Mohon tunggu...
M U Ginting
M U Ginting Mohon Tunggu... -

penggemar dan pembaca Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Aidit and Sjam Did Walk Into The Trap"

7 Oktober 2017   02:33 Diperbarui: 7 Oktober 2017   03:30 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah banyak buku dan dokumen diterbitkan dalam soal kudeta 30 September 1965, tetapi buku John Roosa (2006) dengan judul Pretext for MassMurder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia, merupakan buku terbaru paling mendasar soal kudeta 30S 1965. His book is a remarkable feat of historical investigation. Finalist, Social Sciences Book Award, the International Convention of Asian Scholars. lihat disini

Buku ini oleh Jaksa Agung dilarang di Indonesia pada 2010, tetapi pada tahun itu juga larangan itu dicabut oleh Mahkamah Konstitusi, dan bisa beredar lagi.

Diantara orang-orang Indonesia yang hidup pada zaman itu pastilah banyak dalam ingatannya kesesuaian uraian John Roosa dalam bukunya dengan fakta dilapangan dan maupun dalam pikiran masyarakat ketika itu, terutama situasi sehari-hari perpolitikan dalam pembagian yang jelas anti-amerika atau pro-amerika, yang juga biasa dengan sebutan anti nekolim kontra anti komunis yang ketika itu dituduhkan juga kepada  'orang Masjumi'.  

Buku John Roosa dianggap paling mendasar dengan fakta-fakta ilmiah tepercaya dengan uraian serta analisa yang juga masuk akal, misalnya pendapat dan pengertian dubes AS Howard P. Jones yang bertugas dari 1958 sampai May 24, 1965. Jones berpendapat bahwa PKI untuk berkuasa lebih cenderung mengambil jalan 'damai' lewat kekuasaan Soekarno daripada menggulingkan Soekarno dengan kekerasan. Dalam kenyataan politik sehari-hari memang itulah yang dijalankan oleh PKI, dengan NASAKOM, 'ganyang Malayia' dsb, tetapi juga dengan tuntutan 'angkatan ke 5' mempersenjatai buruh dan tani, yang ditolak tegas dan keras oleh Yani dan Nasution dan bersaman dengan itu dengan sekuat tenaga mempengaruhi Soekarno supaya tidak mengizinkan angkatan ke 5 itu. Pimpinan PKI juga terasa masih lebih meyakini bahwa mengkudeta Soekarno dengan kekerasan dari pihak siapa saja akan gampang ditumpas karena pengaruh Soekarno masih begitu kuat dikalangan rakyat Indonesia, walaupun optimisme juga semakin besar melihat perkembangan partai yang semakin pesat dan perkembangan dunia komunis/sosialis semakin maju.

Berlainan halnya dengan pendapat Jones, Dubes Marshall Green -- yang menggantikanya, yang dengan tegas bersikap bahwa harus ada dalih tersembunyi (pretext) untuk menyalahkan PKI supaya bisa mengadunya dengan pihak militer terutama Angkatan Darat, seperti yang ditulis oleh John Roosa dalam bukunya "some sort of dramatic action from the PKI that would provide a justification for repressing it. . . . ". Green sebelum ke Indonesia, pastilah sudah mendengar dan mempelajari 'premature communist coup' yang sudah sejak setahun sebelum terjadi, sudah banyak jadi percakapan hangat dan luas dikalangan diplomat negara-negara 'pro demokrasi', pro AS atau ketika itu dikalangan kaum komunis dan orang-orang progresif Indonesia menamainya 'antek-antek imperialis' AS.

Dubes Green mempersiapkan semua bantuan yang diperlukan dalam pelaksanaan 'premature communist coup' ini. Selain bantuan finansial tentu persiapan taktis praktis yang harus dengan teliti dipersiapkan dan dilaksanakan. Dekrit Dewan Revolusi yang yang akan langsung dibacakan lewat RRI kelihatannya juga sudah disiapkan sebelumnya, jelas bukan oleh Untung dkk, karena Untung tak punya banyak orang, dan yang ada juga tidak profesional, terlihat dalam aksi penangkapan jenderal-jenderal itu, dimana orang-orang Untung tidak mengerti apakah mau ditahan atau mau dibunuh dan akhirnya dibunuh semua, dibuang ke Lubang Buaya.

Tetapi apapun yang terjadi, dilaksanakan secara professional atau tidak, 'premature communist coup' sudah terlaksana dengan 'sempurna'. Tinggal kudeta sesungguhnya langsung menangani Soekarno, pagi hari 1 Oktober Soekarno sudah berada dalam lingkungan militer Soeharto di istana, beliau sudah tak punya hubungan keluar selain lewat penjagaan militer. Dan dengan begitu sekarang bisa dengan bebas menangani dan menumpas komunis PKI.

"Contrary to Jones's expectations, the PKI, more specifically, Aidit and Sjam, did walk into the trap." kata John Roosa dalam bukunya.

Apakah Aidit masuk ke perangkap itu, artinya apakah dia juga setuju diadakannya kudeta Untung itu. Memang bisa terjadi bahwa Aidit setuju, berkat pengaruh licik dari agen ganda Syam Kamaruzaman. Tetapi kemungkinan besar hanya Aidit yang tahu diantara semua anggota Politbiro PKI, karena hanya dia yang punya hubungan langsung dan rahasia dengan agen ganda Sjam. 

Celakanya bagi Aidit ialah bahwa dia sama sekali tidak tahu bahwa Sjam adalah agen ganda, yang dalam arti sesungguhnya adalah agen neolib internasional dalam tubuh PKI lewat pemimpin besarnya Aidit. Bisikan Sjam soal kudeta Untung bisa jadi adalah sesuatu yang sangat menarik luar biasa bagi Aidit, karena akan menghabiskan 'dewan jenderal' yang dia sudah lama siarkan kepada semua anggota PKI. Dewan Jenderal ini sangat terkenal anti komunisnya dan karena itu sangat tidak disukai dikalngan orang-orang PKI.

Dan itulah 'trap' besar itu, apakah dari PKI atau dari neolib/imperialis - masih akan tetap menjadi pertanyaan besar, dimana di buku John Roosa sudah jelas mengarah kemana dan siapa bikin 'premature communist coup' itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun