Mohon tunggu...
Anwar Effendi
Anwar Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mencari ujung langit

Sepi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bolehkah Saya Gabung ke Kombes

3 April 2020   09:50 Diperbarui: 3 April 2020   10:56 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya masih butuh bimbingan. | dokpri

Menulis di Kompasiana itu, bagi saya menyalurkan hobi. Terasa sayang jika senang jalan-jalan, kemudian tidak berbagi pengalaman. Jadi, suatu saat nanti,  kalau cerita (misal ke cucu) ada bukti, baik tulisan maupun foto, tinggal klik saja di Kompasiana.

Makanya sudah sangat merasa senang, jika hasil tulisan dari jalan-jalan, akhirnya bisa tayang di Kompasiana. Cukup sampai di situ.

Harus diakui juga, sebagai orang yang masuk kategori gagap teknologi (gaptek), saya sempat bingung bagaimana bisa menulis di Kompasiana. Mintalah bantuan anak, bagaimana proses regrestasi, mulai dari login, mengisi form data diri, hingga menunggu proses validasi.

Tanggal 12 Maret 2020 saya coba mendaftarkan diri sebagai kompasianer. Saya merasa cukup ribet juga harus mengisi NPWP dan nomor rekening bank segala. Ini maksudnya apa? Harus difoto lagi. Ampyuuuuun dah.

Mau menulis cerita jalan-jalan saja, kok sampai segitunya. Tapi proses itu akhirnya tetap dijalani. Setelah selesai semua, saya menerima jawaban: tunggu proses hasil validasi seminggu kemudian. Ya sudah, percaya saja. Saya menunggu.

Tak disangka, sehari kemudian tanggal 13 Maret 2020 ada pemberitahuan proses validasi bisa diterima. Tapi, seperti sudah disebutkan, saya masuk golongan gaptek, maka pemberihauan itu terabaikan. Baru pada tanggal 14 Maret saya mengetahuinya, sudah bisa menulis di Kompasiana.

Mulailah pengalaman saya sebagai penulis pemula di Kompasiana. Saya coba menulis pengalaman jalan-jalan bersama istri mendaki sekaligus bermalam dalam tenda di puncak Gunung Papandayan. Tidak ada pikiran apa-apa, kalau tulisan saya itu bisa tayang di Kompasiana, senangnya luar biasa. Ada yang baca syukur, gak ada yang baca ya tidak masalah.

Belakangan saya kaget, ternyata yang membaca tulisan itu bisa terlihat. Jumlahnya mencapai 95. Sempat masuk deretan lima tulisan populer di kolom wisata (travel).

Anak saya lantas memberi tahu perihal itu. Saya enteng saja menjawab: jangan suka bikin hoaks.

Eh anak saya malah memberikan pejelasan lebih rinci. Bukan saja jumlah yang membaca tulisan saya, tapi tentang statistik. Nah, nah, saya mulai benci jika bicara statistik. Soalnya sampai sekarang masih suka bingung dan kadang tidak bisa membaca statistik. Peduli amat dengan hal itu. Bodo amat.

Saya terus saja menulis setiap hari, tanpa mempedulikan statistik. Saya senang bisa menulis dan terdokumentasikan di Kompasiana. Ternyata tulisan-tulisan saya, sering jadi yang terpopuler di kelompok wisata (travel). Ini yang membuat saya jadi makin semangat.

Sampai sekarang saya masih bingung dengan angka-angka di detail poin. | dokpri
Sampai sekarang saya masih bingung dengan angka-angka di detail poin. | dokpri
Lebih kaget lagi, tulisan saya kemudian ada yang mengapresiasi. Masih ingat betul, waktu itu ada nama Ibu Roselna Tjiptadinata di kolom komentar tulisan saya. Asli, sejatinya saya merasa tersanjung. Mungkin di situlah letak kepolosan saya.

Namun belakangan saya baru sadar, setelah makin rajin membaca karya kompasianer lainnya. Ternyata, apresiasi yang didapat saya, tidak ada sebesar butiran debu pun, dibandingkan kompasianer lainnya. Saya juga sering membaca, bagaimana pengalaman kompasianer lainnya, selama menulis di Kompasiana.

Ada yang berjuang beberapa tahun, baru bisa tulisannya menjadi headline (artikel utama). Namun mereka terus rajin dan tidak patah arang, mewujudkan hobi menulisnya. Terbaca juga ada yang lama naik status dari debutan ke junior, dari junior ke taruna dan serusnya. Tapi ada juga yang dalam waktu singkat naik status

Yang terbaru saya membaca tulisan Bapak Neno Anderias Salukh dan Bapak I Ketut Suweca. Bapak Neno menceritakan bagaimana perjuangannya untuk mendapatkan centang biru. Bapak I Ketut Suweca menggambarkan perjuangannya menghasilkan 500 artikel. Ditambah lagi melihat produktivitas Bapak Tjiptadi Effendi.

Saya merasa kecil-sekecilnya di hadapan mereka. Dan karenanya, apakah saya harus memperhatikan statistik yang ada di profil saya? Sungguh sampai sekarang saya masih bingung soal statistik, kalaupun ada yang menjelaskan mungkin saya cuma mengangguk-angguk saja tanpa mengerti.

Saya cuma mengingat, mulai menulis di Kompasiana tanggal 14 Maret 2020. Jumlah naskah yang dihasilkan sampai 2 April ada 72 tulisan. Di statistik profil saya pada tanggal tersebut muncul tulisan Junior. Bodo amat dengan hal itu.

Yang menjadi kebahagian saya sekarang adalah, makin banyak teman. Saya sering mendapat suport dari Kompasianer lainnya. Dulu, pertama masuk ke Kompasiana saya seperti mahkluk asing. Tak punya teman, dan tak dikenal orang. Jujur di awal-awal kadang saya suka cemburu, kok kompasianer lain seperti sudah saling kenal dari awal. Apalagi membaca tulisan tentang kekompakan Kompasianer Brebes (Kombes). Bagi saya, mereka sangat familier. Saya ingin menjadi bagian di sana.

Dalam hati sering menyebut: apakah saya yang tinggal di Bandung bisa bergabung ke Kombes?(Anwar Effendi)***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun