Mohon tunggu...
Pemburu Pelangi
Pemburu Pelangi Mohon Tunggu... Asisten Peneliti -

Bekerja sebagai asisten peneliti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ada Gula Ada Semut: Skandal Korupsi, Irman Gusman dan Ketidakperkasaan DPD

29 September 2016   08:19 Diperbarui: 2 Oktober 2016   19:37 1084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selama periode pertama (2004-2009), DPD di ketuai oleh mantan MenKoEkuin Ginandjar Kartasasmita, penguasa politik yang sangat berpengalaman dan cerdik dari rezimnya Soeharto yang memiliki jaringan kekuasaan termasuk tokoh kuat seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla dan Fadel Muhammad.

Ginandjar berhasil membangkitkan kembali karier politiknya setelah melarikan diri ke luar negeri (Universitas Harvard, Amerika Serikat) karena pada saat itu Presiden Abdurachman Wahid berupaya untuk memenjarakannya berkaitan dengan ‘dosa-dosa’ dia di masa lalu termasuk kasus korupsi Balongan dan Freeport.

Setelah Abdurachman Wahid dimazulkan, Ginandjar kembali ke Indonesia dan berupaya untuk melakukan pencitraan politik baru yang mengutamakan kepentingan daerah supaya dapat menjaga kepentingannya sendiri terhadap serangan-serangan politik dan hukum di masa yang akan datang. Dengan menerapkan praktek politik uang Ginandjar menang pemilihan DPD di Jawa Barat.

Kemudian dia menggelontorkan amplop-amplop penuh fulus pada anggota-anggota DPD yang baru terpilih supaya dapat menjadi Ketua DPD. Jelasnya upaya Ginandjar untuk melindungi kepentingannya sendiri mencapai puncak prestasi di antara 2006-2008. Dalam kurun waktu itu dia berusaha untuk memobalisir dukungan politik demi kepentingan penguatan DPD lewat amandemen ke lima Undang-Undang Dasar 1945.

Pada tahun 2008 Presiden SBY memberikan ‘lampu kuning’ (maybe yes maybe no) untuk mendukung penguatan DPD karena dia setuju dengan pembenaran Ginandjar bahwa DPD seharusnya bekerjasama dengan presiden untuk melawan kekuasaan DPR yang dinilai terlalu kuat. Akan tetapi DPR tetap menolak usulan DPD berkaitan dengan sistem politik bikameral yang kuat.

Anggota-anggota elit dari DPR dan juga dari militer memandang proses perubahan undang-undang dapat diibaratkan membuka ‘kotak pandora’ yang membahayakan dalam arti membuka jalan pada kelompok-kelompok Islam radikal untuk melembagakan sistem kepercayaannya secara konstitusional.

Kegagalan usulan penguatan DPD juga menunjukkan ketidak-sanggupan Ginandjar untuk mengontrol pembesar-pembesar politik lain seperti Taufiq Kiemas (PDIP) dan Hilmi Aminuddin (PKS) yang tidak mau membagi kekuasaan politiknya dengan seseorang yang sudah menguasai seni politik Machiavelli.

Pada tahun 2009 Ginandjar pada awalnya menyusun dukungan politik untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden tetapi mengalami kegagalan. Namun begitu dia tetap berhasil mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan langsung DPD di Jawa Barat (Jabar) tetapi dia mengundurkan diri karena apabila dia melanggengkan posisi sebagai Ketua DPD dia takut diperlakukan lagi sebagai ‘sasaran empuk’ berkaitan dengan serangan politik dan pemerasaan hukum. Kemudian, untuk tetap mempunyai akses langsung ke Istana, Ginandjar melobi presiden SBY dan ditunjuk sebagai salah satu penasehat presiden dalam Dewan Pertimbangan Presiden pada tahun 2010-2014.

Tanpa keikutsertaan Ginandjar dalam perebutan posisi ketua DPD, Irman Gusman yang sebelumnya salah satu wakil Ginandjar berhasil memenangkan posisi tertinggi di DPD. Irman sebetulnya tidak dapat dipandang sebagai pemain baru dalam politik elit di Jakarta. Irman berasal dari Padang Sumatera Barat, pada tahun 1990an Irman adalah salah satu sahabat temannya anaknya Suharto Bambang Trihatmodjo. Dalam dekade itu Irman juga menjadi anggota utusan daerah MPR.

Pada perubahan rezim pada tahun 1998 Irman ditunjuk menjadi salah satu komisaris Bhakti Investama yang kontrol oleh ‘konco’ Bambang Tri yaitu Hary Tanoesoedibjo. Penunjukan Irman menunjukkan bahwa dia salah satu anggota jaringan kekuaaan Bambang Tri yang dipercayai untuk menjaga kerajaan bisnis keluarga Suharto selama transisi politik dari Suharto ke Habibie dan pada permulaan era Reformasi.

Irman mengikuti jejak Ginandjar dalam menerapkan praktek politik uang untuk memenangkan posisi Ketua DPD. Amplop putih yang berisi fulus dibagi-bagi pada anggota baru DPD untuk mengumpulkan suara terbanyak dan untuk mengalahkan pimpinan LSM Laode Ida dan istri Sultan Jogjakarta Ibu Hemas. Dalam konteks ini Irman meminimalisir risiko politik sebab dia tidak hanya mengandalkan jaringan kekuasaan anak Suharto dan Golkar tetapi dia juga menempel pada SBY. Tanpa kekuasaan politik, deskripsi pekerjaan sebagai ketua DPD Irman pada dasarnya bersifat seremonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun