Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KLB, ke Mana SBY yang Tenang dan Penuh Perhitungan Itu?

6 Maret 2021   11:43 Diperbarui: 6 Maret 2021   11:51 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ke Mana SBY yang Tenang, Penuh Perhitungan Itu?

Kemarin, KLB Demokrat berlangsung. Moeldoko ditetapkan menjadi ketua umum yang baru. Tidak aklamasi, namun pemilihan dengan berdiri, tanpa dihitung. Ada dua kandidat, Marzuki Ali  akhirnya menjadi dewan pertimbangan. Hal yang luar biasa cepat, hanya kurang lebih satu bulan dari tudingan awal, kini menjadi nyata.

Sangat mungkin ini adalah panggilan bawah sadar ala AHY yang ternyata direspons Semesta dan kejadian. Hal yang sangat wajar bagi orang yang berkecimpung dalam sisi spiritual dan energi. Dalam law of atrraction, gaungan itu akan disebarkan oleh alam dan mendapatkan afirmasi, karena masifnya pembicaraan sekaligus tudingan mereka.

Maunya jual derita eh malah tambah derita. Hal yang sejatinya logis. Miris, ketika biasanya Pak SBY itu demikian tenang, penuh perhitungan, bahkan tidak peduli dikatakan lamban sekalipun. Kali ini malah bablas, seolah tidak ada pertimbangan sama sekali.

Usai mengulangi pernyataan AHY, yang oleh publik dianggap dan dinilai sebagai perbuatan sia-sia, merendahkan, dan malah memperolok AHY. Memang cukup aneh dan lucu, kapasitas sebagai Majelis Tinggi namun ikut terlibat hal praktis yang seharusnya tugas ketua umum.

Bulan-bulanan media sosial atas perilaku itu. miris sebenarnya melihat sosok SBY menjadi bahan olok-olok demikian. Bagaimanapun toh ia adalah mantan presiden dua periode. Persaingan politik, tak bagus jika mengedepankan bullyan dan hujatan.

Laku para kadernya, terutama Andi Arief yang selalu menyasar Jokowi dengan tidak patut, sedikit banyak juga karena peran SBY. Salah perhitungan, jika SBY mengerem perilaku ini, sangat mungkin tidak terjadi KLB. Moedoko sudah menyatakan, AHY ketua umum sah. Mau apa lagi.

Eh karena tekanan yang langsung menyasar Moeldoko, membuat bola salju itu liar dan konsekuensi itu wajar terjadi. Lagi-lagi   Pak SBY keliru mengambil langkah. Tidak makin surut, malah seolah menambahkan bara ke dalam sekam yang mulai mengepul.

Pemecatan kader-kader yang berseberangan ini, jelas salah langkah. Buktinya apa? Salah satunya Jhoni Allen Marbun menghadap SBY. Artinya SBY bisa berkomunikasi langsung kepada pihak yang berseberangan. Eh malah pemecatan.

Awal Februari juga Marzuki Ali berkirim pesan melalui media percakapan, lagi-lagi juga kepada SBY. Artinya, SBY memegang peran penting menjaga keadaan ini bisa diselesaikan dengan lebih baik. Malah kemudian satu demi satu  Marzuki Ali membuka keberadaan SBY yang selama ini sama sekali tidak diketahui publik.

Jika responsnya terukur, sangat mungkin masih akan baik-baik saja. Tidak malah kehilangan semuanya. Pilihan yang sudah diputuskan. Nasi telah menjadi bubur.

Kemarin, usai Moeldoko dikukuhkan, artikel saya mengenai keputusan dan pilihan Demokrat tidak akan jauh-jauh dari yang biasanya. Benar ternyata, lebih konyol lagi malah. Malu pada Tuhan telah pernah memberikan jabatan kepada Moeldoko sebagai KSAD dan Panglima TNI. Ada beberapa hal yang patut dicermati;

Pertama, apakah ini tanpa kalau SBY dalam memilih pejabat demi kepentingan sendiri, bukan kepentingan bangsa dan negara? Sangat tidak ada sangkut pautnya Moeldoko sebagai panglima dan sebagai "pengambil alih" ketua umum Demokrat.

Apakah ini juga menjawab "tantangan" Moeldoko mengenai kesanggupan kader untuk berjuang demi bangsa dan negara?

Kedua, benar, KSAD dan Panglima TNI itu hal prerogatif presiden. ingat presiden bukan SBY.  Toh demikian juga melibatkan wanjakti dan DPR. Tidak satu tangan SBY semata. Lucu dan maaf naif.

Ketiga, jenjang kepangkatan dan karir Moeldoko juga wajar-wajar saja, tidak ada kenaikan luar biasa atas jasa SBY. Akan berbeda jika itu berbicara sebagaimana Tito dan Sigit Listyo yang lompat banyak angkatan. "Jasa" presiden sangat besar, dan bisa menglaim demikian.

Keempat, menunjukkan SBY panik sehingga lepas kendali. Tentu ia paham, jabatan itu tidak ada kaitan dengan pribadinya dan juga kini menjadi "rivall". Hal yang sangat biasa dalam politik. Tentu tidak senaif itu sebagai presiden dua periode dalam keadaan yang normal---normal saja.

Kelima, menggunakan term agamis, lagi-lagi cenderung ultrakanan. Demokrat yang kekanankananan. Miris sejatinya, ketika keberadaan politik campur aduk dengan agama, eh Demokrat ikut-ikutan.

Keenam, mungkin subyektif, tetapi usai meninggalnya mendiang Ibu Ani, Pak SBY benar-benar limbung. Kehilangan daya magisnya yang tenang, penuh perhitungan itu. cenderung grusa-grusu dan salah langkah.

Nasi telah menjadi  bubur, tidak akan bisa menjadi nasi goreng. Namun toh masih bisa menjadi bubur pedas, bubur ayam, atau bubur-bubur lainnya. Tidak perlu meratapinya lagi lebih jauh. Mengapa tidak merintis partai baru misalnya?

Pertentangan di pengadilan atau SK MenkumHAM sangat melelahkan dan menghabiskan energi. Malah akan menambah musuh, jika laku yang dipilih masih sama seperti ini terus. Tidak ada perubahan yang sama.

Menjual derita dan politik korban sudah dipahami pemilih. Susah percaya Demokrat akan lebih berkibar, jika pendekatannya masih sama. Apalagi selalu menyalahkan Jokowi. Pilihan fatal yang terus diulang.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun