Mohon tunggu...
Pebri Sagala
Pebri Sagala Mohon Tunggu... Penulis Lepas

Hobi membaca buku membuat saya mencoba untuk menuliskan ide-ide yang ada.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Terjebak di Rumah Hantu, Benarkah aku keluar?

22 September 2025   16:19 Diperbarui: 22 September 2025   16:19 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi cerita misteri rumah hantu (Sumber: Original, dibuat penulis dengan teknologi AI) 

Pasar malam itu berdiri di tanah lapang yang dulunya sawah. Malam menjelang larut, tetapi lampu warna-warni dan musik dangdut yang meraung dari panggung hiburan membuat suasana tetap riuh. Anak-anak berlari mengejar balon, pasangan muda bercengkerama sambil mengunyah jagung bakar, dan orang-orang dewasa sesekali tertawa keras saat mencoba permainan lempar gelang. Namun di sudut lapangan, sebuah bangunan sementara dari kayu dan kain hitam berdiri mencolok, dihiasi tulisan besar dengan cat putih yang mulai mengelupas: WAHANA RUMAH HANTU. Lampu neonnya berkelip, sebagian mati, membuat kata-kata itu terbaca aneh: WANA HAN...TU.

Raka, 27 tahun, berdiri mematung di depan wahana itu. Awalnya ia hanya berniat lewat, tapi ada semacam tarikan halus yang membuat kakinya berhenti. Mungkin karena ia sedang penat dengan rutinitas kerja, atau karena rindu akan rasa penasaran masa kecil. Ia melangkah mendekat. Loket kecil di depan pintu dijaga seorang pria tua dengan mata sayu dan kulit keriput. Tatapannya menusuk, seperti menelanjangi isi kepala. "Sendirian, Mas?" tanyanya datar. Raka mengangguk sambil menyerahkan uang. Petugas itu memberi tiket kecil dengan stempel merah, lalu menambahkan lirih, "Kalau sudah masuk... jangan pernah menoleh ke belakang."

Raka terkekeh, menganggapnya bagian dari gimmick. Ia mendorong pintu kayu yang berat, dan hawa lembap serta bau karat langsung menyeruak. Lampu kuning redup berayun pelan dari kabel rapuh, sementara dindingnya ditutup kain hitam lusuh. Dari kegelapan, sebuah manekin berpakaian pocong meloncat dengan rantai plastik, membuat suara berisik. Raka mendengus, setengah kecewa. "Murahan," gumamnya. Namun semakin jauh ia melangkah, semakin aneh perasaan yang merayapi. Lorong itu tidak pernah berakhir, padahal rumah hantu seperti ini biasanya hanya berisi tiga atau empat ruangan sempit. Suara samar tangisan terdengar, bukan seperti rekaman murahan, tapi tangisan sungguhan---lirih, panjang, putus asa.

Ia menoleh ke belakang, dan dadanya mendadak dingin: pintu masuk yang tadi ia lewati sudah lenyap, diganti dinding kain hitam. Jantungnya berdegup keras. Ia mencoba menenangkan diri dan terus berjalan, hingga di sebuah tikungan ia melihat seorang gadis bergaun putih lusuh berdiri diam. Rambut panjangnya menutupi wajah. Raka tertawa kaku, "Efek standar." Tapi gadis itu mengangkat kepala, dan matanya hitam pekat tanpa bola mata, seperti sumur tak berdasar. "Mas... keluar nggak gampang," ucapnya pelan dengan suara bergetar.

Raka tertegun. "Mbak... karyawan sini, ya? Jalan keluarnya ke mana?" tanyanya sambil mendekat. Tapi dalam sekejap, sosok itu menghilang. Yang tersisa hanyalah bau anyir besi dan hawa dingin menusuk tulang. Nafasnya mulai tidak teratur. Ia terus berjalan, dan tiba di sebuah cermin besar menempel di dinding. Dari pantulan, ia melihat dirinya---keringat membasahi wajah, mata penuh cemas. Namun pantulan itu tersenyum. Senyum yang terlalu lebar, rahang seperti retak untuk menampung tawa aneh itu. Raka mundur terhuyung, merasakan punggungnya menyentuh dinding yang kini dipenuhi coretan goresan kuku, seperti bekas orang-orang yang pernah mencoba kabur.

Bisikan-bisikan mulai terdengar dari segala arah. Suara-suara tanpa wujud, merayap masuk ke telinganya: "Jangan percaya matamu... Jangan percaya langkahmu... Jangan percaya dirimu..." Ia menutup telinga, tapi bisikan itu justru semakin keras, bergaung di dalam kepalanya. Panik, ia berlari tanpa arah, melewati lorong yang seakan berputar, sampai akhirnya menemukan sebuah pintu kayu tua. Dengan sisa tenaga, ia menendang pintu itu hingga terbuka, lalu cahaya terang menyilaukan matanya. Ia jatuh tersungkur keluar... dan mendapati dirinya berdiri kembali di depan pintu masuk wahana.

Tiket di tangannya masih utuh, seolah-olah ia belum pernah masuk sama sekali. Petugas tua itu masih duduk di balik loket, menatapnya dengan senyum tipis yang aneh. "Mau coba lagi, Mas?" tanyanya dengan suara berat, hampir berbisik. Raka terdiam. Ia menoleh ke kaca loket, dan sekali lagi ia melihat pantulan dirinya tersenyum... terlalu lebar untuk wajah manusia. Di kejauhan, samar-samar terdengar suara lirih petugas: "Tidak semua yang masuk... bisa keluar sebagai dirinya sendiri."

Sejak malam itu, Raka tidak pernah lagi menceritakan pengalamannya. Namun, di tengah keramaian kota, ia kadang melihat sosok yang mirip dirinya berdiri di jendela gedung, menatap balik dengan senyum yang sama persis---terlalu lebar, terlalu asing. Dan entah mengapa, senyum itu selalu muncul di tempat-tempat yang tidak seharusnya ada cermin.

Pertanyaannya, apakah kisah Raka berakhir di depan pintu keluar rumah hantu? Ataukah justru ia masih terjebak di dalam, menunggu giliran Anda masuk... di kehidupan berikutnya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun