Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

5 Implikasi Pencapresan Anies Baswedan ala Nasdem

3 Oktober 2022   12:23 Diperbarui: 3 Oktober 2022   12:32 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

5 Implikasi Pencapresan Anies Baswedan oleh Nasdem

Menarik, Nasdem berani menjadikan Anies Baswedan sebagai capres, sebelum lengser sebagai gubernur. Kepastian status Anies Baswedan usai menjadi gubernur di DKI sangat riskan. Berkali ulang dipanggil KPK, rekam jejaknya dalam mengelola keuangan provinsi dan juga kinerjanya sebagai kepala daerah sangat potensial menjadi urusan KPK, kejaksaan, atau bareskrim.

Dulu, menjelang pilpres 2009, Nasdem juga menjadi pendahulu untuk  mengusung Jokowi sebagai kandidat presiden, akhirnya PDI-P pun ikut serta. Rekam jejak kepemimpinan dan karakter Jokowi sudah teruji di Solo, Jakarta, dan memang sangat moncer, tidak dicari-cari, memang demikian adanya.

Kini, berkebalikan.  Prestasi Anies Baswedan sama sekali   tidak menjanjikan. Hanya retorika, omong gede, dan pencitraan yang sangat usang karena pengulangan.  Jenuh hanya pembicaraan ala media sosial tanpa aksi nyata. Politik cemar asal tenar sangat tidak laku. Model demikian tidak menjadi penarik bagi partai lain untuk ikut mengusung.

Beberapa hal sangat menarik dicermati.

Sudah ada Prabowo dan kini Anies Baswedan yang memiliki kendaraan. Sangat mungkin mereka ini tidak ada dalam satu gerbong.  Mereka akan berhadapan. Memilih keduanya sama juga tidak memilih, sama-sama buruk.  Ini implikasi pertama, ada alternatif gerbong PDI-P dengan kursinya sendiri dan beberapa partai yang tentu tidak sejalan dengan  kedua kandidat ini sangat wajar.

Kedua, Nasdem tidak cukup mampu mengusung sendirian.  Minimal mereka harus menggandeng dua partai, yang paling mungkin adalah PKS dan Demokrat. Tiga partai ini kelihatannya cukup membawa pasangan sendiri, dengan formasi duet Anies-AH tentu saja.

Ketiga, potensi bahaya tudingan kriminalisasi jika KPK atau pihak lain, Kejaksaan Agung atau Bareskrim mengusut keadaan Jakarta. Politis sangat kental, karena sudah ada dukungan politik seperti ini. Pun Demokrat juga sudah    menyatakannya dengan sangat gamblang, akan ada upaya menjegal Anies nyapres.

Ribetnya Indonesia adalah  penyelesaian hukum selalu terkendala politik dan bahkan agama ikut-ikutan. Ini yang membuat keadaan tidak semakin baik, malah buruk.  Pemimpin maling berkedok agamis dan politis aman-aman saja. Lagi-lagi rakyat hanya menjadi kambing congek di hadapan politikus.

Keempat. Fakta bahwa politikus itu orientasinya kekuasaan, bukan soal nasionalisme, negarawan, ataupun prestasi. Mereka pokoknya tenar, bisa dipoles, bisa diarahkan, akan seperti apapun mereka lakukan. Pokoknya menang.  Cek saja bagaimana nama Anies Baswedan dikenal publik bisa dilihat melalui mesin pencari di internet.

Pemuja dan pembelanya tidak cukup signifikan untuk memberikan pemahaman yang lebih tepat dari pada apa yang tersebut di pembicaraan dunia maya itu. Pembela yang berarti  potensi pemilihnya hanya berkutat padaitu-itu saja ketika menjawab atau menyerang para pihak yang dipandang merendahkan Anies, baca bukan pemilihnya di dalam pilkada atau pilpres.

Kelima. Suka atau tidak, Anies Baswedan sudah dikenal dikelilingi oleh barisan fundamentalis, ultrakanan, dan sering bersama-sama dengan kelompok yang berseberangan dengan kelompok nasionalis.  Itu juga ada dalam diri dan kelompok yang telah menyatakan Prabowo capres.

Menarik dengan keberadaan ini.  Kelompok yang   memiliki jiwa nasionalis harus membawa atau mengusung politisi yang mampu bersaing atau bahkan mengalahkan mereka. Sebenarnya ada. Ganjar Pranowo mampu mengatasi keduanya.

Kudu menang satu putaran, jangan sampai ada dua putaran dan kejadian Jakarta terulang. Beda kasus memang di Jakarta itu, dengan keberadaan Ahok dan juga reputasinya yang ngajak gelut semua pihak itu.

Masih ada Golkar  yang memiliki basis massa lebih cair dan mengarah ke nasionalis, PKB yang agamis namun realistis cenderung nasionalis, mirip-mirip pilpres 2014 dan 2019 minus Nasdem.

Warna dan rupa Nasdem makin kentara namanya nasionalis namun jiwanya tidak. Demokrat yang ternyata juga sama saja. Kekuasaan menjadi tujuan utama, mau nasionalis, mau sampah, mau kriminal, asal menjanjikan menjadi lumbung dan atm mereka dukung.

Semua masih bisa terjadi. sekelas Rizieq Shihab yang seolah-olah tidak tersentuh pun bisa masuk bui. Jadi bukan tidak mungkin semua akan berubah pada saatnya nanti. Masih cukup lama, hampir dua tahun semua bisa berubah.

Layak ditunggu sampai harinya, masih akan terus terjadi manuver-manuver para elit. Jangan sampai rakyat hanya menjadi penonton dan menjadi korban patai politik tamak yang sekadar memanfaatkan pemilih untuk mereka menggarong negara lagi.

Negeri ini pada rel yang tepat selama delapan tahun ini, sayang jik salah pilih dan menempatkan monster penghisap rakyat dan kekayaan alam negeri ini lagi di pucuk kekuasaan. Cukup 42 tahun negeri ini menjadi sapi perahan kerakusan presidennya.

Rakyat makin cerdas, bahwa politikus dan elitnya masih berkutat atau berkubang pada kubangan yang sama ya silakan. Rakyat sudah memberikan bukti di banyak gelaran pilpres dan pilkada.  Partai politik yang tidak bersama rakyat tergusur, baik cepat atau lambat.

Politikus dan elitnya berorientasi pada kepentingan diri dan kelompoknya saja, rakyat dibiarkan begitu saja. Apa iya masih mau memilih elt demikian?

Terima kasih dan  salam

Susy Haryawan  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun