Mohon tunggu...
Paulus Teguh Kurniawan
Paulus Teguh Kurniawan Mohon Tunggu... Akuntan - Akuntan

Alumni Master of Science in Finance dari University of Edinburgh, Inggris Raya. Fasih bicara bahasa Inggris dan Mandarin. Saat ini bekerja sebagai akuntan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kasus Pencatutan Nama Presiden: Siapa yang Salah?

3 Desember 2015   20:32 Diperbarui: 3 Desember 2015   21:03 1625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isu mengenai pencatutan nama Presiden oleh ketua DPR Setya Novanto mungkin merupakan isu yang paling hangat dibicarakan saat ini. Bahkan teman-teman saya yang biasanya tidak peduli pada dunia politik pun ikut tertarik dan sering membicarakan isu ini. Saya sendiri juga rajin mengikuti perkembangannya di 2 media internet, yaitu kompas.com dan detik.com . Saya juga terkadang mengamati tren isu ini di media sosial, yaitu facebook dan twitter.

Satu hal yang menarik perhatian saya tentunya merupakan begitu banyaknya para netizen yang menghujat Setya Novanto. Bahkan bukan hanya SN saja yang dihujat; para politisi yang berusaha membela SN maupun para anggota MKD yang terkesan berusaha melindungi SN pun tidak luput menjadi sasaran hujatan. Setiap kali muncul berita pembelaan terhadap SN di berita internet, lihatlah kolom komentarnya, pasti langsung dibanjiri hujatan para netizen. Di media sosial pun muncul meme-meme lucu yang menyindir SN maupun para pembelanya.

Dari pengamatan saya sejauh ini, saya melihat bahwa banyak rakyat yang semakin muak terhadap DPR. Rasa muak tersebut juga menjadi semakin parah akibat berita mengenai DPR yang berusaha menunda-nunda pemilihan calon pimpinan KPK, dan juga berusaha merevisi UU KPK yang konon tujuannya untuk melemahkan KPK.

Dan bagaimanapun orang melihatnya, terlihat jelas bahwa para anggota DPR seringkali menggunakan argumen-argumen yang konyol dan sepenuhnya nonsense untuk membela Novanto, untuk menunda-nunda pemilihan calon pimpinan KPK, dan untuk merevisi UU KPK. Contohnya antara lain: menuduh perekaman pembicaraan SN merupakan penyadapan yang melanggar hukum, mengatakan bahwa pimpinan KPK harus berisi unsur kejaksaan, dsb. 

Para netizen begitu sering menghujat-hujat DPR, bahkan ada yang menuntut supaya DPR dibubarkan saja, dan sebagainya. Ada yang mengatakan bahwa SN seharusnya merasa malu, seperti di negara-negara lain, di mana para pemimpinnya langsung merasa malu hingga mengundurkan diri atau bahkan bunuh diri apabila terjerat skandal. 

Saya setuju bahwa para anggota DPR kita sepertinya sudah benar-benar tidak punya rasa malu. Bukan hanya SN, namun semuanya juga. Bagaimana mungkin para anggota MKD DPR bisa terang-terangan menunjukkan dirinya tidak netral dalam sidang MKD yang terbuka dan diliput seluruh rakyat? Bagaimana mungkin mereka berani terang-terangan terus menggunakan argumen-argumen konyol yang sebenarnya sudah menjadi bahan meme sindiran seluruh rakyat di media sosial?


Namun, kepada seluruh rakyat, saya mengajak saat ini sebaiknya introspeksi diri saja.

Sebenarnya yang tidak punya malu lagi bukan hanya DPR kita, bukan hanya para politisi kita. Sebenarnya seluruh rakyat Indonesia ini sepertinya sudah tidak punya malu juga kok.

Pikirkanlah baik-baik: para politisi kita bisa menduduki kursi DPR dikarenakan rakyat lah yang memilih mereka dalam pileg. Kenapa para mafia, para koruptor, para pembela mafia itu bisa memenuhi gedung DPR kita? Karena kita inilah yang telah memilih mereka. Jika kita menuntut mereka merasa malu tatkala mereka terjerat skandal, seharusnya kita pun juga malu karena memilih mereka. Kenyataannya, adakah di antara kita yang sadar diri dan merasa malu?

Kita semualah yang telah memilih mereka menjadi wakil kita, wakil rakyat. Tatkala mereka justru berbuat menyeleweng seperti sekarang, seharusnya kita semua merasa malu. Bagaimana mungkin kita telah memilih orang-orang seperti mereka ini dalam pileg? Saya sendiri tidak memilih calon tertentu dalam pileg 2014 yang lalu; saya hanya mencoblos partai yaitu Gerindra, dan saya teramat malu saat ini atas pilihan saya tersebut. Harus saya akui saya telah tertipu oleh pencitraan Gerindra karena saya kira mereka baik, berani mengusung Ahok dan Ridwan Kamil dalam pilkada; lebih lengkap mengenai hal ini bisa anda baca dalam artikel-artikel yang saya tulis di masa pilkada 2014 yang lalu. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Indonesia, kunci utama memenangi pileg adalah serangan fajar alias bagi-bagi duit. Ironisnya, rakyat sendiri seringkali malah merasa senang dengan hal ini; bahkan saya pernah mendengar ada daerah yang terang-terangan memasang banner "kami siap menerima serangan fajar". Saya pernah dengar juga ada masyarakat yang saat melihat caleg akan kampanye, malah mengatakan pada caleg tersebut "langsung serangan fajarnya saja pak". Yah, kita sering menuntut para politisi kita untuk malu apabila berbuat korupsi atau menerima suap, namun kita sendiri tidak merasa malu saat menerima suap pilkada seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun