Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gubernur Idola dan Uang Masa Lalu

18 Maret 2017   14:30 Diperbarui: 19 Maret 2017   00:00 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar ; https://jameswsasongko.files.wordpress.com

Tak seperti hari-hari lalu, pak Bagaskara kini tampak selalu gelisah. Dia sering murung atau justru melakukan aktifitas berlebihan. Tiba-tiba saja dia bongkar-bongkar mesin mobil, atau menggunting bunga dan menebas rumput halaman belakang rumahnya. Sebenarnya sudah ada tukang kebun khusus, dan sopir pribadi yang bisa segera membawa mobil ke bengkel. Anehnya, dia kerjakan semua itu dalam sunyi, dan dalam situasi pekerjaan kantor sedang sibuk. Terlihat tidak enjoy. Pikirannya tidak sepenuhnya disitu. Padahal bisanya ada saja lelucon yang dia bikin saat melakukannya sehingga orang yang berada didekatnya tertawa terpingkal-pingkal.
Ada apa dengan perubahan itu?

Sejak terpilih menjadi gubernur dia lebih sibuk blusukan ke berbagai daerah. Ini kesenangan baru yang bikin dia menikmati hidup dan jabatannya. Bagaskara jadi pempimpin wilayah yang cemerlang. Dia disukai karena dekat dengan rakyat, gaya hidup sederhana, banyak program pembangunannya berhasil di lapangan. Satu hal lagi, dia anti korupsi bukan hanya di ucapan namun juga dalam tindakan. Kini dia telah masuki tahun ketiga di periode kedua pemerintahannya. Praktis selama menjabat gubernur, birokrasi pemerintahannya relatif bersih. Berbagai penghargaan didapatkannya dari lembaga pemerintah pusat maupun swasta independen. Belum lagi pujian dari berbagai kalangan masyarakat dan media.

“Saya perhatikan belakangan ini den Bagas sering murung, nampaknya sedang banyak pikiran” kata pak Slamet, supirnya. Mereka berdua dalam perjalanan dari kabupaten kembali ibukota propinsi setelah meninjau proyek pembangunan jalan yang tak lama lagi akan diresmikan menteri.

Bila sedang berdua, pak Slamet memanggil Bagaskara dengan sebutan Den Bagas. Itu panggilannya pada Bagaskara sejak kecil, namun bila di tempat umum dia panggil pak Bagaskara atau pak Gubernur- sama seperti orang-orang memanggil pak Bagaskara.

Mobil yang mereka gunakan adalah Avanza, mobil biasa yang disebut mobil sejuta umat. Tadi, usai peninjauan proyek jalan, sejumlah jajaran SKPD-nya disuruhnya jalan duluan, termasuk mobil dinas lapangan land cruiser yang dibawa oleh sopir dinas dan ajudannya. Begitulah gaya pak Bagaskara, mobil dan segala fasilitas bukan persoalan baginya. Dia bisa pakai apapun dan tidak tergantung pada kelas fasilitas negara .

Bagaskara sering membawa serta pak Slamet untuk menemaninya ke lapangan. Disana pak Slamet bertindak membantu ajudan gubernur, khususnya untuk urusan tidak formil dimasyarakat yang dikunjungi.

Semua jajaran SKPD sudah kenal dengan pak Slamet sebagai orang dekat Gubernur Bagaskara. Mereka hormat dan segan, walau penampilan pak Slamet bersahaja dan tidak ‘neko-neko’. Mereka senang, pak Slamet bisa membantu beberapa bagian kegiatan di lapangan. Ibu Dewi, istri pak Bagaskara juga senang dan nyaman bila pak Bagaskara melakukan kunjungan ke daerah ditemani pak Slamet.

Sebenarnya Pak Slamet bukanlah orang lain di kehidupan Bagaskara. Pak Slamet orang satu kampung yang sudah lama dikenal keluarga Bagaskara . Ayah pak Slamet pernah bekerja pada pak Sugeno, ayah pak Baskara. Beliau merupakan orang disegani di kampung. Keluarga Bagaskara bukan keluarga paling kaya, namun punya usaha angkutan di kampung, perkebunan kelapa serta peternakan ayam.

Walau makan gaji, namun Ayah pak Slamet dan Ayah Bagaskara terlihat lebih sebagai teman sesuai sifat pak Sugeno yang tidak memperlakukan orang yang bekerjanya sebagai buruh. Pak Slamet sendiri pun pernah bekerja dengan keluarga pak Sugeno, sebagai sopir angkutan kampung menggantikan ayahnya. Pada saat itu, Bagaskara masih duduk disekolah menengah. Bagi anak-anak pak Sugeno, pak Slamet sudah dianggap paman. Itulah mengapa, pak Bagaskara dekat dengan pak Slamet.

Karier politik Bagaskara tak lepas dari peran pak Slamet yang mendampinginya secara tulus sejak belum jadi apa-apa. Saat pindah di ibukota propinsi demi meniti kariernya, Bagaskara mengajak pak Slamet. Pak Slamet bersedia ikut demi penghidupan lebih baik, terutama demi 3 anaknya untuk mendapatkan sekolah yang lebih baik di kota. Waktu Bagaskara jadi terpilih jadi gubernur, diapun tak meminta apapun padahal Bagaskara sudah membuka diri ingin memenuhi permintaan pak Slamet. Tapi bagaskara bukan orang tak tahu diri, kedua orang anak pak Slamet yang lulusan akademi perawat dan kuliah ilmu keguruan diangkatnya jadi PNS. Sebelumnya keduanya jadi tenaga honorer. Pak Slamet berbahagia, tak menyangka anaknya bisa jadi PNS. Baginya, tak perlu lagi memikirkan masa depan anaknya itu karena dianggap jadi PNS sudah pasti terjamin.

Baskara punya tanah cukup luas di tepi kota yang dibelinya dari hasil tabungan bekerja di LSM. Saat itu dia masih bujangan. Tanah tersebut sangat murah pada masa itu karena masih berupa hutan dan semak, dan jauh dari pusat kota. Namun sekarang telah jadi bagian dari perkembangan kota. Tanah itu dulu dia rencanakan untuk berkebun dan membuka sekolah alam bagi anak-anak. Visinya jauh ke depan, kelak anak-anak kota harus belajar dari kearifan alam agar jadi orang yang bijak membangun negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun