Mohon tunggu...
Gunawan S. Pati
Gunawan S. Pati Mohon Tunggu... Dosen - dosen

Penikmat buku dan pengamat pendidikan dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memaknai Salam Tempel Lebaran

17 Mei 2021   09:30 Diperbarui: 19 Mei 2021   17:46 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wisit (Sumber:freepik)

Menulis artikel salam tempel di hari-hari Idul Fitri memang sangat menarik, selain harus mampu memanfaatkan waktu dan juga harus pandai-pandai mengatur kegiatan. Artinya biasanya pada waktu hari Raya Idul Fitri banyak waktu untuk silahturahmi, saya biasanya memanfaatkan waktu luang ketika tidak ada tamu, demikian juga ketika saya akan pergi keluar rumah harus bisa memanfaatkan kesempatan untuk menulis meski hanya beberapa paragraph.

Apalagi temanya tentang salam tempel, mau-tidak mau saya harus merajut memori yang sudah terpendam cukup lama. Saya coba membandingkan salam tempel, bisa istilah lain seperti fitrah, angpo atau wisit (bahasa Jawa) masa kecilku dengan salam tempel masa kini generasi melenial. Dalam tulisan ini saya menggunakan istilah wisit.

Seperti keluarga yang lain pada masa itu tahun 1970 hari Raya Idul Fitri dirayakan di rumah kakek. Maklum tahu 1970 marupakan masa-masa pemulihan ekonomi setelah pembrontakan Gerakan 30 september 1965/G30S/PKI dan sering disebut Gestapu. Saat itu ekonomi betul-betul sulit akan beli beras atau minyak saja harus antri akibat terbatasnya jumalah barang yang tersedia. Setelah sholat Idul Fitri di rumah saya bersama ayah dan adik naik sepeda ke rumah kakek yang jaraknya kurang lebih 10 km, ibu dan yang masih kecil naik dokar atau andong merupakan  kereta yang ditarik kuda. Jangan bayangkan ada angkutan seperti bus atau kereta api, semua serba minim di kota tingkat kabupaten pada waktu itu.

Di kota tingkat kecamatan pada waktu itu hari raya Idul Fitri justru ramainya pada hari kedua dan pasar juga tutp pada hari raya Idul Fitri kedua bukan pertama. Biasanya keluarga besar kakek sudah kumpul pada hari raya Idul Fitri pertama sore hari, malamnya hanya bincang-bincang antar keluarga sampai tengah malam dan tidurnya seadanya beralas tikar di lantai. 

Pagi hari setelah mandi pakai baju dan sandal baru para tetangga seusia pada waktu itu saya kelas 5 SD berkumpul di depan rumah kakek  untuk bersilahturahmi ke tetangga sekitar. Silahturahmi dan saling memaafkan diawali dari tetangga yang paling tua dan orang-orang berpengaruh di sekitar tetangga biasanya guru atau kepala desa.

Biasanya orang-orang yang saya kunjungi selalu berkata, "Ini anaknya siapa, sekarang bapakmu di mana dan kerja apa, ini cucunya mbah Kerto- nama kakek saya ya?" Orang-orang di desa hubungannya sangat akrap dan harmonis, meski jarang ketemu mereka masih ingat orangtua saya dan nenek saya. Setelah duduk sambil makan kue seadanya dan salam-salaman, tuan rumah memberi wisit ketika rombongan saya akan pulang. Silahturahmi seperti itu berjalan pagi sampai siang menjelang sholat dzuhur dan setiap rumah yang ditatangi tidak semua memberi wisit. 

Wisit yang diberikan berupa uang pecahan logam Rp 1 atau Rp 5 tapi kalau dikumpulkan lumayan juga karena harga makanan zaman dulu murah, seperti bakso harganya Rp 200 dan makanan yang enak-enak paling Rp 100. Makanan seperti gulali-manisan yang terbuat dari gula merah dan ditaburi tepung dan arumanis-manisan yang terbuat dari gula yang bentuknya seperti rambut halus yang zaman dulu termasuk jajanan legendaris tetapi sekarang sudah mulai langka.

Oh ya ada istilah sangu dalam bahasa Jawa yang ada kaitannya dengan wisit yang artinya bekal biasanya diberikan pada waktu saudara akan pulang dan tidak selalu pada hari raya Idulfitri. Setelah pagi hari bersilahturahmi ke tetangga kakek, sorenya ada beberapa saudara yang akan pulang ke kotanya karena rumahnya cukup jauh, sebelum pulang mereka memberikan sangu sekaligus wisit kepada keponakan-keponakan dan berpesan untuk sekolah yang rajin serta jadilah anak  berbakti kepada orangtua serta petuah-petuah yang bermanfaat.

Budaya silahturahmi dengan lingkungan tetangga sudah mulai berkurang saat ini yang masih ada silahturahmi dengan tetangga kiri-kanan atau tetangga dekat. Apalagi saat ini masa pandemi Covid-19 silahturahmi sudah sesuatu yang langka karena pemerintah menyarankan silahturahmi lewat virtual atau lewat handphone (HP). 

Anak-anak zaman dulu memang hiburannya terbatas sehingga mereka hanya kumpul-kumpul dan bersilahturahmi ke tetangga tetapi sekarang anak-anak lebih senang bermain  handphone (HP) daripada berkunjung ke tetangga. Wisit sekarang hanya diberikan pada keluarga dekat dan dalam bentuuk amplop  berisi uang yang cukup lumayan nilai nominalnya bukan koin lagi seperti zaman dulu. Malah banyak anak-anak sekarang merasa malu menerima wisit, barangkali saja anak-anak sudah dicukupi kebutuhannya olah orangtua..

Nilai Moral dalam Wisit

Dalam setiap tindakan tentunya orang bisak menilai apakah tindakan itu ada nilai positif atau negatif, yang namanya sudut pandang atau perspektif tentunya hasil penilaiannya juga akan berbeda tergantung dari persepsi penilai. Demikian pula pemberian wisit juga dapat  bernilai positif maupun negatif. Pertama, saya memandang pemberian wisit memiliki nilai positif sepanjang bukan tujuan utama karena tujuan utama adalah silahturahmi dan saling memaafkan serta bersosialisasi dengan saudara dan tetangga. 

Pemberian wisit merupakan bentuk rasa syukur memiliki uang lebih dan perlu memberikan sedikit bantuan kepada orang lain. Bahkan ada orang yang rela menyisihkan sedikit uang untuk dikumpulkan dan dibagikan kepada anak-anak pada hari raya Idul Fitri. Tindakan seperti ini mencerminkan aktualisasi nilai sosial meski nilai uang yang diberikan tidak banyak tetapi bisa jadi merupakan peristiwa yang menyenangkan bagi anak-anak. Ketika anak-anak tumbuh dewasa dan menjadi orang yang berhasil  mereka  a  akan teringat wisit yang telah diterima. Akhirnya mereka juga akan memberi bantuan kepada orang lain sebagai bentuk realisasi nilai sosial.

Kedua, saya juga masih ingat ketika menerima wisit para orangtua selalu berpesan untuk ditabung wisitnya. Sandang dan pangan pada waktu tahun 1970 memang serba sulit, salah satu cara agar bisa bertahan hanya dengan berhemat. Tentunya cara menabung dulu dengan sekarang berbeda, semua wisit yang berbentuk koin atau uang logam dimasukkan ke celengan. 

Mungkin anak-anak sekarang belum begitu mengenal celengan zaman dulu. Celengan merupakan tempat uang  terbuat tanah liat yang dibakar bentuknya biasanya berupa ayam atau bentuk lain yang serupa. Setiap celengan ada lubangnya untuk memasukkan koin atau uang kertas, jika uang sudah penuh atau ada keperluan untuk mengambil uang celengan harus dipecah. Pada waktu itu setelah wisitnya dihitung kemudian dimasukkan ke celengan, setiap saat jika ada kelebihan uang jajan juga dimasukkan ke celengan. Biasanya celengan dipecah menjelang hari raya Idul Fitri untuk membeli pakain dan sandal baru, artinya menabung sudah hampir satu tahun.

Setelah saya cukup dewasa bisa menyimpulkan ada sesuatu yang baik dibalik pemberian wisit. Mendidik kita untuk memiliki sifat  membantu orang lain sebagai bentuk penanaman nilai sosial serta  budaya menabung sejak dini. Barangkali masih ada nilai-nilai positif dibalik pemberian wisit yang belum terungkat pada tulisan ini.   

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Pati, 17 Mei 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun