalau sudah berkomunikasi dengan teman virtual?

Seimbang dengan dampak positifnya, dampak negatif pun tak kalah banyak. Hanya saja, rata-rata bersifat laten alias tanpa disadari. Tahukah kamu, pengguna sosial media memiliki ambisi untuk pamer? Misalnya ada sebuah tayangan yang mana memperlihatkan sosok perempuan dengan wajah mulus, kulit putih dan gigi gingsul dengan caption kayak merendahkan diri sendiri gitu. Itu sebenernya mereka pamer seolah menyiratkan "Lihat, nih, aku kayak gini. Apa kabar kalian yang burik-nggak menarik itu?" Tanpa kalian sadari, dalam hati kecil kalian timbul rasa insecure dengan ngomong "Dia yang gitu aja disebut jelek, terus aku yang kayak gini disebut apa? Diskonan?". Nah, keinginan pamer itu akan menimbulkan banyak bahaya seperti konsumtif, westernisasi, hedonisme dan segala macam tetek bengeknya.

Masalah generasi Z nggak muluk-muluk disuruh belajar dengan giat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan meneruskan estafet kepemimpinan. Justru masalah yang besar ada di genggaman tangan kalian sendiri, alias si setan gepeng kesayangan manusia. Bukan bermaksud mendikte kalau smartphone itu merusak, hanya saja pada masa remaja,- mana mau mereka lepas dari si mungil itu? Mereka jelas akan memberontak apabila dikekang peraturan yang bagi mereka merepotkan. Keinginan mereka adalah bebas yang sebebas-bebasnya. Tapi, apakah bebas berarti tanpa aturan? Negara bakalan chaos, dong, kalau remajanya aja seenaknya gitu.

Kerusakan moral dan mental serta tindak kriminal juga bisa diakibatkan dari sosial media, lho. Misalnya membuli dengan komentar jahat yang mampu merusak mental seseorang. Bisa juga karena hobi dengan idol Korea, kita juga mengikuti tren berpakaian dengan model yang you can see everybody. Kan orang Indonesia berpakaiannya cukup tertutup, jadi kalau kita ikut mereka otomatis moral dipertaruhkan. Atau manakala kita lihat profil orang, terus dengan niat buruk,- orang itu disantet cuma dengan modal foto doang. Kan nggak lucu.

Apa, sih, solusi agar kita nggak terlalu me-mama-kan sosial media?

Yah, banyak sih, solusi untuk mengurangi keterikatan antara remaja dengan sosial media. Misalnya dengan mematikan notifikasi ketika kamu sedang belajar, bekerja atau melakukan sesuatu dimana sekiranya membutuhkan kefokusan. Atau dengan cara sistem berjadwal dengan kontrol orang tua. Jangan dianggap sepele, siapa yang kuat kalau dibatasi menggunakan gawai hanya 2 jam? Mungkin kalian bakal pingsan dan nagis darah.

Saran yang patut dicoba dan anti mainstream versi aku sendiri adalah... Yuk, kita masuk pesantren! #lagi iklan ceritanya Kenapa harus  pesantren? Karena sistem pesantren yang melarang penggunaan gawai dapat membantu mengurangi tingkat ketergantungan pada gawai, lho. Meskipun ada pesantren yang memperbolehkan menggunakan smartphone, tapi rata-rata pesantren di Indonesia menggunakan sistem 'no smartphone, yes i can'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun