Mohon tunggu...
Paulus Tukan
Paulus Tukan Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Pemerhati Pendidikan

Mengajar di SMA dan SMK Fransiskus 1 Jakarta Timur; Penulis buku pelajaran Bahasa Indonesia "Mahir Berbahasa Indonesia untuk SMA", Yudhistira.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Tua Itu Mudah, tapi Menjadi Muda Itu Sulit, Benarkah?

12 Mei 2020   20:47 Diperbarui: 12 Mei 2020   20:38 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lenterainspiratif.com

Baru lima tahun. Saya kaget ketika berpapasan dengan Budiono (bukan nama asli), teman sekelas dulu ketika kuliah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pagi itu, sekitar pukul 06.00 tanpa sengaja kami bertemu di halte bus Bulak Kapal, Bekasi, Jawa Barat.  Ternyata kami satu tujuan, ke Jakarta Pusat, daerah Senen. 

Ya, kaget, karena baru lima tahun berpisah, rambut di kepalanya sudah memutih. Rupanya dia membaca perasaanku, karena sambil berjabat tangan, mata saya tetap memandang bagian teratas badannya itu. "Paul, kamu, kok, tetap seperti lima tahun lalu!" Ketus Budiono. "Ah, masak, sih!"

Itu sekadar contoh bahwa menjadi tua itu mudah. Berbeda dengan menjadikan tua, seperti pemeran dalam sinetron atau drama. Menjadi tua adalah proses alami, sebaliknya menjadikan tua adalah proses buatan. Meskipun menjadi tua merupakan proses alami, orang seringkali tidak menerimanya. 

Ia berusaha untuk memanipulasi proses alami itu dengan mendandani dirinya agar tampak muda dengan mengitamkan rambut, memakai wig, atau mengenakan pakaian bercorak anak muda, dan lain-lain. Maka, tidak mengherankan, adanya peribahasa "Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi".

Coba kita perhatikan perilaku air. Air selalu berpindah mengikuti alurnya. Air selalu mengalir pada jalannya, yaitu menuju tempat yang rendah. Air tidak pernah dan tak akan pernah berbalik arah melawan alurnya. Dengan tenang air mengalir. Air akan beriak, akan bergemercik jika ia tersandung dengan batu atau kayu dalam perjalanannya.

Begitu halnya siklus hidup kita. Dalam waktu kita menjalani hari-hari hidup kita. Bahwa kita menjadi janin, menjadi bayi, menjadi kanak-kanak, menjadi remaja, menjadi dewasa, dan menjadi tua sudah merupakan waktu yang harus kita lalui. Akan tetapi, "si tua-tua keladi" tidak berahabat dengan siklus ini. Ia berusaha menahan waktu tuanya agak tampak muda. Padahal, di dalamnya, kodrat tuanya terus mengalir di dalam dirinya, merambat pada darah, nadi dan pada  hingga memuntahkan bom waktu. 

Melalui fenomena di atas, saya ingin menyampaikan bebarapa pemikiran. Pertama, hal menerima diri. Bahwa seseorang sudah tua tapi berdandan agar tanpak muda hanyalah contoh sikap tidak menerima diri. Menerima diri berarti dengan percaya diri mengatakan kepada orang lain, kepada dunia bahwa "memang saya sudah tua". Ia menerima konsekuensi ini. Ia selalu menyadari kelebihan dan kekurangan, keunggulan dan kelemahan. Dengan begitu, sebagaimana hukum sebab-akibat, ia pun secara sadar menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.

Kedua, hal takut mati. Sebagi suatu siklus, tidak ada satu manusia pun yang tidak mati. Hidup manusia harus berakhir pada suatu saat. Kapan itu akan berakhir, hanya Tuhanlah yang tahu, karena dialah yang mempunyai kehidupan ini. Mengapa seseorang takut mati? Mengapa pula ketakutan ini membayang-bayangi seseorang yang mencapai usia pensiun? 

Ketakutan ini disebabkan oleh cara pandang yang terbalik. Ketakutan akan menjadi suatu kegembiraan kalau adanya kesadaran bahwa Yang Empunya hidup telah berkenan memberikan dia umur yang panjang; menganugerahi dia kesempatan selama 65 tahun untuk hidup dan berkarya, menikmati kegembiraan serta cinta dalam keluarga. Kegembiraan melahirkan rasa syukur, dan menerima keadaan tua dan selalu siap menghadapi kematian yang datangnya bagai pencuri di tengah malam yang gulita.

Ketiga, hal dihargai. Kita tentu masih ingat kata pepatah "Apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai". Perbuatan kita pasti ada konsekuensinya. Seseorang yang menerima diri apa adanya akan berdampak pula pada orang lain. Seseorang yang menerima diri bahwa ia sudah tua membuka peluang bagi orang lain untuk menghargainya sebagai orang tua, atau orang yang dituakan. Sebaliknya, orang akan mencibirkan bibir, bahkan akan mem-bully-nya jika ia masih dipandang "tua-tua keladi".

Keempat, menjadi muda. Bahwa seseorang itu lahir, besar, tua lalu mati adalah suatu siklus hidup yang tidak bisa ditolak. Tetapi, menjadi muda setelah tua itu mustahil. Ia tidak bisa menjungkirbalikkan waktu. Seperti air yang tidak mempunyai kuasa untuk berbalik arah menuju ke tempat yang lebih tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun