Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Buruh, Demo, Tenaga Asing, dan TKI di Malaysia

1 Mei 2016   17:13 Diperbarui: 1 Mei 2016   17:18 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Selamat Hari Buruh

Gegap gempita satu Mei, lebih terfokus pada demo, bukan pada buruh itu sendiri. Mobilisasi yang  terus menerus setiap tahun baik setelah resmi dijadikan hari buruh ataupun masa lalu, kala masih belum diresmikan oleh negara. Jangan-jangan nanti malah dikenal satu Mei sebagai hari demo bukan hari Buruh lagi.

Demo buruh biasanya terpusat pada keinginan peningkatan kesejahteraan. Lumayan tahun ini isu soal upah itu tidak seheboh dan seekstrem yang lalu-lalu. Seperti minta uang mesin cuci, uang pulsa, uang koran, dan sejenisnya yang tidak mendesak untuk diperhatikan. Mengapa tidak mendesak, jauh lebih banyak hal yang masih diabaikan dan belum terpenuhi. Misalpun hitam di atas putih dinyatakan sepakat soal uang tadi, hampir bisa dipastikan tidak ada realisasi.

Gaya hidup pengusaha dan buruh. Buruh itu mitra yang sepantasnya sejajar, memang utopis, namun ketika kemanusiaan yang hadir, tentu pengusaha akan memperlakukan buruhnya dengan sepantasnya. Mengapa sekarang ini buruh tidak merasa memiliki perusahaan? Pertama, pengusaha berlaku sebagai bos, yang memiliki semuanya. Jika tidak suka pergi saja mengapa di sini. Gap yang sangat besar, sehingga buruh hanya melakukan kerja layaknya mesin. Tidak merasa menjadi bagian utuh. Kedua, buruh disamakan dengan mesin, bayar suka-suka, kalau tidak suka yang sudah pergi sana. Ini milikku, terserah aku. Ada kerusakan, ada masalah, biar saja toh yang akan menanggung bos. Ketiga, pengusaha lepas nurani dan moral. Mencari untung ke konsumen sebesar-besarnya namun memberikan upah sangat rendah. Jangan heran gaya hidup pengusaha sangat mewah, sedangkan buruhnya jauh dari layak. Bos naik mercy, karyawannya mercy, pamer gusi bergelantungan di bus tak laik jalan. Coba ada bus karyawan, kesejahteraan yang meningkat, merasa memiliki, etos kerja tentu akan jauh meningkat.

Tenaga kerja asing. Moment yang sangat tepat pada hari buruh, bagaimana reaksi yang sangat berlebihan ketika ada lima tenaga asing ditangkap di kawasan Halim beberapa waktu lalu. Ada dikaitkan dengan mobilisasi masa menjelang pilkada, katanya tenaga kerja kita masih banyak yang nganggur mengapa memakai tenaga asing. Menarik adalah, apakah di pertambangan-pertambangan itu tidak ada tenaga asing? Apakah upah dan penggajian mereka seimbang dengan tenaga kerja lokal. Jika pengamat, anggota dewan yang punya akses ke perusahaan-perusahaan berkomentar sama dengan orang awam yang tidak tahu banyak info tertutup itu sangat naif. Bayaran di sana bisa dicek sendiri, bagaimana jomplangnya. Kalau hanya pekerja lapangan sangat tidak menjadi masalah sebenarnya. dan itu bertahun-tahun, termasuk BUMN. Apakah kita belum mampu? Bukan soal belum mampu, namun masalah pola pikir, akalu asing lebih baik, asing jaminan, dan model-model minder yang masih kuat. Lihat saja ketua dewan, pengusaha, dengan pengusaha USA saja seperti “kacungnya”, manthuk-manthuk takut.

Tenaga kerja Indonesia di Malaysia. Mengapa Malaysia? Karena banyak tenaga kerja Indonesia yang gelap dan tidak memiliki ketrampilan di negara ini. Timur Tengah, Asia Timur, relatif lebih baik dan terdidik, paling tidak lebih resmi. Bagaimana Malaysia harus mengurus sekian juta orang Indonesia, yang maaf, suka atau tidak, jauh lebih ngawur dari lima tenaga China yang secara berlebihan disikapi kemarin. Persiapan dalam berbagai hal sangat diperlukan agar mampu bekerja lebih baik dan bukan menjadi pendatang gelap. Itu sangat penting dan negara harus hadir. Apakah selama ini negara telah ada di sana? Belum, masih terlalu jauh, melihat apa yang bisa dilakukan oleh negara lain, seperti Philipina misalnya. Atau pembekalan dari sini, apakah sudah patut? Banyak kisah diuraikan di Kompasiana mengenai hal ini. negara selama ini abai, anak negeri malah harus susah payah ke luar negeri untuk sesuatu yang belum jelas juga. Apalagi yang di dalam sini malah berkutat pada hal yang sudah didapat namun masih kurang. Kalau kekurangan itu wajar dan memang untuk hidup patut didukung, lha kalau katanya masih belum sejahtera, namun demo dengan 3000 bus untuk apa coba?

Sepakat bahwa kesejahteraan buruh harus layak dan bisa menjamin kehidupan yang baik. Namun tentu perlu juga realistis dan tidak berlebihan. Pengusaha juga demikian, bahwa kekayaan hasil usahanya tidak ada artinya tanpa adanya kerja sama dengan buruh. Menekan buruh dengan upah kecil sedangkan produknya jauh di atas kepantasan karena dasarnya mumpung laku. Ada timbal balik dan ketersalingan. Hidup ini singkat dan sekali bukan? Utopis memang soal buruh dan pengusaha itu setara, namun apakah tidak bisa saling menghargai dengan layak? Peran negara menjadi penting dan utama. Susah karena penyelenggara negara kebanyakan pengusaha yang menilai buruk bukan sebagai manusia dan perilaku yang penting banyak keuntungan.

Demo itu penting namun bukan satu-satunya bukan? Apalagi pengusahanya juga paradigma mengejar untung saja. Pemerintah harus hadir menjembatani sehingga buruh dan pengusaha sama-sama untung dan sama-sama menang.

Salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun