Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Selamat Hari HAM Sedunia

11 Desember 2020   11:06 Diperbarui: 11 Desember 2020   11:12 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menelisik perkembangan konsepsi HAM dalam lintasan sejarah dunia, tidak berlebihan kiranya mengharapkan kedewasaan pemahaman tiap-tiap negara terhadap HAM. Mulai dari tataran konseptual, hingga praktiknya dalam keseharian. Faktanya, menyaksikan situasi perlindungan dan pemenuhan hak asasi di beberapa negara, siapapun jadi tak berani berharap lebih. 

Lihatlah peristiwaperistiwa terbunuhnya kemanusiaan belakangan ini. Di Indonesia, terjadi aksi teror. Rumah ibadat dibakar dan satu keluarga jadi korban pembantaian sadis. Di Mesir, perempuan ditindas hak-haknya, dipaksa menjalani tes keperawanan. Di Malaysia, perempuan yang bekerja sebagai buruh perkebunan diperkosa disertai ancaman pembunuhan. Di Tiongkok dan Myanmar, terjadi pengusiran besar-besaran terhadap etnis Uighur dan Rohingya. Masih banyak tragedi lainnya, tentu. Satu kolom media massa jelas terlalu kecil untuk memuatnya. 

Berhadapan dengan berbagai kenyataan mengerikan seperti tersebut di atas, pemikiran tentang hak-hak asasi manusia yang berkembang sejak awal abad 13 seolah tak ada artinya. Dokumen-dokumen HAM, mulai dari Magna Carta, konstitusi Amerika Serikat, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, hingga yang mengadakan pengaturan secara lebih spesifik semisal International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), seakan tak lebih dari sekadar tumpukan novel fiksi. Cerita tentang bahagia yang hampir tak mungkin terjadi dalam realita. 

Lalu, pertanyaanya adalah, tidak, kali ini saya tidak akan bertanya. Barangkali bertanya hanya akan mengundang kegaduhan dalam debat tak berkesudahan, sedang implementasi jadi hal kesekian yang tidak mendesak, atau bahkan tersisihkan dari rangkaian wacana. Mungkin kali ini cuma butuh merenung. Tentang sudah seberapa jauh umat manusia melangkah. Tentang ke mana arah langkah itu; mendekat pada, atau malah menjauh dari kemanusiaan. 

Di tengah tatanan kehidupan global yang dinamis, sudah seharusnya setiap negara senantiasa mengevaluasi diri terkait dengan upayanya menegakkan hak-hak asasi manusia di negaranya. Hak asasi manusia harus dijadikan prioritas yang harus segera dipenuhi dan selalu dilindungi. 

Perlindungan dan pemenuhan tersebut tidak boleh ditunda-tunda, apalagi sampai ditiadakan. Indikator penegakan HAM juga selayaknya dijadikan sebagai faktor penting dalam menentukan hubungan diplomasi antara suatu negara dengan negara lainnya. Artinya, setiap negara harus memasang "standar tinggi" dalam hal penegakan HAM. 

Masing-masing negara harus betul-betul menjunjung tinggi HAM. Kalau tidak, mereka tidak akan diterima dalam pergaulan internasional. Setidaknya itu akan menyulitkan negara yang bersangkutan, sehingga mendorong mereka untuk menempatkan HAM sebagai aspek penting yang harus selalu ditegakkan. 

Kondisi di Indonesia 

Sebagaimana diantarkan sebelumnya, tragedi kemanusiaan yang sangat mencederai nilai-nilai HAM juga terjadi di Indonesia belakangan ini. Sebanyak 4 (empat) orang tewas dalam pembantaian yang terjadi di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Rumah ibadat umat Kristen di sana turut menjadi sasaran aksi teror, dibakar sampai rata dengan tanah. 

Pelakunya, diduga merupakan anggota kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang telah lama menjadi sumber keresahan. Kecaman dan kutukan keras dilancarkan oleh banyak pihak. Tak terkecuali pemerintah Indonesia sendiri, meski penyampaian pernyatan kutukan itu tak secepat kutukan yang dialamatkan pada tindakan teror di negara nun jauh di Eropa sana (Mengacu pada tindakan teror yang juga terjadi baru-baru ini di Perancis). 

Agaknya telah menjadi kebiasaan di Indonesia, memandang suatu persoalan dari beragam perspektif. Bahkan tak jarang dengan perspektif yang tidak relevan dan menggelikan. Dalam kasus di Sigi contohnya, ada upaya masif untuk mengklarifikasi bahwa rumah ibadat yang dibakar bukanlah gereja, tapi rumah biasa yang dijadikan tempat beribadah. 

Ada pula klarifikasi tentang pelaku, yakni bahwa pelaku sudah pasti bukan pemeluk Islam, sebab Islam sama sekali tak mengajarkan tindakan biadab demikian. Bagi sebagian orang, penegasan seperti itu mungkin sangat mendesak. Tapi di depan kemanusiaan, itu adalah tindakan egois yang menggerus nilai kemanusiaan itu sendiri. 

Apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah bersolidaritas. Paling tidak, secara bersama-sama, bersatu menggalakkan perlawanan terhadap tindakantindakan terorisme serta bentuk ancaman lainnya. Dan solidaritas itu, bisa terwujud hanya jika ego primordial telah ditanggalkan lebih dulu. 

Satu lagi perspektif menggelikan yang kerap dipakai adalah dengan melihat kasus-kasus semacam ini sekadar sebagai konflik horizontal antar masyarakat. Di satu sisi, bisa ya. Namun di sisi lain bukan semata-mata konflik horizontal, sebab di sana negara tidak hadir. Dan ketidakhadiran negara dalam mengantisipasi maupun mengatasi pelanggaran HAM adalah bentuk lain dari pelanggaran HAM itu sendiri. Ini harus dipahami betul kalau negara hendak memberikan yang terbaik bagi rakyatnya. 

Hari HAM Internasional 

10 Desember 1948 adalah hari di mana Majelis Umum Perserikatan BangsaBangsa mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dokumen yang menjadi batu loncatan bagi perkembangan pengaturan HAM di kemudian hari. 10 Desember kian membekas di hati banyak orang di seluruh dunia. 

Sejak tahun 1950, oleh Majelis Umum PBB, ditetapkanlah 10 Desember sebagai Hari HAM Internasional. Adapun peringatan hari HAM tahun ini mengusung tema Recover Better: Stand Up For Human Rights. Pemilihan tema ini berkaitan erat dengan pandemi covid-19 yang kini masih menjadi pergumulan global. Lebih lanjut mengenai materi kampanye peringatan Hari HAM Internasional tahun 2020 dapat dilihat di laman resmi United Nations (un.org). 

Ada 2 (dua) hal penting yang hendak disampaikan pada kampanye hari HAM kali ini. Pertama, pemulihan. Dunia harus pulih secepatnya. Dunia harus bangkit dari keterpurukannya akibat pandemi covid-19. Dan kebangkitan itu bisa dimulai dengan cara menegakkan hak asasi manusia. Memastikan aspek HAM selalu mendapat perhatian serius dalam setiap pengambilan kebijakan. 

Kedua, penyesuaian. Pergaulan internasional dalam dunia pasca-covid harus semakin berorientasi pada HAM. Tatanan kehidupan pada setiap tingkatan niscaya akan mengalami perubahan. Di tengah perubahan ini, kebijakan yang mampu menjawab tantangan adalah kebijakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai HAM. 

"Human Rights must be at the centre of the post COVID-19 world" demikian saya kutipkan salah satu sub-judul dalam materi kampanye hari HAM tahun 2020. Hak Asasi Manusia pasti menjadi sentra pembangunan berkelanjutan yang pada gilirannya akan menjadi penentu keberlangsungan hidup manusia. 

Selaras dengan tema utama peringatan Hari HAM Internasional, Indonesia melalui Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia juga berencana mengangkat isu kesehatan nasional pada peringatan kali ini. Apapun itu, harapan setiap orang cuma satu: Hari HAM Internasional tidak dijadikan ajang seremonial belaka, melainkan sebagai momen evaluasi diri, lantas memantapkan strategi untuk menegakkan hak-hak asasi manusia. 

Selamat Hari HAM Sedunia!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun