Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Efek Propaganda Rusia dan Resiliensi Masyarakat Pasca Pilpres 2019

11 Februari 2019   08:35 Diperbarui: 11 Februari 2019   10:00 1199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : kompas.com

Apapun yang dilakukan Jokowi untuk kebaikan negeri ini tidak akan dipandang baik oleh pihak oposisi, misalnya pembangunan infrastruktur, pembuatan sertifikat tanah untuk rakyat, program dana desa, "merebut" sumber minyak Blok Rokan dan Blok Mahakam, penguasaan 51 persen saham Freeport, dan lain-lain.

Lebih dari itu, pihak oposisi beserta para relawan politiknya juga melakukan upaya lain agar citra positif dan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi tergerus sampai titik terendah. Rakyat dibuat tidak percaya dan membenci pribadi Jokowi dan  pemerintahannya.

Caranya, pihak oposisi bersama relawan politiknya gencar membuat narasi-narasi negatif tentang pribadi Jokowi dan pemerintahannya. Mereka ciptakan kebohongan demi kebohongan berupa isu-isu atau pernyataan tidak didasarkan data valid.

Mereka menyebarkan beragam informasi hoaks, kebencian dan fitnah melalui berbagai media, terutama media sosial (medsos) seperti facebook, WA, instagram, you tube, blog, dan lain sebagainya dengan maksud mencuci otak rakyat. Rakyat dibuat percaya kebohongan itu, heboh, resah dan saling curiga antar elemen masyarakat.

Fenomena ini yang kini dikenal dengan istilah strategi Firehose of Falsehood atau strategi "Propaganda Rusia".

Pihak oposisi sangat paham, hampir sebagian besar masyarakat memiliki gawai (smartphone) dan menjadi penggiat media sosial. Dengan gawai itu narasi negatif atau informasi hoaks bisa langsung sampai pada setiap individu pemegang smartphone tersebut.

Media sosial yang tadinya merupakan ruang interaksi dan silaturahmi antar individu dan komunitas berubah menjadi ruang dokrin, penyebaran kebencian, narasi negatif serta tempat "perkelahian" antar warga. Media sosial menjadi tempat persemaian bibit perpecahan rakyat dalam berbangsa dan bernegara.

Suka atau tidak suka, begitulah realitas politik terkini di negeri ini. Lalu, akan bermuara kemana kehidupan rakyat bila perseteruan politik seperti itu terus belanjut? Bagaimana cara memulihkannya?

Fungsi Oposisi yang Tertukar Preman Politik

Fungsi oposisi sejatinya sebagai penyeimbang demokrasi. Dalam operasionalnya, oposisi memberikan kritik solutif atau masukan kepada pemerintahan yang berkuasa.

Namun seringkali yang terlihat di ruang publik, oposisi menciptakan kebohongan untuk mempengaruhi rakyat agar tidak mempercayai pemerintahan yang sedang berkuasa. Mereka bertindak seperti preman politik yang tak perduli efek jangka panjang yang bakal timbul. 

Harapannya, rakyat akan mengalihkan kepercayaan dari pemerintahan Jokowi kepada oposisi tersebut untuk jadi pemimpin negeri ini.

sumber gambar ; kompas.com
sumber gambar ; kompas.com

Persoalan besar sekarang bukan lagi pada penjatuhan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Jokowi, melainkan rusaknya tradisi kebersamaan dan saling memahami antar pribadi dan elemen masyarakat yang sudah lama terbentuk di dalam kehidupan masyarakat.

Kerusakan itu sangat berat. Ibarat tubuh, yang rusak adalah bagian dalam. Butuh waktu lama untuk penyembuhan.

Siapa pun pemimpin yang terpilih tidak bisa langsung memulihkan kerusakan itu seperti sediakala. Persoalannya adalah entitas elit politik dengan rakyat awam sangat berbeda, baik dalam dinamika, maupun daya resiliensi (resilience).

sumber gambar ; kompas.com
sumber gambar ; kompas.com
Resiliensi Masyarakat dan Peran Pemenang Pilpres

Entitas elit politik--atas nama politik itu cair dan berdasarkan kepentingan kelompok--bisa kembali berteman dengan lawan politiknya usai pertarungan. Mereka bisa dengan mudah lompat pagar dan bersatu dalam satu kubu walau tadinya berbeda kubu secara ekstrim.

Sementara entitas rakyat awam terjadi sebaliknya. Unsur SARA yang sensitif--khususnya politisasi agama, dan proses cuci otak dari masifnya semburan kebohongan dan fitnah yang digunakan pihak oposisi bersama para relawan politiknya sebagai alat perang politik telah menjadikan luka dan dendam kolektif. Kerusakannya sangat dalam dan tak mudah sembuh.

Disisi lain--secara teoritis--tanpa gangguan dari luar, setiap ekosistem mempunyai kekenyalan, daya pulih untuk mengatur kembali dan memperbaharui dirinya sendiri tanpa kehilangan fungsi maupun keanekaragamannya. Proses ini disebut resiliensi.

Kehidupan rakyat awam sebagai "sebuah ekosistem" sosial-budaya-ekonomi memiliki satu kesatuan resiliensi, yang diharapkan bisa tetap hidup, tak kehilangan daya sembuhnya secara alami, walau butuh waktu yang sulit diprediksi.

Proses alami, kompetisi dan suksesi dalam komunitas "species" yang berbeda-beda dalam masyarakat membentuk dasar bagi resiliensi. 

Dalam pengelolaannya masyarakat dan pemerintah yang kelak berkuasa harus menjaga agar gangguan-gangguan yang terjadi tetap dalam ambang batas tertentu agar fondasi berbangsa dan bernegara yang solid dan dulu pernah ada tidak hancur/hilang.

Ketika resiliensi terganggu, ekosistem sosial budaya akan berusaha mempertahankan kemampuan untuk mengaturnya kembali dan memperbaharui dirinya sendiri tanpa kehilangan fungsi dasar/awal maupun keanekaragaman nya.

Resiliensi berasal dari komunitas-komunitas dalam masyarakat luas, tetapi juga tergantung kepada perubahan dan perlakuan institusi yang mengelola masyarakat itu sendiri.

Siapapun kelak yang memenangkan Pilpres 2019 bertanggung jawab untu menciptakan kondisi tertentu untuk mendukung cepatnya proses reseliensi masyarakat pasca Pilpres 2019.

Pemerintah harus agenda resiliensi masyarakat dan membentuk institusi-instistusi formal dan dan nonformal yang langsung menyentuh aneka komunitas dalam masyarakat yang sedang dalam resiliensi tersebut. Karena kalau tidak, maka dendam dan luka politik yang merusak bagian tubuh sosial budaya masyarakat dan bangsa Indonesia akan terus memakan organ lain yang masih bertahan. Sampai saatnya semua tidak akan berfungsi lagi. Dan nama Indonesia hanya akan jadi bagian sejarah dunia yang dulu pernah ada.

Saya dan Anda tentu tak menginginkannya, bukan? Nah, kali ini saya tidak ingin mengatakan "aku sih rapopo". Iiihhh, eikeh ngerii, booo...

---

Peb02/2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun