Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KLB, ke Mana SBY yang Tenang dan Penuh Perhitungan Itu?

6 Maret 2021   11:43 Diperbarui: 6 Maret 2021   11:51 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemarin, usai Moeldoko dikukuhkan, artikel saya mengenai keputusan dan pilihan Demokrat tidak akan jauh-jauh dari yang biasanya. Benar ternyata, lebih konyol lagi malah. Malu pada Tuhan telah pernah memberikan jabatan kepada Moeldoko sebagai KSAD dan Panglima TNI. Ada beberapa hal yang patut dicermati;

Pertama, apakah ini tanpa kalau SBY dalam memilih pejabat demi kepentingan sendiri, bukan kepentingan bangsa dan negara? Sangat tidak ada sangkut pautnya Moeldoko sebagai panglima dan sebagai "pengambil alih" ketua umum Demokrat.

Apakah ini juga menjawab "tantangan" Moeldoko mengenai kesanggupan kader untuk berjuang demi bangsa dan negara?

Kedua, benar, KSAD dan Panglima TNI itu hal prerogatif presiden. ingat presiden bukan SBY.  Toh demikian juga melibatkan wanjakti dan DPR. Tidak satu tangan SBY semata. Lucu dan maaf naif.

Ketiga, jenjang kepangkatan dan karir Moeldoko juga wajar-wajar saja, tidak ada kenaikan luar biasa atas jasa SBY. Akan berbeda jika itu berbicara sebagaimana Tito dan Sigit Listyo yang lompat banyak angkatan. "Jasa" presiden sangat besar, dan bisa menglaim demikian.

Keempat, menunjukkan SBY panik sehingga lepas kendali. Tentu ia paham, jabatan itu tidak ada kaitan dengan pribadinya dan juga kini menjadi "rivall". Hal yang sangat biasa dalam politik. Tentu tidak senaif itu sebagai presiden dua periode dalam keadaan yang normal---normal saja.

Kelima, menggunakan term agamis, lagi-lagi cenderung ultrakanan. Demokrat yang kekanankananan. Miris sejatinya, ketika keberadaan politik campur aduk dengan agama, eh Demokrat ikut-ikutan.

Keenam, mungkin subyektif, tetapi usai meninggalnya mendiang Ibu Ani, Pak SBY benar-benar limbung. Kehilangan daya magisnya yang tenang, penuh perhitungan itu. cenderung grusa-grusu dan salah langkah.

Nasi telah menjadi  bubur, tidak akan bisa menjadi nasi goreng. Namun toh masih bisa menjadi bubur pedas, bubur ayam, atau bubur-bubur lainnya. Tidak perlu meratapinya lagi lebih jauh. Mengapa tidak merintis partai baru misalnya?

Pertentangan di pengadilan atau SK MenkumHAM sangat melelahkan dan menghabiskan energi. Malah akan menambah musuh, jika laku yang dipilih masih sama seperti ini terus. Tidak ada perubahan yang sama.

Menjual derita dan politik korban sudah dipahami pemilih. Susah percaya Demokrat akan lebih berkibar, jika pendekatannya masih sama. Apalagi selalu menyalahkan Jokowi. Pilihan fatal yang terus diulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun