Di Bogor, Jawa Barat, ratusan siswa mengalami gejala keracunan akibat bakteri dari makanan yang tidak steril. Belum lagi di daerah-daerah pulau Jawa lainnya.
Dan di Lampung, berbagai sekolah di Bandar Lampung, Pringsewu, hingga Lampung Tengah dan beberapa kabupaten/kota lainnya melaporkan puluhan siswa muntah-muntah setelah makan menu MBG yang basi dan berminyak.
Jika dijumlah, bisa ribuan orang - anak-anak dan guru - telah menjadi korban program ini hanya dalam hitungan bulan. Dan harus diingat, berapa pun jumlahnya, setiap satu anak yang keracunan adalah tanda kegagalan. Karena di balik setiap angka itu, ada nyawa yang dipertaruhkan. Ada anak yang sakit, ada orang tua yang cemas, ada guru yang menyesal karena tak bisa melindungi muridnya dari makanan yang seharusnya menyehatkan.
Ketika Perut Anak Kenyang, Tapi Orang Tua Dicekik
Program sebesar MBG seharusnya membawa manfaat bagi banyak pihak. Namun di sisi lain, sejumlah kebijakan turunan justru menimbulkan rasa sesak di dada rakyat kecil. Beberapa lembaga pendidikan mengeluh karena anggaran pendidikan banyak terserap untuk MBG, sementara kesejahteraan guru - terutama honorer - masih jalan di tempat. Ada yang digaji Rp. 200 ribu per bulan, tapi kini harus ikut memastikan program makan gratis berjalan.
Ironisnya, muncul pula kabar bahwa beberapa pejabat dan elit politik memiliki dapur MBG, baik langsung maupun lewat yayasan dan rekanan. Jika benar, maka program yang sejatinya ditujukan untuk rakyat kecil justru berubah menjadi ladang bisnis baru bagi mereka yang sudah berkecukupan.
Sementara itu, rakyat di bawah justru merasakan tekanan lain. Pajak dinaikkan, insentif dipangkas, dan biaya hidup makin berat. Banyak perusahaan melakukan efisiensi hingga berujung PHK. Jadi meski anak-anak mendapat makan gratis di sekolah, para orang tua justru dicekik diam-diam oleh beban ekonomi yang kian menekan.
Ada semacam paradoks yang getir: pemerintah memberi makan anak-anak di sekolah, tapi menguras napas ekonomi keluarganya di rumah.
Tak bisa dipungkiri, niat pemerintah meluncurkan MBG sangat mulia. Tapi niat baik tanpa sistem yang kuat hanya akan melahirkan kekecewaan. Dalam setahun ini, kita belajar bahwa program besar membutuhkan tiga hal mendasar: transparansi, keamanan pangan, dan keberpihakan yang konsisten.
Transparansi berarti dana harus jelas, dari pusat hingga dapur. Tak boleh ada laporan fiktif, tak boleh ada permainan angka, apalagi pemanfaatan politik. Keamanan pangan berarti setiap suapan anak harus aman, higienis, dan bergizi - bukan sekadar mengenyangkan. Dan keberpihakan berarti memastikan guru, juru masak, dan pekerja kecil di dapur MBG tidak lagi menjadi korban sistem yang tak berpihak.
Pemerintah harus berani mengoreksi diri. Sudah saatnya fokus tidak hanya pada “memberi makan gratis”, tapi juga memberi pekerjaan bagi orang tua dan pendidikan bermutu bagi anak-anaknya. Karena jika ekonomi keluarga kuat, mereka bisa memberi makan sendiri tanpa harus bergantung pada negara.