Mohon tunggu...
pejalan damai
pejalan damai Mohon Tunggu... -

damai untuk bumi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menikmati Proxy War di Seputaran Pilkada DKI

20 Mei 2016   18:12 Diperbarui: 20 Mei 2016   18:26 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai Golkar mempertimbangkan Ahok didukung dalam Pilkada DKI. Perubahan drastis, sepaket dengan keputusan keluar dari KMP dan mendukung pencalonan Jokowi di 2019. Kok agak gimana gitu, untuk tidak mengatakan hal ini merupakan pertemuan kepentingan dengan Jokowi dan bukan narasinya PDIP. Si kerempeng pun terbukti kian lihai. Sikap PAN asal bukan Ahok. Sementara, Gerindra siap mendukung calon PDIP asal bukan Ahok. Proxy pertarungan berikutnya adalah pilkada DKI.

Karena posisi strategis ibu kota dan pernah jadi Gubernur disana, rasanya agak aneh jika Jokowi membiarkan tanpa cawe-cawe. Pilkada DKI untuk menguji sejauh mana kelompok-kelompok politik yang sejalan dengan semangat nawacita(Jokowi) dan mau beriringan mesra di kabinet kerja. Pengambil alihan kewenangan reklamasi oleh pemerintah pusat sudah cukup menjelaskan dimana posisi istana. Hanya korupsi dan KPK yang bisa menggagalkan pencalonan ahok.

Membayangkan kontestasi di Jakarta, bisa dengan pendekatan apa yang dibayangkan(proyeksi) parpol dan entitas elite politik terhadap pemilu 2019. Sepakterjang Jokowi yang membuat KMP bubar, satu per satu mendekat ke pemerintah, mememberikan sinyal kuat kepada PDIP. Sinyal bahwa Jokowi mempunyai cukup kekuatan bahkan untuk lepas dari PDIP sekalipun. Meski cara seperti ini bukanlah gaya Jokowi. Tapi apa yang tidak mungkin dalam politik.

Sikap PDIP di pilkada DKI menjadi hal yang paling ditunggu. Bukan hanya karena mempunyai jumlah kursi terbanyak tapi lebih pada konfigurasi politik yang akan mengiringinya. Balaikota DKI dan Istana Negara cukup dekat secara geografis maupun politis. Mudah pula mencium ada usaha menjauhkan Jokowi dengan PDIP. Dengan membuat opini, Jokowi tidak identik dengan PDIP. Jokowi bertentangan dengan PDIP dan lain lain. Bu Mega semestinya menyadari hal ini.

Disisi lain, PDIP nampaknya perlu berpikir ulang mengevaluasi keberadaan Puan di kabinet. Entah karena kompetensi atau yang lain. Saat ini blio sudah seperti dibonsai dalam lingkar kekuasaan. Kecil, tidak terlihat. Gak wangun kalo mau diendorse untuk posisi RI 2 di 2019. Pun Jokowi juga tidak akan sreg/nyaman karena bakal tidak bebas. Dari kacamata lain, mempertahankan Puan di kabinet dengan kinerja yang gitu gitu aja memperkecil elektabilitas yg bersangkutan untuk kontestasi pemilu.

Narasi yang dibangun Jokowi sedang merdu mengalun. Semua bersahutan menyambut dan merapat ke istana.


Jika LHP mendapat peran untuk mengamankan Golkar, siapa atau bagaimana kerja Jokowi untuk mengamankan DKI? Nama LBP melejit. Lingakaran Survei Indonesia mengeluarkan rilis terkait situasi Partai Golkar pasca Munas. Mulai dari elektabilitas pada bulan Mei 2016 turun mencapai 10,8% jauh berada dibawah PDIP 21,5%. Juga perlunya ‘branding baru’ dibawah kepemimpinan SN. Sampai akhirnya keluarlah di media nama LBP yang bisa membawa kemenangan Partai Golkar di 2019. Inilah, cerita yang tidak bikin kaget penikmat-pelaku politik Indonesia. Pensiunan Jenderal ini semakin mengukuhkan diri sebagai actor penting di gelanggang pertarungan istana.

Setidaknya masih ada beberapa bulan sampai pengajuan calon resmi ke KPU DKI. Kali ini rasanya strategi yg dilancarkan tidak sama saat munas Partai Golkar. Beda medan pertempuran, beda strategi.

Saatnya Jokowi memikirkan untuk ‘menciptakan’ oposisi berkualitas. Saat semua mendekat, tidak serta merta berarti dukungan. Disisi tertentu akan bikin gaduh didalam rumah. Karena mereka itu pada dasarnya lapar. Selama ini kue APBN terlihat dan terbukti begitu manis. Untuk menyehatkan kehidupan politik Indonesia, berikan mereka peran atau paksa mereka untuk berada di oposisi.

Kok saya sulit membayangkan kalo pengurus PKS berkampanye didepan massanya untuk pilih Jokowi di Pilpres 2019. Bercerita tentang kesamaan visi dan misi dg Jokowi. Cuih. Lagi pula, Pilpres dan Pilleg berlangsung bareng. Jelas PKS akan lebih focus untuk mengurus legislative. Masuk ke pemerintahan, seperti yang lain, motif terbesar untuk berburu logistics.

Dalam waktu dekat momen reshuffle akan dijadikan kompromi dan konsolidasi politik. Begitu juga status Kapolri yang sudah habis masa berlakunya. Mengingat nama kuat yang muncul sebagai pengganti adalah BG. Tekanan dari partai begitu kuat untuk Jabatan Kapolri.

Tidak perlu ikut pusing. Itu kopinya diminum dulu…..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun