Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

MA dan KA, antara Kemauan dan Keengganan Berubah dan Bebenah

24 Mei 2016   15:35 Diperbarui: 24 Mei 2016   15:39 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kita masih ingat beberapa waktu lalu kalau menjelang mudik begini telah stres membayangkan kereta api. Penumpang saling berebut, naik lewat jendela, bahkan ada ironi yang dikedepankan kala itu, mengusung gerbong sapu jagad yang tidak ada bangku, lampu, dan pokoknya kotak sabun yang penting bisa mengangkut penumpang. Kereta lokal juga tidak jauh berbeda. Naik di atap, jatuh karena tersengat listrik, jatuh karena terpeleset masih saja bangga dan tidak ada pembenahan. Itu semua sudah berubah.

MA, kasus demi kasus diungkap bahkan disinyalir ada hingga petinggi di dalam MA sendiri. Satu katapun belum ada pernyataan dari pejabat teras MA untuk mau berbuat bagi perbaikan kinerja mereka. Bagaimana sopir MA bisa memiliki rumah dengan harga tanah per meternya 35 juta. Sopir saja bisa mendapatkan kekayaan sebegitu besar, bagaimana pimpinan? Apakah berlebihan? Tidak.

Keinginan berubah itu harus ada dulu. Pimpinan dulu, baru virus kebaikan ditularkan dari atas ke bawah. Sebanarnya tidak susah untuk berubah. Apa yang dibutuhkan adalah kehendak baik dulu.Visi ke depan tanpa pamrih dan mau berusaha. Halangan, tentangan, dan penolakan akan terjadi. wajar karena telah nyaman dengan pola amburadul yang akan diubah, banyak yang tidak mau tentunya. Kita bisa melihat bagaimana waktu kereta mau ditertibkan? Calon ngamuk, membuat cerita-cerita menakutkan, nyata? Semua bisa selesai. Ketegasan akan visi,kalau mau menegakkan aturan ya mau tidak mau harus tegas. Dulu kereta penuh dengan pedagang dan mau ditertibkan datang jual derita dengan mengatakan ke mana kami mengais rezeki? Sekarang tidak ada sama sekali dan tetap bisa berjalan bukan? Tujuan utama jangan dikalahkan oleh kepentingan sepihak. Keberanian keluar dari zona nyaman,pemimpin kita cenderung suka cari aman, tidak mau susah, wong bisa jalan ngapain harus repot-repot, dan itu yang membuat semrawutnya dan banyaknya kasus di Indonesia. Gebrakan untuk menertibkan kereta api bukan tanpa gejolak, sekarang hampir ideal, masuk di area keberangkatan teratur, tidak ada lagi penumpang berjejal, penjualan tiket yang makin terkelola dengan baik, manusiawi, berpendingin udara. Itu terobosan yang tidak mudah namun bisa.

Mahkamah Agung,namanya agung namun perilakunya masih jauh dari membanggakan. Bagaimana mereka sepertinya tidak ada kehendak baik untuk memperbaiki diri. OJK telah mengadakan penyelidikan dengan merekam bagaimana  kerja calo di pengadilan-pengadilan negeri, mereka diam saja. Ternyata diam itu emas bagi mereka jauh lebih penting. Nyatanya tidak ada perubahan, ketika hari ini KPK menangkap basah salah satu ketuan PN di bengkulu sedang bertraksaksi. Mengapa mereka diam saja? Apakah malu karena juga melakukan? Indikasi ini lebih realistis, sehingga mereka tidak berani mengatakan apapun dengan paradigma diam itu emas itu. Benar bahwa beberapa hakim agung MA mengeluarkan gebrakan luar biasa. Namun itu hanya pribadi per pribadi, bukan sebagai sebuah sistem dan lembaga. Pucuk pimpinan sangat besar peranannya. Kasihan kinerja anak buah yang baik tereliminir oleh pimpinan yang berpotensi memiliki kepentingan. Sebenarnya kesulitan di MA lebih sederhana dari pada soal KA. Bagaimana KA berhadapan dengan rakyat, yang terbatas pula akses untuk mendapatkan nasi, namun keberanian menegakan aturan menjadi pembeda. MA berhadapan dengan orang rakus dan mental kere, kalau KA berhadapan langsung dengan rakyat yang memang tidak berdaya. Rakyat para bakul sega pecel saja rela demi kebaikan bersama, KA yang lebih layak, eh malah pejabat MA dan jajarannya yang kaya raya masih saja ingin maling terus.

Bakul Nasi Pecel dan Hakim yang Mulia

MA harus berhenti berwacana sedang ada penyelidikan intern, sudah banyak hakim yang diskors ataupun dipecat, selalu saja demikian yang menjadi pengulangan yang tidak pernah berubah. Stop. Berkacalah pada bakul kopi, nasi pecel di kereta yang mereka tahu bahwa  mereka memang tidak berhak dan itu melanggar hak orang lain, mereka dengan berat hati mau mundur kog. Eh lha ini pejabat sudah mendapat gaji besar, remunerasi bejibun, masih maling dan malak. Bagaimana mobil kelas mewah masih nerima suap dan jual hukum demi kepentingan sendiri. Kapan semua ini akan berakhir?

Keberanian mengakui ada persoalan untuk mengadakan perubahan. Ini mendesak, tidak bisa ditunda lagi, kalau mau berubah dan bebenah bukan malah makin berulah. Katakan cukup dengan pendapatan dan kalau mau uang tidak berseri jadilah pengusaha namun yang bernurani bukan jual pasal dan hukum demi uang. Status Wakil Tuhan di dunia sama sekali tidak kelihatan ketika buta nurani dan malah memihak pada uang.

Hakim-hakim baik, jangan takut dan khawatir akan menjadi miskin. Mungkin saja tidak mewah dipandangan materi dan dunia, namun hakim yang kaya akan tanggung jawab dan bekal di kehidupan kelak.

salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun