Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Usah Malu Jadi Pendukung Timnas Kita

19 Januari 2018   06:59 Diperbarui: 19 Januari 2018   07:36 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : bola.com

"Haalaah ! Udah pasti kalah kok. Mainnya ndak mutu. Ngapain bela-belain kayak orang sakaw gitu?"

Begitulah nada-nada celoteh yang sering saya dapatkan dari teman-teman, kerabat dan saudara sendiri ketika saya buru-buru mau pulang karena ingin menyaksikan Timnas sepakbola Indonesia berlaga di tivi. Negara manapun lawan dan apapun eventnya jangan sampai terlewatkan. Jauh hari jadwal main timnas itu sudah tertempel di otak. Celoteh kawan tak hanya sampai disitu, seringkali usai pertandingan saya dapatkan ejekan tingkat lanjut lewat pesan sms atau WA. Tentunya mereka sambil bercanda. " Tuh kan kalah, rasaiin, hahahaha! Lengkap sudah penderitaan ini, kata syair lagu anu.

Diledek karena suka pada timnas sepakbola sendiri---yang terstempel "minim trophy juara dan sering kalah daripada menang" tak pernah membuat saya marah atau berkecil hati. Tak pula saya berpaling mata dan hati. Tak pula bikin malu hati mengakuinya. Kenapa demikian? Saya sendiri tidak tahu pasti. Kalau dikatakan ini soal nasionalisme rasanya terlalu naif, hiperbolis, sentimentalis, melankolis, lebayis, atau apa lah. Nasionalisme tak hanya diukur dengan kecintaan pada timnas. Kalau begitu, apa? Bisakan didefenisikan?

Sebagai penggemar sepakbola, saya juga suka timnas sepakbola luar negeri. Tapi tak pernah begitu besar dibandingkan timnas Indonesia.

Saat masih aktif main bola di tingkat SD, kemudian masuk klub saat SMP hingga tingkat internal kampus juga mengidolakan sejumlah pemain luar seperti Mario Kempes-Daniel Passarela-Batistuta (timnas Argentina); Socrates-Zico-Rivaldo-Ronaldo (timnas Brazil); Franz Beckenbauer-Karl Keinz Rummenigge-Lothar Matahus-Jurgen Klinsman (timnas Jerman) ; Paolo Rossi-Baressi-Roberto Bagio-del Piero (timnas Italia), dan banyak lagi pemain lawas yang kini jadi legenda. Belakangan karena kesibukan dan faktor lainnya, saya tak terlalu hapal mati para pemain luar negeri masa kini karena tidak intensif mengikuti perkembangannya.

Mengidolakan timnas luar negeri tak pernah tetap. Ada masa menyukai timnas Jerman, kemudian Argentina, kemudian Italia. Namun untuk  timnas Indonesia tak pernah berubah sejak dulu. Hahaha! Masih ingat bagaimana permainan Dede Sulaiman, Hadi Ismanto, Bambang Nurdiansyah, Adof Kabo, Marzuki Nyak Mad, Ricky Yakob,  Widodo C Putro,  Kurniawan DJ, Bambang Pamungkas, Boaz Solossa, Evan Dimas hingga era Egy Maulana Vikri.  Perkembangan timnas selalu dikuti dengan membaca dan melihat pertadingan di televisi maupun langsung di stadion GBK (saat masih tinggal di Jakarta).

Para pemain idola luar negeri seperti hero dalam komik. Mereka seperti sosok dunia khayal, tak pernah bisa ditemui secara nyata. Berbeda dengan pemain idola "made in dalam negeri", mereka lebih nyata. Penampilan mereka bisa disaksikan langsung di stadion. Bahkan hingga saat ini, berdasarkan pengalaman,  bisa ketemu para legenda pemain timnas secara kebetulan di bandara, stasiun kereta api, mall dan lain-lain. Pemain kelas dunia yang pernah saya lihat permainannya secara langsung di stadion  hanya Mario Kempes saat memperkuat Pelita Jaya. Itupun dia bagai ban kempes. Sisa kejayaannya sudah hilang. Badannya tambun dan lamban, kalah jauh dengan permainan Kurniawan saat mereka satu tim.

gambar : Skuat Timnas yang menjuarai Sea Games 1987 dan 4 besar Asean Games 1986, sumber gambar ; http://fandom.id/wp-content/uploads/2015/03/timnas1987.jpg
gambar : Skuat Timnas yang menjuarai Sea Games 1987 dan 4 besar Asean Games 1986, sumber gambar ; http://fandom.id/wp-content/uploads/2015/03/timnas1987.jpg
Timnas adalah Kita

Ketika menyaksikan timnas sepakbola berlaga ada sensasi tersendiri berisi kegeraman, rasa gemes dan sebel, ada juga harapan, kekaguman dan lain sebagainya yang campur aduk. Ketika kalah, ada kegeraman, rasa kesal dan sesal yang mendalam, dan kecewa yang bikin uring-uringan. Ketika timnas menang, ada kebanggaan, kegembiraan dan kepuasan yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Kedua sisi itu relatif punya ruang istimewa di dalam hati yang memberi warna kehidupan pribadi.

Para pemain sepakbola nasional yang berlaga warna rambut dan kulit serta postur tubuhnya tak jauh beda dengan si anu teman kecil saya, si inu sodara saya, si ono mitra kerja saya, si ana yang baru kemarin kenalan di komunitas, si unu teman seperjuangan cari makan dengan saya. Para pemain itu bukan orang lain yang asing. Pada akhirnya seperti melihat diri sendiri diantara kawan-kawan, dan melihat kawan-kawan yang dekat dengan kita.

Saat menyaksikan para pemain itu berjuang di lapangan hijau seperti melihat banyak hal yang ada di lingkungan nyata kehidupan. Sensasi laga tersebut adalah sensasi perjuangan yang ada dilingkungan sekitar kita. Dari situ kita bisa melihat sebuah kompleksitas kekuatan tubuh, kecepatan, sikap dan emosi saat dalam tekanan, dalam menciptakan/memanfatkan peluang, dan dalam kegembiraan atas keberhasilan. Mereka ciptakan drama di lapangan, baik saat kalah maupun menang. Aura semua itu terasa begitu dekat dan lekat di keseharian kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun