Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Menelaah Pisau Bermata Dua "Om dan Tante" pada Closing Statement Ahok

11 Februari 2017   03:25 Diperbarui: 25 Februari 2017   08:00 11871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : http://assets.kompas.com/data/photo/2017/02/10/231535120170210-111348-7859-debat.ketiga-.cagub-.cawagub-.dki-.jakarta-.sampaikan-.visi-.misi-780x390.jpg

Ketiga, konsep Ahok/Djarot memimpin Jakarta ibarat 'keluarga inti' di mana ada relasi dekat antara orang tua dan anak-anak disertai aturan-aturan dalam keluarga dengan tujuan anak-anak menjadi orang baik dan berhasil hidupnya. Aturan dan kebijakan Ahok yang tegas “dalam keluarganya” (masyarakat DKI) itu sering ditanggapi banyak orang sebagai tindakan seorang pemimpin otoriter dan tidak humanis. Hal yang terlihat dan tersebar adalah Ahok merupakan sosok arogan, bukan bagaimana dia mendidik dan melindungi keluarganya untuk mempersiapkan masa depan. Pada closing statement tersebut Ahok telah menjelaskan semuanya secara lugas.

Ke empat, Ahok mengkritik tajam keluarga (Om dan Tante) yang bukan keluarga inti yang datang. Dia berharap "Om dan Tante" tersebut jangan memanjakan anak-anaknya dengan banyak hal permisif (semua dibolehkan) sehingga merusak tatanan yang sudah ada dalam keluarganya. Ahok pesan bahwa mendidik anak-anak itu tidak gampang dan butuh proses waktu.

Momen selfie setelah usai debat II sumber gambar ; https://akcdn.detik.net.id/
Momen selfie setelah usai debat II sumber gambar ; https://akcdn.detik.net.id/
Interpretasi dan Persepsi “Om dan Tante”

Poin ke empat merupakan pernyataan yang tajam dan menohok kedua pasangan cagub/cawagub kompetitor Ahok. Selama ini kedua kompetitornya itu banyak melakukan kritik tajam terhadap kebijakan keras Ahok/Djarot dalam mengelola Jakarta. Oleh sebagian publik, Ahok dianggap tidak berpihak terhadap kalangan bawah. Ahok dipersepsikan kerap melakukan "kekerasan verbal" pada anak-anaknya (anggota masyarakat DKI) selama memimpin Jakarta.

Interpretasi dan persepsi tersebut menjadi isu politis yang seksi untuk menohok Ahok secara pribadi. Oleh karenanya, kekerasan verbal pun tak luput diterima Ahok di banyak media dan ruang publik para kelompok yang anti kepemimpinannya. Bahkan di atas panggung debat pun Ahok dapatkan kekerasan verbal, yakni ketika secara halus Cawagub Silvy Murni mempertanyakan kelakuan Ahok memarahi perempuan. Cara Silvy itu menohok Ahok. Padalah sejatinya, isu politis “kekerasan verbal“ Ahok merupakan  interpretasi dan persepsi publik yang tidak perlu diangkat orang selevel cagub/cawagub di ruang publik. 

Mengapa demikian? Publik menilai (berinterpretasi) kelakukan Ahok sifatnya tidak komprehensif atau tidak melihat keseluruhan permasalahan kenapa itu terjadi. Bila semata lingkup-tingkatan interpretasi dan persepsi publik masih bisa dipahami. Aspek pragmatisme publik memang begitu. Sementara di sisi lain cara pandang akan hal tersebut harusnya beda di level sesama (calon) pemimpin.

Bila dikritisi balik, apakah Agus/Silvy dan Anies/Sandi tidak pernah melakukan “kekerasan verbal”-dalam hal ini marah-marah terhadap anak buahnya saat jadi pemimpin di tempat kerjanya terdahulu? Rasanya mustahil. Bisa jadi mereka pun marah-marah dan emosi atas kekeliruan anak buahnya bekerja, atau berkata sangat kasar dan keras terhadap mereka dengan tujuan mendidik. Bedanya dengan Ahok, mereka tidak terekspos di media. Marahnya meraka di internal lingkungan kantor. 

Hanya orang-orang kantor atau kesatuan ketentaraan mereka saja yang tahu (dan mengalami tekanan batin). Coba tanya pada Agus, di dunia ketentaraan apakah prajurit (anak buah) tidak pernah dibentak (bahkan ditempeleng) komandan? Rasanya mustahil. Saya tahu karena dulu pernah manjalani seleksi Akabri perwira karier tingkat sarjana. Heu heuheu...

Kekerasan verbal Ahok terekam media karena Ahok membuka semua kegiatannya/interaksinya dengan masyarakat. Di sisi lain sifat buruk Ahok yang tak bisa basa-basi, reaktif dan emosian, tak luwes berdiplomasi di depan kamera menambah stigma kekerasan verbal tersebut. Publik jadi tahu secara utuh tentang pemimpinnya. Lalu bagaimana para cagub/cawagub lain?  Bisa jadi mereka pun tak lebih baik dari Ahok, hanya saja mereka tidak terekspos kamera. Tapi hal itu tak mengurangi kenyataan sifat dan perilaku ‘kekerasan verbal” mereka, bukan?

asana keakraban ketiga pasang calon gubernur DKI usai debat ketiga II sumber gambar ; https://images.detik.com/
asana keakraban ketiga pasang calon gubernur DKI usai debat ketiga II sumber gambar ; https://images.detik.com/
Om dan Tante dalam Keluarga DKI

Ketika Ahok menyinggung kompetitornya soal program-program mereka yang memberikan banyak kemudahan bagi masyarakat DKI ; dana 1 M dan perumahan sangat murah/gratis(?), beruntunglah oleh Ahok kedua pasangan kompetitornya itu dianggap bukan orang asing yang tak jelas statusnya. Mereka bukan orang lain bagi Ahok dan anak-anaknya (masyarakat DKI) yang dibinanya selama ini. Bagi Ahok, keduanya adalah keluarganya juga, namun bukan keluarga inti. Oleh Ahok, pasangan Agus/Silvy dan Anies/Sandi diibaratkan "Om dan Tante" bagi anak-anaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun