Penulis tersebut tetap menulis di Kompasiana sebagai bagian penyembuhan luka batinnya. Kesenangan menulis hanya didapatkannya di Kompasiana. Namun di sisi lain sakit hati pada Kompasiana.Â
Kenapa tetap menulis di Kompasiana? Bukankah bisa menulis di tempat lain?Â
Kompasiana punya genius loci dan marwah tersendiri untuk bersuka cita dalam huruf, kata dan kalimat. Ini sebuah layer tersendiri. Sementara saki hati itu merupakan layer yang lain lagi.Â
Ibarat dua sisi uang logam, menulis memberikan kesembuhan luka batin pribadi dari setting masa lalu, namun di sisi lain pada masa kini ada sakit hati yang baru. Uang itu lebih diutamakan untuk menuntaskan atau membayar lunas luka batin, bukan berhutang pada sakit hati.
Penderitaan luka batin itu lebih berat. Sementara sakit hati pada Kompasiana bisa dikategorikan lebih ringan dibandingkan luka batin.
Sakit hati menulis di Kompasiana juga ibarat pil pahit yang harus terus diminum karena terjanjikan bahwa aktivitas menulis bisa menyembuhkan sakit berat, yakni luka batin.Â
Kalau suatu saat sakit hati pada Kompasiana, sejatinya jangan terburu-buru berhenti menulis. Jangan berhenti minum obat pahit, agar luka batin bisa berangsur sembuh.Â
Mengingat bahwa menulis itu kegiatan yang membahagiakan, maka akan mengurangi rasa sakit hati. Â Apalagi suatu ketika tulisan dibaca banyak orang, dikomentari secara kocak, diberi label Artikel Utama, atau mendapatkan K-Rewards. Obat pahit tidak akan terasa pahit.
"Peb, kamu pernah sakit hati pada Kompasiana, ya?"
"Iiih, mau tau aja! Heu..heu..heu..."
----
Peb25/09/2021