Namun Neneng menolak tunduk pada aturan ini. Ia berbicara bukan karena diberi izin, tetapi karena merasa perlu. Suaranya bukan hasil delegasi dari elite, tetapi lahir dari pengalaman langsung sebagai perempuan tertindas. Di sinilah resistensi terjadi: saat suara yang mestinya dibungkam justru menjadi narasi tandingan.
4. Nenengisme sebagai Politik Tubuh dan Suara
Politik dalam pengertian Foucault bukan hanya soal lembaga negara atau pemilu, tapi juga relasi kuasa dalam keseharian, termasuk bagaimana tubuh digerakkan, suara diatur, dan makna diproduksi. Dalam tulisan Yahya, Neneng bukan hanya simbol resistensi struktural, tetapi juga resistensi terhadap normalisasi tubuh dan suara.
Ia berbicara dengan logat lokal, berpakaian seadanya, hadir di ruang publik tanpa kosmetika politik. Di situlah resistensi tubuh dan suara terjadi. Neneng merebut ruang yang selama ini diduduki oleh representasi perempuan elite, dan dalam proses itu, ia menantang struktur representasi itu sendiri.
5. Bahasa dan Kekuasaan: Menafsirkan Kembali Identitas Perempuan
Bahasa yang digunakan dalam budaya omon-omon cenderung eufemistis, menghindari konflik, dan penuh dengan basa-basi simbolik. Bahasa ini memproduksi kenyamanan palsu, menyembunyikan konflik sosial dan ketimpangan gender. Nenengisme hadir sebagai wacana kontra, yang berbicara blak-blakan, menyebut masalah dengan istilah langsung, bahkan kasar, sebagai strategi mengguncang dominasi simbolik.
Dengan demikian, Nenengisme tidak hanya menyasar struktur kekuasaan, tetapi juga menafsirkan kembali identitas perempuan dari bawah. Perempuan tidak lagi sekadar "pendamping", "pengayom", atau "penjaga moral", tetapi subjek politik yang sah, dengan bahasa, tubuh, dan kepentingannya sendiri.
IV. Kesimpulan
Melalui perspektif Michel Foucault, tulisan ini menunjukkan bahwa Nenengisme merupakan bentuk mikro-resistensi terhadap konstruksi simbolik perempuan dalam budaya negara dan masyarakat patriarkal. Tokoh Neneng bukan hanya representasi perempuan kelas bawah, melainkan simbol dari tubuh yang menolak ditertibkan dan suara yang menolak dibungkam. Dalam medan kuasa yang sarat dengan ibuisme, omon-omon, dan estetika kekuasaan, Nenengisme menegaskan bahwa kekuasaan selalu diiringi oleh resistensi dan bahwa tubuh perempuan, yang selama ini jadi objek kontrol, bisa menjadi locus pembebasan.
Foucault membantu kita membaca bagaimana tubuh, wacana, dan kekuasaan saling terkait, dan bagaimana gerakan-gerakan kecil seperti Nenengisme menyusun politik alternatif yang subversif namun signifikan. Di tengah budaya seremoni dan simbolisasi, suara perempuan seperti Neneng menjadi penting sebagai bentuk penegasan bahwa perempuan bukan hanya pelengkap panggung kuasa, melainkan pelaku sejarah.
V. Naskah Lengkap Karya Novita Sari Yahya: "Nenengisme di Antara Budaya Omon-Omon"