Mohon tunggu...
syafei aminulah mastiha
syafei aminulah mastiha Mohon Tunggu... pegawai negeri -

PNS, tinggal di Tanjungpandan, Kabupaten Belitung.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Selingkuh Akidah (13)

11 Oktober 2011   03:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:06 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dua pekan kemudian, pagi-pagi buta, sebuah sepeda motor meraung-raung melintasi jalan setapak menuju rumah terpencil di belakang perkampungan 77 kilometer di luar kota. Kek Kurap, yang sedang merawat senapang anginnya sambil menunggu anjing-anjingnya berebut makanan, berpaling sambil mempertajam mata. Dengan tas ransel bergayut di punggung, Edi datang mengendarai Harley Davidsonnya.

Menghentikan motor di depan rumah panggung lapuk itu dengan aksi tak sabaran, dia melempar tas ke beranda lalu melucuti pakaiannya hingga yang tinggal hanya celana dalam. Bangkit sambil menyingkirkan senapangnya, dengan jidat berlipat Kek Kurap mencermati noda di sekujur tubuh Edi.

Edi meradang.“Kakek lihat! Cupangan! Gigitan! Cakaran! Gila ndak?!”

Lelaki tua kurapan sekujur badan itu bungkam. Sambil mengitari Edi, dengan seksama dia mencermati tubuh cucu angkatnya itu. Lantas: “Kapan kejadiannya?”

“Semalam, Kek. Dan ini sudah yang kelima belas. Dan asal Kakek tahu, untuk menghilangkan noda-noda laknat ini, aku harus mandi air jenazah. Dan itu berarti, sampai hari ini, sudah empat belas kali aku mandi air jenazah. Mulai dari jenazah orang gantung diri, sampai jenazah orang lengket di kuburan! Bayangkan!”

Kek Kurap dapat memaklumi betapa tak sedapnya mandi air jenazah. Jijik, mual, dan juga bergidik. Apalagi jenazah orang gantung diri atau lengket di kuburan. Persoalannya: “Kenapa baru sekarang kau meradang?”

Edi menghela sengalan nafasnya lalu menjelaskan duduk perkaranya. “Tadinya kupikir aku bisa bertahan. Makanya aku bungkam. Anak-anak juga ndak kukasih tahu. Tapi sekarang aku sudah kewalahan. Janji seminggu sekali, nyatanya saban malam. Setiap dilayani, kemaluanku digigit-gigit, ditarik pakai gigi, seperti mau dicopoti. Akibatnya lecet-luka di sana-sini. Celakanya, Kek, cuma dia yang bisa ngobati. Akibatnya dia ndak bisa kuhindari. Lebih celaka lagi, setiap selesai kulayani, wujudnya berubah jadi tengkorak! Gimana aku ndak stress?!”

Sebenarnya Kek Kurap sudah bisa menujum apa maunya Edi. Tapi, karena sebelumnya dia sudah wanta-wanti mengingatkan kemungkinan datangnya bencana itu, dia merasa perlu memastikan kehendak miliarder togel itu. “Lantas, maunya kamu?”

Edi momohon setengah menangis. “Tolong Kek! Tolong selematkan aku! Aku ndak tahan lagi, Kek! Lama-lama aku mati berdiri!”

Kek Kurap menarif nafas panjang. “Sabar dulu, Edison. Aku kan sudah bilang, jangankan iblis, manusia pun kalau nanam jasa pasti ada maunya. Makanya aku wanta-wanti sama kamu, sanggup ndak kamu bayar hutang sama iblis. Kamu bilang sanggup sanggup sanggup sanggup sanggup! Makanya ilmu itu kukasih ke kamu. Biar iblis terpikat sama kamu. Mau memenuhi permintaan kamu. Lha sekarang kan permintaan kamu sudah dia penuhi. Tiga belas milyar, Edison! Dalam waktu kurang dari dua bulan, dengan modal hanya satu juta! Siapa yang mau ngasih tiga belas milyar? Inggris? Amerika? Iblis, Edison! Iblis! Wajar kalau dia minta upeti. Nah cuma, yang namanya iblis, ndak butuh duit. Apalagi iblisnya perempuan, masih gadis. Yang dia perlukan belalai kamu itu! Makanya dia gigit, dia tarik-tarik pakai gigi, mau dia copoti! Ya sudah! Tahankan! Itu resiko! Paling-paling putus! Putus beli baru! Bila perlu pesan langsung ke Amerika! Kamu pikir untuk apa dia ngasih kamu tiga belas milyar? Untuk itulah!”

Edi benar-benar tertekan. Kek Kurap tak mau tahu. “Jadi sudahlah,” sergahnya. “Jangan banyak keluhan. Bukan maunya orang, maunya kamu sendiri. Itulah akibat oka-oke ndak karuan. Sekarang rasakan akibatnya!”

Orang tua itu hengkang meninggalkan Edi. Edi memburunya, berlutut di kakinya, lalu merengek sambil terisak gombal. “Aku mohon, Kek! Aku ndak tahan lagi! Lama-lama aku gila! Gila, Kek! Gilaaaa!”

Edi pun terisak sesengukan di kaki orang tua itu. Kek Kurap seperti mau mengurut dada. “Itulah, cucuku. Makanya aku wanta-wanti sama kamu. Pikir dulu, Edison, pikir dulu. Ilmu ini sudah kudapat tiga puluh tahun yang lalu. Bukan minta sama orang, tapi dikasih langsung di dalam mimpi. Kenapa ndak kugunakan, Edison, karena aku ndak mau jadi budaknya iblis. Biarlah aku miskin, yang penting aku merdeka. Kamu masih nekat. Tahan berbulan-bulan nginap di sini. Sanggup dikubur hidup-hidup. Saking nekatnya mau jadi orang kaya. Sekarang, sudah jadi orang kaya, balik lagi ke sini merengek-rengek ndak tahan jadi budaknya iblis ….”

Edi hanya bisa pasang badan. Kek Kurap dibuat dongkol-dongkol prihatin. “Sudah! Bangun!” sergahnya kesal.

Edi bangun dengan muka belepotan air mata. Kek Kurap memutus, dengan telunjuk tertunding: “Aku ndak mau tahu gimana caranya! Sekarang kamu pulang, bersihkan badan kamu, obati kemaluan kamu! Kalau sudah beres, baru kamu ke sini!”

Edi ngebut ke kota. Tiba di rumah dia mengumpulkan Budi, Jayak, Epan dan Anton. “Ini guna air jenazah!” jelasnya getir. Karuan saja anak-anak itu terguncang. Terlebih ketika Edi memperlihatkan kemaluannya. “Astaga Bang! Sadis amat!” desis Budi.

“Belum. Belum sadis. Yang lebih sadis lagi obatnya: kerak hidung sama air ludah. Sadisnya, man, kerak hidung harus kerak hidung dia sendiri, air ludah ndak bisa air ludah orang lain! Kalau ndak barang ini akan korengan, borok, lalu putus pelahan-lahan!” jelas Edi setengah meradang.

“Dengan kata lain,” simpulnya, “ini bukan luka biasa, tapi luka jeratan. Kalau aku diam, sampai mampus aku jadi budak seksnya dia! Celakanya, man, setiap selesai kulayani, wujudnya berubah jadi tengkorak! Gimana aku ndak jantungan!”

Budi dan kawan-kawan dicekam ketakutan. Bisa mereka rasakan betapa tersiksanya Edi. Pantas belakangan dia sering nampak tertekan.

“Makanya tadi aku menghadap Kek Kurap,” sungut Edi. “Setelah kutangisi akhirnya dia bersedia membantu. Yang jadi masalah, luka jeratan ini harus dibereskan dulu. Pertanyaannya Budi: siapa yang bisa ngobati luka misterius ini ….?!”

Edi pun menumpahkan uneg-unegnya. “Makanya kalian kupanggil. Sudah saatnya kalian tahu problem yang kuhadapi. Syukur-syukur kalian bisa membantu. Minimal ngasih sumbang saran. Aku ndak tahan lagi. Lama-lama aku mati berdiri!”

Sesaat dicekam keprihatinan, akhirnya Budi berpaling ke Jayak — pribadi paling matang di antara mereka berempat. “Gimana Yak? Ke dokter, dukun, atau ….?”

“Sebentar dulu, Bud,” sahut Jayak risau. “Soal kemana itu gampang. Yang jadi masalah, setelah barang ini sembuh, Bang Edi mau kabur dan itu berarti memutuskan hubungan sepihak. Yang harus kita pikirkan akibatnya. Bukan ndak mungkin akibatnya lebih parah dari ini ….”

Edi melotot. Jayak memperjelas sikapnya. “Terus terang, aku bukan ndak prihatin melihat Bang Edi babak-belur begini. Yang jadi pikiranku kalau Amoi murka. Sekarang masih mending, cuma babak-belur. Besok-besok, kalau dia murka, bukan ndak mungkin Bang Edi pulang tinggal nama!”

Edi meradang. “Dengar Jayak! Aku lebih suka mampus sekalian daripada mati pelahan-lahan! Ngerti kalian?!”

Jayak menyahut tenang. “Bang. Kenapa harus mampus? Yang harus, cari selamat dengan cara yang aman. Dan itu bukan mustahil. Abang sudah intim dengan dia. Kurasa, kalau diajak ngomong dari hati ke hati ….”

“Dengar Jayak!” pekik Edi geram. “Hatinya ndak ada lagi! Yang tinggal cuma tenggkorak! Itu yang membedakan dia dengan Amoi yang kau incar di pecinan! Ngerti kau?!”

Edi pun mencak-mencak. “Enak benar kau ngomong dari hati ke hati. Kau pikir yang kita hadapi ini siapa? Kalau bisa diajak kompromi, aku ndak akan babak-belur begini! Janji seminggu sekali nyatanya saban malam. Setiap dilayani maunya sampai pagi. Lama-lama aku tinggal tulang! Kalian senang lihat aku jadi tengkorak?!”

Budi merasa perdebatan tak perlu diperpanjang lagi. Soalnya sudah jelas: yang punya badan sudah tak tahan. Terlepas apa akibatnya dikemudian hari. “Gimana Yak?”

Karena tak ingin melihat Edi jadi tengkorak,akhirnyaJayak kompromi. “Ya sudahlah kalau ndak ada pilihan lain. Kita ke dokter. Bila perlu langsung ke Jakarta. Biar jelas bisa dimedik apa ndak,” putusnya.

Tidak kepalang tanggung: pagi itu juga mereka terbang ke Jakarta, menemui dokter ahli kelamin lulusan Amerika yang buka praktek di bilangan Menteng. Setelah mendengar keluhan pasiennya dan memeriksa kemaluan Edi, dokter Bobby curiga Edi berbohong.

“Pertama-tama saya ucapin selamat kepada Pak Edi,” kelakarnya. “Terus terang, untuk ukuran Asia Tenggara, burung Bapak udah cukup merepotkan. Dibandingkan dengan punya teman kita di Timur Tengah atau Asia Selatan, selisih kurangnya cuma hitungan meli.”

Edi menyeringai. Budi, Jayak, Epan dan Anton, yang ikut masuk mendampingi, pada senyum simpul. Rupanya, Pak Dokter sependapat dengan mereka.

“Selanjutnya,” ujar Pak Dokter, “saya harus mengatakan Bapak udah ngebohongin saya. Tadi Bapak bilang Bapak abis lembur ama ABG. Kebetulan segelnya belum dibuka, dia gemes melihat burungnya Bapak, sehingga burung Bapak enggak cuma lecet di sana-sini, tapi juga menderita luka-gigit yang serius. Pak Edi, Bapak jangan ngaco! Saya ini dokter ahli kelamin lulusan Amerika! Soal daerah pribadi, sayalah orangnya! Serapat-rapatnya segel wanita, enggak akan melecetkan burungnya pria. Segemes-gemesnya wanita menggigit, luka yang timbul enggak akan separah luka gigit yang dialamin burungnya Bapak. Jadi, untuk menghindari salah diagnosa, saya minta Bapak terus terang ama saya: sebenarnya, peristiwa apa yang Bapak alamin semalam ….?”

“Peristiwanya emang benar, dokter. Yang ngaco ABGnya,” ralat Edi. “Dia bukan ABG, tapi udah dewasa. Bukan manusia biasa, tapi sejenis jin atau hantu.”

Dokter Bobby risau. “Pak Edi. Dengar ya. Saya ini dokter, bukan produser kisah misteri! Gimana mungkin saya percaya manusia bisa hubungan intim dengan jin atau hantu!”

“Emang sulit dipercaya, dokter. Sebelum dan selama peristiwa berlangsung, dia benar-benar manusia. Fisiknya, jiwanya, busananya, bahkan kosmetik sama asesorisnya, seratus persen manusia. Begitu peristiwa selesai, dia berubah jadi tenggkorak. Baunya busuk. Suaranya robotik. Serem ….”

“Sebentar. Bapak ketemu di mana ….?” usut dokter Bobby penasaran.

“Di jalan, dokter,” bual Edi. “Semalam kan saya ke kafe. Pas pulang tengah malam, lewat kuburan, tahu-tahu ada cewek mau numpang. Karena kasihan saya ajak. Entah gimana, lima belokan kami nyampai di rumah besar kayak istana. Dia maksa saya mampir. Ya saya bukan kiai, dokter. Masak iya malam-malam, dingin-dingin, diajak mampir sama cewek cakep, nolak ….?

“Terus ….?”

“Saya nggak tahu persis minuman apa yang dia kasih ke saya. Yang jelas, begitu saya minum, saya lupa diri. Terjadilah peristiwa itu, sampai dia berubah jadi tengkorak. Saya pingsan dan enggak ingat apa-apa lagi. Sadar-sadar saya sudah di kuburan ….”

“Kalau begitu ceritanya, Pak Edi,” ujar dokter Bobby, “Bapak salah alamat. Sampai saat ini, ilmu kedokteran modern belum mampu ngobatin lecet-luka akibat hubungan intim dengan jin atau hantu. Kalau Bapak mau, saya punya teman. Namanya Ustadz Sobirin. Beliau ahli pengobatan alternatif kelamin pria. Silahkan hubungi. Entar saya kasih alamatnya. Sekarang saya mau mastiin dulu: Bapak udah keluarga atau masih bujangan ….?”

“Bujang tulen, dokter. Kebetulan aja belum menikah,” jelas Edi merona.

“Kebetulan!” ujar dokter Bobby iyaiyanya. “Diminta atau enggak diminta, saya wajib ngingatin Pak Edi: yang namanya burung itu nyawanya kita! Makanya harus dijaga, jangan sampai bermasalah. Kalau sampai bermasalah, apalagi kena flu gara-gara gonta-ganti sangkar, celaka kita. Bisa-bisa mati merana. Nah kita,” kelakarnya, “sukanya terbalik. Kita lebih peduli ama seribu burung di pohon ketimbang satu burung di tangan. Piara burung ratusan sangkar. Mulai dari beo sampai burung hantu. Burung kita sendiri enggak dipeduliin.”

Pak Dokter pun cerita perihal salah seorang pasiennya. “Pak Edi tahu? Kemaren saya punya pasien bapak-bapak umur 47 tahun. Dia ada gejala prostat, datang ke saya. Begitu saya buka, na’udzubillahuminzalik! Burungnya udah kena parises, bulunya gondrong lagi kayak rambut seniman. Saya bilang, Bapak, kalau ada senggang tolong dong bulu burungnya dipangkasin. Disuruh ibu, kek. Dibawa ke salon, kek. Kan enak tuh. Rapi. Cakep. Enggak gerah lagi. Apa dia bilang?”

Dokter Bobby iyaiyanya mengutip pasiennya. “Waduuuh, nggak bisa, dokter. Ini rejeki sampingan saya. Saya ini pegawai negeri. Gaji udah abis dipotong bank. Kebetulan saya tinggal di dekat sungai. Di sana banyak udang kecil yang enak dijadiin pempek. Harganya lumayan mahal. Satu kaleng susu sampe sepuluh ribu. Makanya saya sering berendam di sana. Begitu saya naik ke darat, udang-udang pada nempel kirain ini sarangnya ….”

Budi, Jayak, Epan dan Anton cekikikan. Dokter Bobby senang tapi juga waswas: ternyata sindiran seksinya tak mampu mengocok perut Edi. Malah, merasa disindir, pasiennya itu merah padam lalu melontarkan ledekan gemas: “Dokter banyak juga ya ilmunya. Ya ilmu nyuntik, ya ilmu ngarang, ya ilmu nyindir ….”

Sementara Budi dan rekan-rekannya cekikikan nikmat, dokter Bobby buruan meluruskan. “Bukan nyindir …. Tapi ngingatin. Kalau ada senggang apa salahnya dirapiin. Bila perlu dicepak sekalian. Biar macho. Apalagi Pak Edi kan bujangan. Besok-besok mau nikah. Entar mau MP istrinya pada bingung: nih yang mana burung yang mana bulunya ya ….?”

Kelakar dokter Bobby membuat ”anak asuh” Edi cekikikan genit. Edi cengengesan lalu memutus, “Oke, dok. Terima kasih udah ngingatin. Sekarang lukanya dulu. Lukanya sembuh, baru bulunya dirapiin.”

“Ya udah. Silahkan hubungin Pak Sobirin. Mudah-mudahan beliau bisa bantu. Ini alamatnya,” ujar Pak Dokter sambil memberikan kartu alamat Ustadz Sobirin.

Dua jam kemudian mereka sudah sampai di rumah Ustadz Sobirin di Bekasi. Setelah mendengar keluhan dan keterangan pasiennya, terpaksa Pak Ustadz mengajak tamunya mencermati papan nama yang terpampang di halaman rumahnya.

“Jelas kan?” tegasnya. “Membesarkan yang kecil, memanjangkan yang pendek, menguatkan yang lemah, menghidupkan yang mati. Sampai saat ini, baru itu yang bisa saya praktekkan. Itu pun semata untuk nolong. Dengan pertimbangan, lima puluh persen keretakan rumah tangga bersumber dari sana. Ada yang terlalu kecil. Ada yang kelewat pendek. Ada yang loyo. Ada yang enggak berfungsi sama sekali. Nah saya, dengan cara saya sendiri, mencoba membantu. Dengan harapan, rumah tangga yang terancam retak, dapat diselamatkan. Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah, sembilan puluh persen pasien yang datang bisa saya bantu,” jelasnya.

Pak Ustadz pun cerita perihal salah seorang pasiennya. “Dik Edison tahu? Tempo hari saya dapat pasien Rambo. Badan besar tinggi. Otot kekar. Bulu badan kayak bulu siamang. Usut punya usut, tahunya dia kena musibah impoten. Saya desak akhirnya dia ngaku: dia kualat sama istrinya. Istrinya ratu setia, dia raja selingkuh. Saya tafakur. Datang petunjuk: obati pakek cabe giling! Bukan main! Jungkir balik! Persis ayam disembelih! Tapi cuma satu jam. Lewat satu jam, dia sembuh total. Sampai sekarang. Kemaren ketemu saya di toko buku. Saya tanya, gimana, masih perlu cabe giling? Dia bilang, enggak Pak Ustadz, cukup ….”

Ustadz Sobirin dan tamunya ketawa terkekeh. Edi hanya senyum kecut. Sebab sudah bisa dipastikan Pak Ustadz tak dapat membantunya. Dan itulah masalahnya: siapa lagi yang akan dia hubungi? Jin Tomang?

“Nah saya,” kelakar Pak Ustadz, “sebenarnya kepingin sekali bantu Dik Edison. Kalau bisa sembuh sekejap, kalau enggak ya bertahap. Nah cuma, masalahnya, ya itu tadi: sampai saat ini baru itu yang bisa saya praktekkan. Yang lain saya belum mampu. Apalagi ngobatin lecet-luka akibat hubungan intim dengan jin atau hantu.”

Sadar tamunya kecewa, Ustadz Sobirin memberi advis. “Nah cuma, kalau benar apa yang Dik Edison ceritain,” ujarnya, “saya sepertinya yakin, ini luka jeratan. Artinya, cuma dia yang bisa ngobatin. Ya udah. Nggak usah pusing. Dekatin, rayu, suruh dia yang ngobatin. Setelah itu bisa-bisa Dik Edison menghindar. Masak iya manusia kalah siasat sama iblis?”

Terpacak bungkam di situ, pelahan-lahan mata Edi menajam. Benar juga, pikirnya. Masak iya manusia kalah siasat sama iblis? Bukankah kelebihan manusia terletak pada akalnya?

Buruan balik ke Cengkareng, mereka mengejar pesawat sore. Kembali ke habitatnya, Edi sibuk mengatur siasat. Targetnya, malam itu juga, dia bebas dari jeratan. Paling sial, malam itu malam terakhir dia diperbudak. Esok-lusa 100 persen merdeka.

BERSAMBUNG

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun