Abstrak
Paulus Laratmase: Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji esai "Nenengisme di Antara Budaya Omon-Omon" karya Novita Sari Yahya dengan pendekatan teori kekuasaan dan resistensi Michel Foucault. Dalam tulisan tersebut, gerakan perempuan akar rumput yang digambarkan melalui tokoh fiktif atau simbolik 'Neneng' dibenturkan dengan konstruksi negara atas perempuan dalam bentuk ibuisme dan retorika elite. Foucault, melalui gagasan tentang wacana, tubuh, dan resistensi, memberikan pisau analisis kritis terhadap bagaimana tubuh dan suara perempuan dikonstruksi dalam relasi kekuasaan. Kajian ini menunjukkan bahwa Nenengisme adalah bentuk mikro-resistensi terhadap dominasi simbolik dan struktural yang dilegitimasi melalui bahasa, institusi, dan seremonialisme negara.
Kata Kunci:Â Nenengisme, Michel Foucault, kekuasaan, resistensi, ibuisme negara, wacana, tubuh perempuan
I. Pendahuluan
Relasi antara perempuan dan kekuasaan dalam ruang sosial-politik Indonesia tidak terlepas dari konstruksi simbolik yang terus diproduksi oleh negara dan budaya. Dalam tulisannya, Novita Sari Yahya menyajikan kritik tajam terhadap "budaya omon-omon" dan ibuisme negara, serta menghadirkan alternatif gerakan perempuan melalui figur Neneng. Tulisan ini menarik untuk dianalisis dengan pendekatan filsafat sosial, khususnya pemikiran Michel Foucault tentang tubuh, wacana, dan resistensi. Foucault menegaskan bahwa kekuasaan tidak selalu bersifat represif, tetapi produktif. Ia menghasilkan kategori, norma, dan subjek. Dalam konteks ini, perempuan tidak hanya menjadi objek kekuasaan tetapi juga subjek resistensi.
II. Kajian Literatur
1. Foucault tentang Kekuasaan dan Wacana
MichelFoucault dalam The History of Sexuality, Volume1: An Introduction (terbitan Amerika: Vintage Books, 1978; aslinya 1976) menyatakan bahwa kekuasaan bukan hanya soal larangan, tetapi juga memproduksi wacana  menentukan siapa boleh berbicara, apa yang dibicarakan, dan dalam bentuk apa diskursus itu berlangsung warwick.ac.ukbpb-us-e1.wpmucdn.com. Ia menantang hipotesis represi yang populer dengan menunjukkan bahwa justru sejak abad ke-17 terjadi ledakan wacana tentang seks, bukan penyapuan sunyi; represi seksual adalah konstruksi bahwa "seks dibungkam", padahal sebenarnya dibicarakan dalam kerangka kontrol yang sangat sistematis warwick.ac.ukbpb-us-e1.wpmucdn.com.
Foucault memaparkan bahwa kontrol tubuh dan seksualitas beroperasi melalui mekanisme powerknowledge, yakni hubungan diawasi antara kekuasaan dan produksi pengetahuan, bukan sekadar pengekangan fisik bpb-us-e1.wpmucdn.comCourse Materials. Ia menekankan bahwa wacana sejarah telah diproduksi oleh institusi seperti gereja, psikiatri, sekolah, dan negara untuk membentuk subjek seksual sesuai dengan norma-birokrasi modern bpb-us-e1.wpmucdn.comCourse Materials. Membaca wacana ini berarti memahami bagaimana kekuasaan memetakan apa yang boleh dan tidak boleh diucapkan.
Dalam diskursus ini, penyerapan wacana confession (pengakuan) sebagai teknik kontrol menjadi signifikan: individu dipaksa berbicara tentang dirinya kepada otoritas, yang menciptakan data wacana dan memberi kekuasaan alat untuk mengatur tubuh dan identitas warwick.ac.ukbpb-us-e1.wpmucdn.com. Dengan demikian, kekuasaan tidak hanya berdialektika pada kekerasan fisik, tetapi produktif dalam mencipta norma-norma wacana. Wacana menjadi medan perang di mana subjek dibentuk dan resistensi dicoba diredam.
Kesimpulannya, Foucault (1978) memperluas gagasan kekuasaan sebagai disiplin produktif yang bekerja lewat wacana, bukan hanya larangan. Wacana menentukan batas-batas berbicara dan pemikiran yang sah, serta mengarahkan tubuh sesuai estetika kekuasaan modern, penjelasan ini memberi dasar teori untuk memahami bagaimana represifitas simbolik muncul melalui bahasa dan kontrol diskursif.