Tak terasa, 20 Oktober ini genap setahun sudah pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berjalan. Waktu yang terasa cepat, tapi juga sarat catatan. Banyak yang menanti perubahan besar dari dua nama yang dulu tampil dengan janji “energi baru” dan program yang disebut paling menyentuh rakyat kecil: Makan Bergizi Gratis (MBG).
Di atas kertas, ide ini terdengar indah - memberi makan bergizi untuk anak-anak sekolah, memastikan perut mereka kenyang agar otaknya cerdas, dan menekan angka stunting. Tapi di lapangan, keindahan itu tak selalu berwajah manis. Ada kisah pahit di balik dapur-dapur yang mengepul, di balik nasi kotak yang datang terlambat, di balik senyum anak-anak yang ternyata diikuti rasa mual dan muntah karena makanan tak layak.
Program yang seharusnya menjadi simbol kepedulian sosial kini justru menimbulkan banyak pertanyaan: apakah niat baik cukup untuk menegakkan keadilan sosial, jika pelaksanaan di lapangan rapuh dan penuh celah?
Antara Janji dan Realita
Ketika MBG diumumkan, publik menyambutnya dengan optimisme. Siapa yang tak setuju dengan gagasan memberi makan anak sekolah secara gratis? Tapi di balik antusiasme itu, tersimpan persoalan besar yang hingga kini belum sepenuhnya terurai.
Tahun ini, pemerintah menyiapkan dana fantastis: Rp. 71 triliun dari APBN, dengan cadangan hingga Rp. 100 triliun. Namun yang terserap, menurut laporan terakhir Badan Gizi Nasional (BGN), baru sekitar 29 persen.
Artinya, masih ada sekitar Rp.70 triliun yang belum digunakan sepenuhnya. Dana itu disebut akan dikembalikan ke kas negara, tetapi hingga kini belum benar-benar ditarik atau dikembalikan secara resmi. Seolah uang sebanyak itu masih menggantung di antara rencana dan realita - di satu sisi ada jutaan anak yang menunggu makanan bergizi, di sisi lain dana besar itu belum juga tersalurkan dengan efektif.
Masalah terbesar ada di tataran pelaksanaan. Banyak dapur MBG yang tidak siap secara infrastruktur. Ada yang dapurnya seadanya, kekurangan tenaga ahli gizi, bahkan belum beroperasi meski anggaran sudah cair. Tak sedikit pula dapur yang berhenti karena belum dibayar, seperti kasus di Kalibata, Jakarta Selatan, di mana pengelola dapur mengaku rugi hingga hampir Rp. 1 miliar akibat pembayaran tersendat.
Yang lebih menyedihkan, muncul rentetan kasus keracunan massal di berbagai daerah. Dari Sragen, Bengkulu, Bogor, Ketapang, hingga Lampung - semuanya mencatatkan korban.
Di Sragen, Jawa Tengah, sekitar 196 siswa dan guru tumbang. Di Bengkulu mencapai 456 orang. Di Ketapang, Kalimantan Barat, ada 16 korban setelah menyantap menu ikan hiu.