Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Menelaah Pisau Bermata Dua "Om dan Tante" pada Closing Statement Ahok

11 Februari 2017   03:25 Diperbarui: 25 Februari 2017   08:00 11871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : http://assets.kompas.com/data/photo/2017/02/10/231535120170210-111348-7859-debat.ketiga-.cagub-.cawagub-.dki-.jakarta-.sampaikan-.visi-.misi-780x390.jpg

Debat Cagub DKI ke III berlangsung seru dan berimbang. Masing-masing Paslon Gubernur bertarung menampilkan kemampuan terbaiknya di akhir kebersamaan mereka di panggung debat resmi KPU. Pada kesempatan itu closing statement Ahok bikin publik tersentak di antara cagub Agus dan Anies yang tampil dengan bicara normatif dan sopan pada sesi penutup Debat Cagub Pilgub DKI.

Panggung debat terakhir itu sangat menentukan nasib mereka di hadapan para calon pemilih DKI. Apakah mereka bisa duduk di kursi gubernur DKI, atau kemudian berkarya di tempat lain? Selain itu berjuta mata rakyat Indonesia menonton dan menilai siapa sosok layak jadi contoh dari kepemimpinan Jakarta.

Ahok lagi-lagi bikin kaget banyak orang di akhir sesi itu. Saat mendapatkan giliran, dengan Jarot-calon wakilnya-maju ke tengah panggung membawa gulungan kertas ukuran A3. Ketika Jarot membuka dengan direntangkan di dadanya, ternyata gambar kawasan Kalijodo terkini. Ahok pun menjelaskan gambar itu dengan berkata :

Ini gambar orang pikir di luar negeri. Bukan! Ini Kalijodo, tempat dulu perempuan diperdagangkan (prostitusi), tempat narkoba diedarkan, tempat anak-anak dipekerjakan. Kami bukan menjual progran. Kami ubah jadi taman seperti ini. Ini kelas Internasional. Jadi memimpin Jakarta seperti hubungan orang tua dengan anak-anaknya. Kami mempunyai peraturan. Kami ingin anak-anak itu sehat dan dididik dengan baik, punya karater yang baik, punya budi pekerti yang baik, orang tua ingin anaknya berhasil.

Tapi tolonglah pasangan calon satu dan tiga yang ibarat Om dan Tante yang datang ke rumah,  dia pengen dapat simpati sama anak-anak kita lalu semua diboleh-bolehin. Dikasi 1M yang gak jelas, mau dikasi rumah yang murah padahal gak bisa dicicil aja gak mampu.......janganlah karena mau jadi gubernur ini ibarat Om sama Tante merusak aturan yang sudah dibuat oleh orang tua. Mendidik anak itu susah, membangun itu gampang, mendidik anak itu bertahun-tahun. Kami ingin warga Dki yang sudah kami didik dengan baik jangan dirusak gara-gara pengen jadi gubernur saja. Terimakasih.” (Isi lengkap pernyataan ketiga cagub di sini).

sumber gambar ; http://cdn1-a.production.images.static6.com/
sumber gambar ; http://cdn1-a.production.images.static6.com/
Muatan Pesan

Pernyataan singkat dalam closing statement Ahok tersebut sungguh tajam, menyasar ke akar masalah berikut pemecahannya, bikin gregetan banyak orang, serta menimbulkan beragam interpretasi dan membentuk aneka persepsi bagi publik. Di samping itu, ada informasi dan pesan multidimensi kepada publik akan sebuah penataan kawasan yang telah dia lakukan dalam masa pemerintahannya bersama Djarot.

Ada 4 hal yang termuat dalam pernyataan Ahok tersebut:

Pertama, dia menampilkan hasil penataan kawasan Kalijodo. Dulu kawasan tersebut merupakan kawasan campuran permukiman dan prostusi (pelacuran). Oleh Ahok kawasan itu tidak dipelihara dengan program tambahan melainkan diubah total secara fisik. Hasilnya berubah total, dari sebuah permukiman liar menjadi taman publik yang layak bagi semua lapisan masyarakat. Taman itu bertaraf internasional.

Kedua, penyampaian informasi bahwa dulu di Kalijodo ada kejahatan terhadap perempuan, narkoba dan anak-anak. Tak banyak orang luar yang mengetahui bahwa ada kehidupan yang kompleks di kawasan itu. Sebagian orang mungkin hanya tahu Kalijodo tempat pelacuran. Ada perempuan pekerja seks komersial dan lelaki hidung belang bertransaksi seks di tempat khusus.

Namun nyatanya, kehidupan kompleks itu melibatkan kehidupan keluarga setempat beserta anak-anaknya. Tak dapat dibayangkan bagaimana kelak perkembangan jiwa anak-anak itu di tengah “kehidupan orang dewasa yang liar dengan hasrat primitifnya”, ditambah lagi perusak lain yakni narkoba. Interaksi anak-anak tersebut dengan kehidupan orang dewasa dan narkoba terjadi disana secara langsung.

Ketiga, konsep Ahok/Djarot memimpin Jakarta ibarat 'keluarga inti' di mana ada relasi dekat antara orang tua dan anak-anak disertai aturan-aturan dalam keluarga dengan tujuan anak-anak menjadi orang baik dan berhasil hidupnya. Aturan dan kebijakan Ahok yang tegas “dalam keluarganya” (masyarakat DKI) itu sering ditanggapi banyak orang sebagai tindakan seorang pemimpin otoriter dan tidak humanis. Hal yang terlihat dan tersebar adalah Ahok merupakan sosok arogan, bukan bagaimana dia mendidik dan melindungi keluarganya untuk mempersiapkan masa depan. Pada closing statement tersebut Ahok telah menjelaskan semuanya secara lugas.

Ke empat, Ahok mengkritik tajam keluarga (Om dan Tante) yang bukan keluarga inti yang datang. Dia berharap "Om dan Tante" tersebut jangan memanjakan anak-anaknya dengan banyak hal permisif (semua dibolehkan) sehingga merusak tatanan yang sudah ada dalam keluarganya. Ahok pesan bahwa mendidik anak-anak itu tidak gampang dan butuh proses waktu.

Momen selfie setelah usai debat II sumber gambar ; https://akcdn.detik.net.id/
Momen selfie setelah usai debat II sumber gambar ; https://akcdn.detik.net.id/
Interpretasi dan Persepsi “Om dan Tante”

Poin ke empat merupakan pernyataan yang tajam dan menohok kedua pasangan cagub/cawagub kompetitor Ahok. Selama ini kedua kompetitornya itu banyak melakukan kritik tajam terhadap kebijakan keras Ahok/Djarot dalam mengelola Jakarta. Oleh sebagian publik, Ahok dianggap tidak berpihak terhadap kalangan bawah. Ahok dipersepsikan kerap melakukan "kekerasan verbal" pada anak-anaknya (anggota masyarakat DKI) selama memimpin Jakarta.

Interpretasi dan persepsi tersebut menjadi isu politis yang seksi untuk menohok Ahok secara pribadi. Oleh karenanya, kekerasan verbal pun tak luput diterima Ahok di banyak media dan ruang publik para kelompok yang anti kepemimpinannya. Bahkan di atas panggung debat pun Ahok dapatkan kekerasan verbal, yakni ketika secara halus Cawagub Silvy Murni mempertanyakan kelakuan Ahok memarahi perempuan. Cara Silvy itu menohok Ahok. Padalah sejatinya, isu politis “kekerasan verbal“ Ahok merupakan  interpretasi dan persepsi publik yang tidak perlu diangkat orang selevel cagub/cawagub di ruang publik. 

Mengapa demikian? Publik menilai (berinterpretasi) kelakukan Ahok sifatnya tidak komprehensif atau tidak melihat keseluruhan permasalahan kenapa itu terjadi. Bila semata lingkup-tingkatan interpretasi dan persepsi publik masih bisa dipahami. Aspek pragmatisme publik memang begitu. Sementara di sisi lain cara pandang akan hal tersebut harusnya beda di level sesama (calon) pemimpin.

Bila dikritisi balik, apakah Agus/Silvy dan Anies/Sandi tidak pernah melakukan “kekerasan verbal”-dalam hal ini marah-marah terhadap anak buahnya saat jadi pemimpin di tempat kerjanya terdahulu? Rasanya mustahil. Bisa jadi mereka pun marah-marah dan emosi atas kekeliruan anak buahnya bekerja, atau berkata sangat kasar dan keras terhadap mereka dengan tujuan mendidik. Bedanya dengan Ahok, mereka tidak terekspos di media. Marahnya meraka di internal lingkungan kantor. 

Hanya orang-orang kantor atau kesatuan ketentaraan mereka saja yang tahu (dan mengalami tekanan batin). Coba tanya pada Agus, di dunia ketentaraan apakah prajurit (anak buah) tidak pernah dibentak (bahkan ditempeleng) komandan? Rasanya mustahil. Saya tahu karena dulu pernah manjalani seleksi Akabri perwira karier tingkat sarjana. Heu heuheu...

Kekerasan verbal Ahok terekam media karena Ahok membuka semua kegiatannya/interaksinya dengan masyarakat. Di sisi lain sifat buruk Ahok yang tak bisa basa-basi, reaktif dan emosian, tak luwes berdiplomasi di depan kamera menambah stigma kekerasan verbal tersebut. Publik jadi tahu secara utuh tentang pemimpinnya. Lalu bagaimana para cagub/cawagub lain?  Bisa jadi mereka pun tak lebih baik dari Ahok, hanya saja mereka tidak terekspos kamera. Tapi hal itu tak mengurangi kenyataan sifat dan perilaku ‘kekerasan verbal” mereka, bukan?

asana keakraban ketiga pasang calon gubernur DKI usai debat ketiga II sumber gambar ; https://images.detik.com/
asana keakraban ketiga pasang calon gubernur DKI usai debat ketiga II sumber gambar ; https://images.detik.com/
Om dan Tante dalam Keluarga DKI

Ketika Ahok menyinggung kompetitornya soal program-program mereka yang memberikan banyak kemudahan bagi masyarakat DKI ; dana 1 M dan perumahan sangat murah/gratis(?), beruntunglah oleh Ahok kedua pasangan kompetitornya itu dianggap bukan orang asing yang tak jelas statusnya. Mereka bukan orang lain bagi Ahok dan anak-anaknya (masyarakat DKI) yang dibinanya selama ini. Bagi Ahok, keduanya adalah keluarganya juga, namun bukan keluarga inti. Oleh Ahok, pasangan Agus/Silvy dan Anies/Sandi diibaratkan "Om dan Tante" bagi anak-anaknya.

Hanya saja, "Om dan Tante" janganlah memanjakan anak-anak yang sudah berada dalam kultur keluarga yang dibentuk orang tua lamanya. Kalaupun nanti “Om dan Tante” menjadi orang tua asuh mereka, kultur itu tetap jangan dirusak dengan beragam kemanjaan yang bikin anak-anak tidak mandiri. Sejatinya “Om dan Tante” harus ingat bahwa kultur itu dibentuk orang tua lama sesuai aturan dan undang-undang. Pada konteks ini, “Om dan Tante” (Anies dan Agus bersama masing-masing pasangannya) harusnya sejak awal memahami.

Pada konteks semua itulah, interpretasi-persepsi para “Om dan Tante” sebagai sesama pemimpin harus berbeda dengan publik biasa. Para “Om dan Tante" tersebut sejatinya “tahu sama tahu”. Mereka harus bisa “main cantik” di level mereka sehingga tidak memunculkan kekerasan verbal satu sama lain.  Jangan memunculkannya di panggung terhadap sesama calon pemimpin karena hal itu justru  menjadikan mereka sangat telak sebagai pelaku "kekerasan verbal" tingkat elit yang bikin publik ilfil.

Debat ketiga telah berakhir. Dari kesemua Debat Cagub yang pernah dilakukan, nyatanya ketiga calon pemimpin Jakarta adalah “pelaku kekerasan verbal” bagi sesama mereka sebagai pemimpin. Dan pada akhir debat itu, Ahok telah melakukan kekekerasan verbal terhadap “Om dan Tante” secara telak namun manis.

Setelah acara Debat itu terserah masyarakat Jakarta memilih "pelaku kekerasan verbal" mana yang cocok buat mereka menuju masyarakat demokratis, maju dan terdepan di republik ini.

Selamat memilih.

---

Peb.11peb2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun